Perda Jateng 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jawa Tengah
Apa itu Desa Wisata? Desa Wisata adalah suatu bentuk integrasi antara potensi daya tarik wisata alam, wisata budaya, dan wisata hasil buatan manusia dalam satu kawasan tertentu dengan didukung oleh atraksi, akomodasi, dan fasilitas lainnya sesuai kearifan lokal masyarakat. Selama ini belum ada dasar yang jelas tentang Desa Wisata dan Pemberdayaan Desa Wisata. Provinsi Jawa Tengah menerbitkan sebuah Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Desa Wisata karena memandang bahwa desa wisata mempunyai peranan penting untuk memajukan kesejahteraan masyarakat, memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, optimalisasi potensi ekonomi dan karakteristik daerah, serta mengangkat dan melindungi nilai-nilai budaya, agama, adat istiadat, dan menjaga kelestarian alam.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Provinsi Jawa Tengah ditetapkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada tanggal 11 Februari 2019 di Semarang. Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jateng diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2019 Nomor 2 pada tanggal 11 Februari 2019 di Semarang oleh Sekda Jateng Sri Puryono Karto Soedarmo. Penjelasan atas Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jateng ditempatkan pada Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 107.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Provinsi Jawa Tengah
Latar Belakang
Pertimbangan Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jateng adalah:
bahwa desa wisata mempunyai peranan penting untuk memajukan kesejahteraan masyarakat, memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, optimalisasi potensi ekonomi dan karakteristik daerah, serta mengangkat dan melindungi nilai-nilai budaya, agama, adat istiadat, dan menjaga kelestarian alam;
bahwa dalam rangka pemberdayaan desa wisata diperlukan kemandirian dan kesejahteraan melalui peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta pemanfaatan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat;
bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan dalam pengelolaan kepariwisataan di Daerah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Desa Wisata Di Provinsi Jawa Tengah;
Dasar Hukum
Dasar hukum Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jateng adalah:
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950 Halaman 86-92);
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167);
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesai Nomor 4966);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5497);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelengaraan Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761);
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5262);
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5717);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036);
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012– 2027 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 46);
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 83);
Penjelasan Umum Perda Desa Wisata Jawa Tengah
Sebagai salah satu Provinsi yang mempunyai potensi wisata alam, budaya maupun buatan, Jawa Tengah bertekad mengembangkan pariwisata sebagai salah satu penggerak perekonomian daerah baik pada skala provinsi hingga skala Pemerintah Desa.
Dalam rangka mewujudkan dampak ekonomi pada skala desa yang terkait dengan sektor pariwisata, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memandang perlu untuk memberdayakan seluruh potensi wisata di Desa dengan membentuk dan mengembangkan Desa Wisata.
Kehadiran Desa Wisata diharapkan mampu memberikan dampak ganda (multiplier effect) dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Desa Wisata tersebut.
Pada sisi yang lain, keberadaan Desa Wisata merupakan salah satu jawaban dari perkembangan kecenderungan pasar wisata, dimana orientasi pilihan wisatawan telah mengalami pergeseran pada pilihan-pilihan wisata yang menyajikan keasrian wilayah pedesaan, pola hidup masyarakat pedesaan, wisata kembali ke alam (back to nature), akomodasi yang mampu memberikan interaksi dengan penduduk setempat (homestay) dan produk yang berskala kecil namun unik. Dengan Desa Wisata ini produk wisata akan lebih bernuansa natural (alami) sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan, sehingga dapat mengembangkan pariwisata berdampingan dengan kebudayaan tanpa merusak kebudayaan yang ada. Disisi lain pranata sosial kepariwisataan dan pengelolaan juga menjadi sangat vital, dimana desa wisata diharapkan dapat menjadi alat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menjadi agen perubah bagi kemajuan pengembangan suatu wilayah/daerah.
Mengacu pada hal-hal di atas perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Desa Wisata Di Provinsi Jawa Tengah.
Isi Kebijakan Perda Desa Wisata Jateng
Berikut isi Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jateng (bukan format asli) :
PERATURAN DAERAH TENTANG PEMBERDAYAAN DESA WISATA DI PROVINSI JAWA TENGAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
Daerah adalah Provinsi Jawa Tengah.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota dalam wilayah Daerah.
Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam wilayah Daerah.
Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dalam lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
Pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun daya dengan mendorong, memberikan motivasi, membangkitkan kesadaran dan mengembangkan potensi yang dimiliki.
Desa Wisata adalah suatu bentuk integrasi antara potensi daya tarik wisata alam, wisata budaya, dan wisata hasil buatan manusia dalam satu kawasan tertentu dengan didukung oleh atraksi, akomodasi, dan fasilitas lainnya sesuai kearifan lokal masyarakat.
Desa Wisata Lintas Kabupaten/Kota adalah desa wisata yang berada dalam lintas Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
Pengelola Desa Wisata adalah pihak yang bertanggungjawab mengelola Desa Wisata.
Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan wisata.
Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Pengusaha pariwisata adalah orang, sekelompok orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.
Tanda daftar usaha pariwisata yang selanjutnya disingkat TDUP adalah dokumen resmi yang membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha didesa wisata telah tercantum dalam daftar usaha pariwisata.
Pondok Wisata (Homestay) adalah akomodasi berupa bangunan rumah tinggal yang dihuni oleh pemiliknya dan dimanfaatkan sebagian untuk disewakan dengan memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya, yang dimiliki oleh masyarakat setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi lokal.
Pasal 2
Pemberdayaan Desa Wisata di Provinsi Jawa Tengah diselenggarakan berdasarkan prinsip:
keadilan;
kelestarian;
kemanfaatan;
edukasi;
partisipatif;
pemberdayaan;
kemandirian; dan
keberlanjutan.
Pasal 3
Pemberdayaan Desa Wisata di Provinsi Jawa Tengah diselenggarakan dengan tujuan untuk:
memberikan pedoman bagi pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan berbasis kebudayaan lokal sesuai dengan perencanaan pembangunan Daerah;
menjamin pelestarian nilai-nilai budaya lokal yang memuat struktur kehidupan, tata cara dan tradisi yang berlaku pada masyarakat di Desa Wisata;
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Wisata; dan
mengembangkan lembaga kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu mensinergikan pembangunan destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata, dan industri pariwisata secara profesional.
Pasal 4
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
strategi dan basis pemberdayaan;
penetapan Desa Wisata;
pengelola Desa Wisata;
pengembangan Desa Wisata;
pemberdayaan masyarakat;
pengembangan daya tarik Desa Wisata;
usaha pariwisata pada Desa Wisata;
kewajibanPemerintahDaerah;
peran serta masyarakat;
kerjasama;
pembiayaan; dan
pembinaan dan pengawasan.
BAB II
STRATEGI DAN BASIS PEMBERDAYAAN
Bagian Kesatu
Strategi Pemberdayaan
Pasal 5
Strategi Pemberdayaan Desa Wisata meliputi:
identifikasi nilai-nilai budaya yang ada dan potensial untuk dilestarikan dan dikembangkan;
pemberdayaan potensi-potensi wisata desa untuk dibangun dan dikembangkan;
pelembagaan forum-forum aktualisasi budaya dan pariwisata desa dalam kegiatan-kegiatan strategis tingkat lokal, regional, nasional dan internasional;
peningkatan koordinasi, informasi, promosi dan komunikasi antar pemerintah desa, pemerintah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan pariwisata dalam upaya pengembangan desa wisata yang berkelanjutan.
Bagian Kedua
Basis Pemberdayaan
Pasal 6
Basis pemberdayaan Desa Wisata meliputi:
wisata alam yang meliputi daya tarik wisata berbasis sumber daya alam perdesaan antara lain hutan, perkebunan rakyat, bahari, gas bumi dan/ atau sumber air panas dalam model pengembangan wisata agro;
wisata budaya yang meliputi daya tarik wisata berbasis tradisi budaya dan kearifan lokal seperti upacara adat, musik tradisional, tari tradisional, situs/cagar budaya, religi, arsitektur lokal, kerajinan lokal dan kuliner serta kekhasan budaya lainnya;
wisata hasil buatan manusia yang meliputi daya tarik wisata berbasis kreasi dan kreatifitas orang perorangan maupun kelompok seperti kerajinan tangan dalam bentuk seni rupa, seni lukis, taman rekreasi, galeri dan sanggar budaya setempat.
Selain basis pemberdayaan Desa Wisata sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan perpaduan antara basis wisata alam, wisata budaya, dan wisata hasil buatan manusia.
BAB III
PENETAPAN DESA WISATA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
Penetapan Desa Wisata dilakukan melalui tahapan:
pencanangan Desa wisata;
penilaian Desa Wisata; dan
penetapan Desa Wisata.
Bagian Kedua
Pencanangan Desa Wisata
Pasal 8
Pencanangan Desa Wisata dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat, BUM Desa, atau pihak lain melalui kepala desa atau lurah.
Kepala Desa atau lurah mengajukan permohonan penetapan Desa Wisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan penetapan Desa Wisata lintas Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi, Bupati/Walikota mengajukan permohonan penetapan Desa Wisata kepada Gubernur.
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilampiri dokumen pendukung paling sedikit berupa:
data profil wilayah;
potensi wisata yang akan dikembangkan;
data pengunjung Desa Wisata;
kelembagaan calon Pengelola Desa Wisata;
kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah; dan
rencana mitigasi bencana.
Bagian Kedua
Penilaian Desa Wisata
Pasal 9
Gubernur melakukan penilaian usulan permohonan penetapan Desa Wisata lintas wilayah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
Pengajuan permohonan penetapan Desa Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur melakukan:
sosialisasi kepada masyarakat yang memuat pengetahuan rencana dan pembangunan Desa Wisata;
inventarisasi dan penggalian potensi daya tarik wisata yang harus dipertahankan;
manajemen pemasaran pariwisata; dan
penilaian kelayakan sebagai Desa Wisata.
Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi:
atraksi wisata yang paling menarik dan atraktif di Desa;
kondisi geografis Desa menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa yang berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu Desa;
sistem kepercayaan dan kemasyarakatan yang merupakan aspek khusus pada komunitas sebuah Desa;
ketersediaan infrastruktur meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, pengolahan limbah, telepon dan sebagainya; dan
perkembangan jumlah pengunjung Desa Wisata;
rencana kelembagaan pengelola Desa Wisata;
analisis kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah;
analisis rencana mitigasi bencana.
Pasal 10
Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Gubernur menugaskan perangkat daerah yang membidangi urusan pariwisata.
Bagian Ketiga
Penetapan Desa Wisata
Pasal 11
Gubernur menetapkan sebuah desa/kelurahan menjadi Desa Wisata setelah dilakukan penilaian dengan memperhatikan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 12
Gubernur menetapkan desa/kelurahan menjadi Desa Wisata lintas Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencanangan, penilaian, dan penetapan diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB IV
PENGELOLA DESA WISATA
Pasal 14
Satu Desa Wisata hanya boleh dikelola oleh satu pengelola Desa Wisata.
Susunan Pengelola Desa Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan.
Pasal 15
Pengelola Desa Wisata bertugas:
mengatur dan mengelola Desa Wisata antara lain:
kegiatan atraksi wisata;
pendaftaran usaha wisata;
sarana dan prasana; dan/atau
fasilitas dan keamanan.
membina usaha kepariwisataan yang ada;
menyelenggarakan kerjasama kemitraan dengan pihak ketiga; dan
melakukan koordinasi dengan pemerintah desa, perangkat daerah kabupaten/kota dan perangkat daerah provinsi yang terkait dengan pengembangan Desa Wisata.
BAB V
PENGEMBANGAN DESA WISATA
Pasal 16
Pengembangan Desa Wisata meliputi:
pengembangan infrastruktur Desa Wisata;
pemasaran Desa Wisata;
penguatan kelembagaan Desa Wisata; dan
kerjasama kemitraan.
Pasal 17
Pengembangan infrastruktur Desa Wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, meliputi:
pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana sentra industri Desa;
pembangunan infrastruktur industri kreatif dan industri rumah tangga Desa;
pembangunan infrastruktur transportasi dan komunikasi; dan
pembangunan infrastruktur lainnya sesuai kebutuhan.
Pasal 18
Pemasaran Desa Wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi pemasaran Desa Wisata bersama, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggungjawab dalam membangun citra Daerah sebagai destinasi Desa Wisata yang berdaya saing.
Pasal 19
Penguatan kelembagaan Desa Wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c antara lain:
pengembangan kapasitas organisasi Desa Wisata;
mekanisme, operasional dan sistem kepariwisataan; dan
peningkatan kapasitas sumber daya masyarakat Desa Wisata.
Pasal 20
Kerjasama kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d dilakukan oleh Pengelola Desa Wisata dengan pihak ketiga dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Wisata.
Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam suatu perjanjian kerjasama secara tertulis disaksikan oleh kepala desa/lurah, perangkat daerah kabupaten/kota, dan/atau perangat daerah provinsi yang menangani urusan bidang Pariwisata.
Pasal 21
Kerjasama antara Pengelola Desa Wisata dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 antara lain dapat berbentuk:
kerjasama bagi hasil usaha;
kerjasama produksi;
kerjasama manajemen; dan/atau
kerjasama bagi tempat usaha.
Pasal 22
Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) paling sedikit memuat:
ruang lingkup kerja sama;
tata cara dan ketentuan pelaksanaan kerja sama;
jangka waktu;
hak dan kewajiban;
pendanaan;
tata cara perubahan, penundaan, dan pembatalan; dan
penyelesaian perselisihan.
BAB VI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 23
Pemerintah Daerah mengutamakan konsep pemberdayaan masyarakat dalam rangka menfasilitasi dan melaksanakan upaya pengembangan Desa Wisata.
Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan bersama dengan kelompok masyarakat secara koordinatif dan terpadu dengan prinsip transparan, partisipatif, dan akuntabilitas serta mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berkembang di masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB VII
PENGEMBANGAN DAYA TARIK DESA WISATA
Pasal 24
Pengembangan daya tarik Desa Wisata meliputi:
pengembangan dan pengemasan potensi alam, budaya, dan buatan berbasis masyarakat;
pengembangan fasilitas pendukung daya tarik Desa Wisata;
paket wisata yang terpadu dengan wisata lainnya; dan
penggunaan bangunan, bahasa, aksara dan sastra lokal setempat yang menjadi ciri khas Desa Wisata.
Pengembangan daya tarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan kegiatan promosi wisata.
Pasal 25
Pengembangan daya tarik Desa Wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dilaksanakan oleh Pengelola Desa Wisata.
Pelaksanaan daya tarik Desa Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, pemerintah kabupaten/kota dan pengusaha wisata secara sinergi dengan prinsip integrasi dan koordinasi.
Pengembangan daya tarik Desa Wisata mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota.
BAB VIII
USAHA PARIWISATA PADA DESA WISATA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
Dalam rangka penyediaan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata, pengembangan Desa Wisata didukung dengan usaha pariwisata yang baik.
Usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi bidang usaha kepariwisataan sebagaimana diatur di dalam undang-undang kepariwisataan.
Pasal 27
Guna memberikan perlindungan bagi pengelolaan Desa Wisata, Pemerintah Daerah dapat membatasi usaha pariwisata yang ada.
Pembatasan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pembatasan jenis usaha tertentu yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat Desa wisata dan/atau jenis usaha yang tidak sesuai dengan konsep Desa Wisata yang ditetapkan; dan
pembatasan skala usaha pariwisata dalam rangka memberikan perlindungan bagi pengusaha pariwisata skala mikro, kecil, menengah.
Pembatasan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
Setiap usaha pariwisata di Desa Wisata wajib mendaftarkan Usaha Jasa Wisatanya pada Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pendaftaran Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Jenis Usaha Pariwisata Desa Wisata
Pasal 29
Jenis usaha pariwisata Desa Wisata antara lain:
jasa makanan dan minuman;
penyediaan akomodasi;
penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
daya tarik wisata;
kawasan pariwisata;
jasa transportasi wisata;
jasa perjalanan wisata;
penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
jasa pramuwisata;
wisata tirta;
jasa informasi pariwisata;
jasa konsultan pariwisata; dan
spa.
Jenis usaha pariwisata Desa Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencerminkan tradisi dan kearifan lokal masyarakat Desa Wisata.
BAB IX
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 30
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban:
menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, keamanan dan kenyamanan wisatawan;
memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset Daerah yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali;
mengendalikan kegiatan Desa Wisata dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas;
menyelenggarakan pelatihan sumber daya manusia tentang kepariwisataan;
membangun sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang pariwisata di Desa Wisata;
memberikan kemudahan regulasi yang menunjang kemajuan pembangunan dan pengembangan Desa Wisata;
memberikan bantuan keuangan kepada Pengelola Desa Wisata sesuai kemampuan keuangan Daerah; dan
fasilitasi pembiayaan terhadap penyediaan modal dalam pelaksanaan program pemberdayaan Desa Wisata.
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan bersama-sama dengan Pengelola Desa Wisata.
Pasal 31
Pemerintah Daerah berkewajiban memprioritaskan dan memperkuat kegiatan pariwisata yang berkontribusi kepada perbaikan kesejahteraan, ekonomi, pendapatan masyarakat desa, kualitas lingkungan hidup dan budaya.
BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 32
Masyarakat diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses pembangunan Desa Wisata.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, masukan terhadap pengembangan, informasi potensi dan masalah, serta rencana pengembangan Desa Wisata.
Saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Pengelola Desa Wisata.
Pasal 33
Dalam pemberdayaan Desa Wisata, masyarakat mempunyai hak:
mengetahui rencana penetapan Desa Wisata;
menikmati pertambahan nilai manfaat sebagai akibat ditetapkannya Desa Wisata.
Dalam pemberdayaan Desa Wisata, masyarakat mempunyai kewajiban:
menjaga dan melestarikan daya tarik wisata dan kearifan lokal;
membantu terciptanya Sapta Pesona Wisata;
menjaga kelestarian lingkungan dan arsitektur lokal Desa Wisata; dan/atau
berperilaku santun sesuai norma agama, adat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat.
BAB XI
KERJASAMA
Pasal 34
Dalam rangka pemberdayaan Desa Wisata di Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama.
Kerjasama sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan:
Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat;
Pemerintah Provinsi Lain;
Pemerintah Kabupaten/Kota;
Pemerintah Desa; dan/atau
pihak ketiga.
Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mengutamakan kepentingan masyarakat yang ada di dalam kawasan Desa Wisata.
Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berupa:
bantuan pendidikan dan pelatihan;
bantuan sarana dan prasarana;
sistem informasi; dan
kerja sama lainnya di bidang pengembangan Desa Wisata.
BAB XII
PEMBIAYAAN
Pasal 35
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa wajib mengalokasikan anggaran dalam rangka pemberdayaan Desa Wisata mulai dari pencanangan, penilaian, penetapan, hingga pengembangan Desa Wisata sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Sumber pembiayaan yang dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari:
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah;
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa; atau
sumber pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB XIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 36
Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Pemerintah Daerah berupa monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan Desa Wisata.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pembinaan kelembagaan;
pendampingan;
fasilitasi tanda daftar usaha;
mutu produk wisata pedesaan;
pembinaan peningkatan kemampuan tenaga kerja pariwisata;
pembinaaan teknis pemasaran/promosi;
sosialisasi terhadap peraturan perundangan; dan
pemberian penghargaan bagi pengelolaan Desa Wisata yang berprestasi.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Perkembangan pengelolaan Desa Wisata; dan
Perkembangan jumlah kunjungan wisatawan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Desa Wisata yang sudah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dinyatakan berlaku sebagai pencanangan Desa Wisata.
Penetapan Desa Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Segala ketentuan yang berlaku mengenai pembinaan Upsaha Kepariwisataan yang ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
Pasal 39
Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 40
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Ditetapkan di Semarang pada tanggal 11 Pebruari 2019 | |
GUBERNUR JAWA TENGAH, ttd GANJAR PRANOWO | |
Diundangkan di Semarang pada tanggal 11 Pebruari 2019 | |
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH ttd SRI PURYONO KARTO SOEDARMO |
LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2019 NOMOR 2
Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jawa Tengah
[ Foto: Tribun Jateng, M. Nur Huda ]
Lampiran | Ukuran |
---|---|
Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Jawa Tengah (137.34 KB) | 137.34 KB |