Lompat ke isi utama

Permenkopukm 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi

Permenkopukm 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi

Pengawasan Koperasi dalam Permenkopukm 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas Koperasi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dan/atau penerapan sanksi terhadap Koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan Kesehatan Koperasi adalah serangkaian kegiatan mengumpulkan, memverifikasi, mengolah, dan menganalisis data dan/atau keterangan lain yang dilakukan oleh Pengawas Koperasi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam rangka menetapkan tingkat kesehatan Koperasi dan penerapan sanksi.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyelenggarakan Pengawasan Koperasi. Pengawasan Koperasi dilakukan sesuai dengan wilayah keanggotaan Koperasi. Kewenangan Pengawasan Koperasi meliputi wilayah keanggotaan Koperasi lintas daerah provinsi oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; wilayah keanggotaan Koperasi lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi oleh Pemerintah daerah provinsi; dan wilayah keanggotaan Koperasi dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota oleh Pemerintah daerah Kabupaten/Kota.

Ada yang aneh, namun mungkin juga tidak, dalam Permenkopukm 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi. Permen ini menggunakan UU 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebagai dasar hukum sementara Undang-Undang tersebut sudah dicabut dan diganti dengan UU 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Namun aturan pelaksanaannya memang masih terpakai sepanjang tidak bertentangan dengan UU yang baru.

Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Nomor 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi ditetapkan di Jakarta oleh Menteri Teten Masduki pada tanggal 14 Oktober 2020.

Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Nomor 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi diundangkan Dirjen PP Kemenkumham Widodo EKatjahjana di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2020.

Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Nomor 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1202. Agar setiap orang mengetahuinya.

Permenkopukm 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi

Latar Belakang

Pertimbangan ditetapkannya Permenkopukm 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi adalah:

  1. bahwa untuk mewujudkan koperasi yang kuat, sehat, mandiri, tangguh, dan berdaya saing sesuai dengan jatidiri Koperasi, perlu meningkatkan akuntabilitas, kepercayaan, kepatuhan, kesinambungan, dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada anggota dan masyarakat;
  2. bahwa untuk mewujudkan koperasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu dilakukan pengawasan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. bahwa Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 17/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pengawasan Koperasi sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pengawasan koperasi;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah tentang Pengawasan Koperasi;

Dasar Hukum

Dasar hukum Permenkopukm 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi adalah:

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3549); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3591);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3744);
  7. Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2020 tentang Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 214);
  8. Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 08/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1527);

Isi Permen Pengawasan Koperasi

Berikut adalah isi Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Nomor 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi, bukan format asli:

PERATURAN MENTERI KOPERASI USAHA KECIL DAN MENENGAH TENTANG PENGAWASAN KOPERASI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Pengawasan Koperasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas Koperasi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dan/atau penerapan sanksi terhadap Koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemeriksaan Kesehatan Koperasi adalah serangkaian kegiatan mengumpulkan, memverifikasi, mengolah, dan menganalisis data dan/atau keterangan lain yang dilakukan oleh Pengawas Koperasi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam rangka menetapkan tingkat kesehatan Koperasi dan penerapan sanksi.
  4. Jabatan Fungsional Pengawas Koperasi yang selanjutnya disingkat JFPK adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan Pengawasan Koperasi.
  5. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
  6. Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melaksanakan pekerjaan JFPK.
  7. Pengawas Koperasi adalah Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi dan PNS non-Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi yang ditetapkan dalam jangka waktu tertentu yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan Pengawasan Koperasi.
  8. Kertas Kerja Pemeriksaan Kesehatan Koperasi yang selanjutnya disingkat KKPKK adalah pedoman pemeriksaan yang memuat data tercatat dan dokumen yang dikumpulkan dan diperoleh selama berlangsungnya pemeriksaan, mulai dari tahapan persiapan pemeriksaan sampai dengan tahap laporan.
  9. Klasifikasi Usaha Koperasi yang selanjutnya disingkat KUK adalah pengelompokan usaha Koperasi berdasarkan kriteria jumlah anggota dan/atau jumlah modal sendiri dan/atau jumlah aset Koperasi.
  10. Laporan Hasil Pemeriksaan Kesehatan Koperasi yang selanjutnya disingkat LHPKK adalah dokumen laporan tertulis berisi hasil Pemeriksaan Kesehatan Koperasi dan pemberian skor tingkat kesehatan Koperasi.
  11. Laporan Hasil Pemantauan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan pelaksanaan hasil monitoring penerapan sanksi administratif.
  12. Berita Acara Pemeriksaan Kesehatan Koperasi yang selanjutnya disingkat BAPK adalah dokumen yang berisi catatan temuan yang terjadi selama dalam pelaksanaan Pemeriksaan Kesehatan Koperasi.
  13. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang.
  14. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi.
  15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  16. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan urusan perkoperasian yang menjadi kewenangan daerah.
  17. Deputi adalah unit eselon I yang menjalankan fungsi pengawasan koperasi pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
  18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan usaha kecil, dan menengah.
  19. Gubernur adalah kepala daerah provinsi/daerah istimewa.
  20. Bupati adalah kepala daerah kabupaten.
  21. Wali Kota adalah kepala daerah kota.

BAB II
KEWENANGAN PENGAWASAN KOPERASI

Pasal 2

  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyelenggarakan Pengawasan Koperasi.
  2. Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan wilayah keanggotaan Koperasi.
  3. Kewenangan Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
    1. wilayah keanggotaan Koperasi lintas daerah provinsi oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
    2. wilayah keanggotaan Koperasi lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi oleh Pemerintah daerah provinsi; dan
    3. wilayah keanggotaan Koperasi dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota oleh Pemerintah daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 3

  1. Pengawasan Koperasi dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi.
  2. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah selaku instansi pembina JFPK.
  3. Pengawas Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam lingkup:
    1. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil, dan Menengah;
    2. Pemerintah Daerah provinsi; dan
    3. Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
  4. Dalam hal belum terpenuhinya Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi di lingkungan instansi pemerintah, penyelenggaraan tugas Pengawasan Koperasi ditetapkan oleh pejabat yang memiliki kewenangan di bidang koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. PNS yang bukan merupakan Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi dapat melaksanakan tugas Pengawasan Koperasi untuk jangka waktu tertentu setelah mendapatkan penugasan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
  6. PNS di lingkungan instansi Pemerintah Daerah yang bukan merupakan Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi dapat melaksanakan tugas Pengawasan Koperasi untuk jangka waktu tertentu dari Perangkat Daerah setelah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
  7. Masa pelaksanaan tugas Pengawasan Koperasi oleh Pengawas Koperasi yang bukan merupakan Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
  8. Setelah berakhirnya masa pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pengawasan Koperasi wajib dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi.

BAB III
OBJEK PENGAWASAN KOPERASI

Pasal 4

  1. Objek Pengawasan Koperasi meliputi:
    1. Koperasi Primer; dan
    2. Koperasi Sekunder.
  2. Objek Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi usaha simpan pinjam dan non simpan pinjam sesuai dengan wilayah keanggotaan Koperasi.
  3. Objek Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam 4 (empat) tingkat KUK sebagai berikut:
    1. KUK 1 memiliki jumlah anggota paling banyak 5.000 (lima ribu) orang, jumlah modal sendiri paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), dan/atau jumlah aset paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
    2. KUK 2 memiliki jumlah anggota lebih dari 5.000 (lima ribu) orang sampai dengan paling banyak 9.000 (sembilan ribu) orang, jumlah modal sendiri lebih dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), dan/atau jumlah aset lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
    3. KUK 3 memliki jumlah anggota lebih dari 9.000 (sembilan ribu) orang sampai dengan paling banyak 35.000 (tiga puluh lima ribu) orang, jumlah modal sendiri lebih dari Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), dan/atau jumlah aset lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan
    4. KUK 4 memiliki jumlah anggota lebih dari 35.000 (tiga puluh lima ribu) orang, jumlah modal sendiri lebih dari Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), dan/atau jumlah aset lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
  4. Penentuan tingkat KUK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan jumlah anggota, modal sendiri, atau aset tertinggi yang dicapai Koperasi yang bersangkutan.

Pasal 5

  1. Bupati/Wali Kota melaksanakan pemantauan dan evaluasi kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor kas yang berkedudukan di wilayahnya untuk melindungi anggota Koperasi dan masyarakat.
  2. Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada:
    1. Menteri untuk Koperasi dengan wilayah keanggotaan lintas daerah provinsi; dan
    2. Gubernur untuk Koperasi dengan wilayah keanggotaan lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi.

BAB IV
PELAKSANAAN PENGAWASAN KOPERASI

Bagian Kesatu
Jenis Pelaksanaan Pengawasan

Pasal 6

Tugas pelaksanaan Pengawasan Koperasi meliputi:

  1. pengawasan terhadap seluruh fasilitas sarana dan prasarana yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan usaha Koperasi;
  2. pemeriksaan, verifikasi, dan klarifikasi setiap dokumen yang berkaitan dengan Koperasi;
  3. permintaan keterangan dari anggota, pengurus, pengawas, dewan pengawas syariah, pengelola/manajemen, karyawan, kreditor, investor dan mitra kerja Koperasi;
  4. penyusunan BAPK dan LHPKK;
  5. pelaporan hasil pemeriksaan kepada pimpinan pemberi tugas; dan
  6. pemantauan penerapan sanksi administratif terhadap Koperasi dengan tingkat kesehatan dalam pengawasan atau dalam pengawasan khusus.

Pasal 7

  1. Jenis pelaksanaan Pengawasan Koperasi meliputi:
    1. pengawasan rutin; dan
    2. pengawasan sewaktu-waktu.
  2. Jenis pelaksanaan Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan media teknologi informasi.

Pasal 8

  1. Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dapat dilakukan secara langsung (on-site) atau secara tidak langsung (off-site) kepada Koperasi.
  2. Pengawasan secara langsung (on-site) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan mengenai Koperasi yang dilakukan di kantor Koperasi dan di tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan Koperasi.
  3. Pengawasan secara tidak langsung (off-site) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menganalisa dan memeriksa dokumen dan laporan tertulis yang wajib disampaikan secara berkala oleh Koperasi kepada Deputi/Kepala Perangkat Daerah.
  4. Dokumen dan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:
    1. perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, Pengurus/Pengawas, dan alamat Koperasi;
    2. laporan pertanggungjawaban tahunan pengurus dan pengawas, berita acara, dan pernyataan keputusan rapat anggota ditandatangani oleh pimpinan, sekretaris rapat, dan salah satu wakil anggota; dan
    3. rencana kerja dan rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi.

Pasal 9

Pengawasan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dilaksanakan berdasarkan:

  1. perintah dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. laporan dari masyarakat yang disampaikan secara resmi dan dapat dipertanggungjawabkan; dan/atau
  3. permasalahan Koperasi yang memerlukan penanganan khusus dan dapat melibatkan instansi terkait.

Bagian Kedua
Rencana Kerja Pengawasan Koperasi

Pasal 10

Unit/satuan kerja pengawasan wajib menyusun rencana kerja Pengawasan Koperasi dengan mempertimbangkan jumlah sasaran Koperasi dan cakupan pemeriksaan secara proporsional berdasarkan KUK.

Bagian Ketiga
Tim Pengawas Koperasi

Pasal 11

  1. Pelaksanaan Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dilakukan oleh tim Pengawas Koperasi.
  2. Tim Pengawas Koperasi ditetapkan oleh Deputi/Kepala Perangkat Daerah provinsi/kabupaten/kota.
  3. Susunan tim Pengawas Koperasi paling sedikit terdiri atas ketua dan anggota.

Pasal 12

Tim Pengawas Koperasi bertanggung jawab kepada:

  1. Deputi untuk Pengawasan Koperasi yang menjadi kewenangan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
  2. Kepala Perangkat Daerah provinsi untuk Pengawasan Koperasi yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi; dan
  3. Kepala Perangkat Daerah kabupaten/kota untuk Pengawasan Koperasi yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

Bagian Keempat
Kertas Kerja Pemeriksaan Koperasi

Pasal 13

  1. Dalam melaksanakan Pemeriksaan Kesehatan Koperasi, Pengawas Koperasi mempergunakan KKPKK.
  2. KKPKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. tata kelola;
    2. profil risiko;
    3. kinerja keuangan; dan
    4. permodalan.
  3. KKPKK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah/unit simpan pinjam dan pembiyaan syariah juga meliputi penerapan prinsip syariah.
  4. Tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit meliputi prinsip Koperasi, kelembagaan, dan manajemen termasuk uji kelayakan untuk pengurus dan pengawas Koperasi bagi KUK 3 dan KUK 4.
  5. Profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi penilaian risiko inheren dan penerapan manajemen risiko.
  6. Kinerja Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit meliputi evaluasi kinerja keuangan, manajemen keuangan, dan kesinambungan keuangan (earning sustainbility).
  7. Permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit meliputi kecukupan permodalan dan kecukupan pengelolaan permodalan.
  8. KKPKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Deputi.

Bagian Kelima
Hasil Pengawasan Koperasi

Pasal 14

Hasil Pengawasan Koperasi terdiri atas:

  1. LHPKK; dan/atau
  2. sanksi administratif jika ditemukan pelanggaran.

Pasal 15

  1. LHPKK berisi dokumen laporan tertulis hasil Pemeriksaan Kesehatan Koperasi dan pemberian skor tingkat kesehatan Koperasi.
  2. Tingkat kesehatan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. sehat;
    2. cukup sehat;
    3. dalam pengawasan; atau
    4. dalam pengawasan khusus.

Pasal 16

  1. Terhadap Koperasi dengan tingkat kesehatan sehat atau cukup sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) diberikan sertifikat kesehatan.
  2. Terhadap Koperasi dengan tingkat kesehatan dalam pengawasan atau dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditindaklanjuti dengan sanksi administratif.
  3. Sertifikat kesehatan atau sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Deputi/Perangkat Daerah provinsi/kabupaten/kota berdasarkan LHPKK.
  4. Deputi dapat mempublikasikan tingkat kesehatan Koperasi.
  5. Perangkat Daerah provinsi atau kabupaten/kota dapat mempublikasikan tingkat kesehatan Koperasi.

Bagian Keenam
Kerjasama Pengawasan Koperasi

Pasal 17

Dalam hal Koperasi melakukan kegiatan usaha yang menjadi objek pengawasan instansi lain, pengawasan Koperasi dilakukan melalui kerja sama dengan instansi terkait.

Pasal 18

Apabila diperlukan, Deputi/Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk akuntan publik untuk melakukan audit dengan biaya dibebankan kepada Koperasi yang bersangkutan.

BAB V
TAHAPAN PENGAWASAN KOPERASI

Pasal 19

Tahapan Pengawasan Koperasi meliputi:

  1. persiapan pemeriksaan secara langsung;
  2. pelaksanaan pemeriksaan;
  3. pelaporan hasil pemeriksaan; dan/atau
  4. penerapan sanksi administratif.

Pasal 20

Persiapan pemeriksaan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:

  1. menginventarisasi data dan informasi terkait dengan Koperasi yang akan dilakukan pemeriksaan serta menyusun rencana kerja Pemeriksaan Koperasi;
  2. menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan kepada Koperasi terkait waktu pelaksanaan dan permintaan data, dokumen, dan keterangan lain paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan pemeriksaan; dan
  3. mempersiapkan surat tugas yang diterbitkan oleh Deputi/Kepala Perangkat Daerah.

Pasal 21

Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b meliputi:

  1. tim Pengawas Koperasi wajib menyerahkan surat tugas pemeriksaan kepada pengurus Koperasi;
  2. pengurus mewakili Koperasi dalam hal pemberian data, dokumen, dan keterangan lain selama pelaksanaan pemeriksaan;
  3. pertemuan pendahuluan (entry meeting);
  4. pelaksanaan pemeriksaan dengan menggunakan KKPKK;
  5. melakukan klarifikasi dan konfirmasi hasil temuan pemeriksaan yang akan dituangkan dalam BAPK; dan
  6. pertemuan akhir (exit meeting) untuk penandatanganan dan penyerahan BAPK.

Pasal 22

  1. Pelaporan hasil pemeriksaan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c disusun secara obyektif, seimbang, independen, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
  2. LHPKK paling sedikit memuat:
    1. identitas Koperasi;
    2. tujuan pemeriksaan;
    3. ruang lingkup pemeriksaan;
    4. data umum Koperasi; dan
    5. substansi hasil Pemeriksaan, paling sedikit terdiri atas:
      1. pokok-pokok temuan;
      2. rekomendasi tindak lanjut;
      3. jadwal penyelesaian tindak lanjut;
      4. nama dan tandatangan tim Pemeriksa; dan
      5. tingkat kesehatan koperasi.
  3. Setiap melakukan pemeriksaan dalam rangka tugas pengawasan, Pengawas Koperasi harus membuat BAPK dan melaporkan LHPKK kepada pejabat pemberi tugas.

Pasal 23

  1. Pengawas Koperasi merekomendasikan pengenaan sanksi terhadap Koperasi yang melakukan pelanggaran meliputi:
    1. tata kelola;
    2. profil risiko;
    3. kinerja keuangan; dan/atau
    4. permodalan.
  2. Pengawas Koperasi merekomendasikan pengenaan sanksi terhadap Koperasi yang menerapkan pola syariah namun melakukan pelanggaran prinsip-prinsip syariah.

Pasal 24

Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikategorikan sebagai berikut:

  1. sanksi ringan berupa surat teguran;
  2. sanksi sedang berupa penurunan tingkat kesehatan Koperasi, pembatasan kegiatan usaha Koperasi, atau pembekuan izin usaha Koperasi; dan
  3. sanksi berat berupa pencabutan izin usaha Koperasi atau pembubaran Koperasi.

Pasal 25

  1. Surat teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dapat diberikan paling banyak 2 (dua) kali.
  2. Koperasi wajib menindaklanjuti surat teguran paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterbitkan.

Pasal 26

Penurunan tingkat kesehatan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b dilakukan tanpa menunggu periode pemeriksaan Koperasi berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebelumnya.

Pasal 27

Pembatasan kegiatan usaha Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b antara lain pembatasan penambahan anggota, penerimaan simpanan, penyaluran pinjaman baru, pembukaan jaringan pelayanan, perubahan anggaran dasar, dan/atau pergantian pengurus hingga jangka waktu yang ditetapkan.

Pasal 28

Pemberian sanksi administratif dapat dilakukan:

  1. berjenjang, secara berurutan mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat;
  2. tidak berjenjang, diberikan sesuai dengan tingkat kewajaran terhadap pelanggaran yang dilakukan dan dampak yang terjadi di masyarakat; atau
  3. secara kumulatif, yang terdiri atas gabungan jenis sanksi administratif.

Pasal 29

  1. Naskah sanksi administratif berupa surat teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dibuat dengan surat dinas yang ditandatangani oleh Deputi/Kepala Perangkat Daerah provinsi/kabupaten/kota.
  2. Naskah sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b dan huruf c dibuat dengan surat keputusan yang ditandatangani oleh Deputi/Kepala Perangkat Daerah provinsi/kabupaten/kota.
  3. Naskah sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
    1. nama jabatan, nama pejabat, dan alamat pejabat yang berwenang menerbitkan sanksi administratif;
    2. identitas Koperasi dan pengurus Koperasi;
    3. jenis sanksi administratif;
    4. ketentuan substansi atau norma peraturan perundang-undangan yang dilanggar;
    5. rekomendasi temuan pemeriksaan tim Pengawas Koperasi yang harus ditindaklanjuti oleh pengurus Koperasi; dan
    6. jangka waktu penyelesaian sanksi administratif.
  4. Format surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Deputi.

Pasal 30

Surat keputusan sanksi administratif disampaikan kepada pengurus Koperasi dan dilengkapi dengan tanda terima berupa dokumen tertulis atau dokumen elektronik sebagai dasar melaksanakan sanksi administratif.

Pasal 31

Pengurus Koperasi wajib menyelesaikan seluruh sanksi administratif sesuai dengan jangka waktu yang tercantum dalam surat keputusan sanksi administratif.

Pasal 32

  1. Pemantauan pelaksanaan sanksi administratif dilaksanakan oleh tim Pengawas Koperasi.
  2. Tim Pengawas Koperasi wajib membuat LHP dan melaporkannya kepada pejabat yang memberi tugas.
  3. LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan keputusan pejabat yang berwenang berupa pernyataan telah menyelesaikan seluruh sanksi administratif.
  4. Dalam hal Koperasi yang dikenakan sanksi tidak melaksanakan keputusan sanksi, dikenakan sanksi administratif selanjutnya.

BAB VI
PELAPORAN

Pasal 33

Laporan Pengawasan Koperasi terdiri atas:

  1. laporan tim Pengawas Koperasi; dan
  2. laporan unit kerja pengawasan Koperasi.

Pasal 34

Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a wajib dibuat oleh tim Pengawas Koperasi setelah melakukan kegiatan pemeriksaan dan pemantauan.

Pasal 35

  1. Laporan unit kerja Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b disusun oleh unit/satuan kerja yang membidangi Pengawasan Koperasi setiap 6 (enam) bulan dan/atau sewaktu-waktu diperlukan.
  2. Unit kerja pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan laporan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya.
  3. Tembusan laporan unit kerja Pengawasan Koperasi kepada Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri Cq. Deputi.

Pasal 36

Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dapat dilakukan melalui sistem teknologi informasi.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 37

Proses pemeriksaan dan penilaian kesehatan koperasi yang dilaksanakan berdasarkan kertas kerja yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 17/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pengawasan Koperasi tetap berlaku sampai dengan KKPKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) ditetapkan paling lama 30 Juni 2021.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 38

Ketentuan mengenai KKPKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku 1 Juli 2021.

Pasal 39

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 17/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pengawasan Koperasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1496), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 40

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Demikian bunyi Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Nomor 9 tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi.