Lompat ke isi utama

PermenKP 24/2019 tentang Tata Cara Izin Lokasi dan Pengelolaan Perairan di WP3K

PermenKP 24/2019 tentang Tata Cara Izin Lokasi dan Pengelolaan Perairan di WP3K

Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Izin Lokasi Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang secara menetap dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang setara dengan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 24/PERMEN-KP/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada tanggal 1 Juli 2019 di Jakarta.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 24/PERMEN-KP/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mulai berlaku pada tanggal diundangkan pada tanggal 10 Juli 2019 di Jakarta oleh Dirjen Peratuan Perundang-undangan Kemenkumham RI Widodo Ekatjahjana dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 758.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 24/PERMEN-KP/2019
tentang
Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan
di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Latar Belakang

Penetapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 24/PERMEN-KP/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Pasal 88 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik, perlu mengatur tata cara pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dasar Hukum

Dasar hukum penetapan Permen KP Nomor 24/PERMEN-KP/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau–Pulau Kecil Terluar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5151);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);
  6. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 111), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 5);
  7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6/PERMEN-KP/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 220), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7/PERMEN-KP/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6/PERMEN-KP/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 317);

Isi Permen Kelautan dan Perikanan

Berikut adalah isi dari Nomor 24/PERMEN-KP/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (bukan format asli) :

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Izin Lokasi Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang selanjutnya disebut Izin Lokasi Perairan, adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang secara menetap dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
  2. Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, yang selanjutnya disebut Izin Pengelolaan Perairan, adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang setara dengan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik.
  3. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
  4. Pulau-Pulau Kecil Terluar, yang selanjutnya disingkat PPKT, adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional.
  5. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
  6. Benda Muatan Kapal Tenggelam, yang selanjutnya disingkat BMKT, adalah benda muatan asal kapal tenggelam yang mempunyai nilai ekonomi, sejarah, budaya, dan/atau ilmu pengetahuan yang berada di dasar laut.
  7. Pengangkatan BMKT adalah kegiatan yang meliputi survei, pengambilan, pemindahan, penyimpanan, dan pemanfaatan BMKT.
  8. Wisata Bahari adalah bagian dari wisata tirta yang menggunakan ruang laut secara menetap.
  9. Kawasan Konservasi adalah kawasan konservasi perairan dan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  10. Kawasan Strategis Nasional, yang selanjutnya disingkat KSN, adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
  11. Kawasan Strategis Nasional Tertentu, yang selanjutnya disingkat KSNT, adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.
  12. Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
  1. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  2. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu.
  4. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
  5. Perairan Pulau Jawa adalah perairan yang mengelilingi Pulau Jawa meliputi Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Madura di timur.
  6. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  7. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  8. Koperasi adalah badan usaha yang dimiliki dan beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
  9. Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  10. Pendaftaran adalah pendaftaran usaha dan/atau kegiatan oleh Pelaku Usaha melalui Online Single Submission.
  11. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission, yang selanjutnya disebut Lembaga OSS, adalah lembaga pemerintahan non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
  12. Izin Usaha adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen.
  13. Izin Komersial atau Operasional adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha mendapatkan Izin Usaha dan untuk melakukan kegiatan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen.
  14. Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.
  15. Tanda Daftar Usaha Pariwisata, yang selanjutnya disingkat TDUP, adalah dokumen resmi yang diberikan kepada pengusaha pariwisata untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata.
  16. Hari adalah hari kerja.
  17. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  19. Kementerian adalah kementerian yang membidangi urusan kelautan dan perikanan.
  20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
  21. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang membidangi urusan pengelolaan ruang laut.

Bagian Kedua
Tujuan dan Ruang Lingkup

Pasal 2

Tujuan Peraturan Menteri ini untuk menjadi acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pelaku Usaha dalam perizinan di Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 3

Ruang lingkup dalam Peraturan Menteri ini meliputi:

  1. Izin Lokasi Perairan; dan
  2. Izin Pengelolaan Perairan.

BAB II
IZIN LOKASI PERAIRAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4

  1. Pelaku Usaha yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi Perairan.
  2. Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Rencana Zonasi.
  3. Rencana Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
    1. Rencana Zonasi KSN;
    2. Rencana Zonasi KSNT;
    3. Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
    4. rencana pengelolaan dan Rencana Zonasi Kawasan Konservasi.
  4. Pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir secara menetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan yang menurut sifatnya memerlukan ruang laut secara terus menerus paling singkat 30 (tiga puluh) hari pada lokasi yang sama.

Pasal 5

Izin Lokasi Perairan menjadi dasar untuk pemberian:

  1. Izin Pengelolaan Perairan dan/atau Izin Usaha sektor lain yang menggunakan Perairan Pesisir secara menetap; dan
  2. Izin pelaksanaan Reklamasi.

Pasal 6

  1. Menteri berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi Perairan di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, KSN, KSNT, dan Kawasan Konservasi nasional.
  2. Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di:
    1. intas provinsi diberikan berdasarkan Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
    2. KSN diberikan berdasarkan Rencana Zonasi KSN;
    3. KSNT diberikan berdasarkan Rencana Zonasi KSNT; dan
    4. Kawasan Konservasi nasional diberikan berdasarkan rencana pengelolaan dan Rencana Zonasi Kawasan Konservasi.
  3. Gubernur berwenang memberikan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil selain yang menjadi kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  4. Menteri memberikan Izin Lokasi Perairan di lintas provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berdasarkan pertimbangan gubernur terkait.

Pasal 7

  1. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Menteri menerbitkan Izin Lokasi Perairan untuk kegiatan Reklamasi pada pembangunan:
    1. pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Menteri;
    2. obyek vital nasional; dan/atau
    3. kegiatan yang bersifat strategis nasional.
  2. Menteri menerbitkan Izin Lokasi Perairan untuk:
    1. kegiatan Reklamasi di KSN berdasarkan rencana tata ruang KSN dalam hal Rencana Zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b belum ditetapkan; dan
    2. kegiatan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rencana tata ruang yang berlaku.

Pasal 8

  1. Izin Lokasi Perairan untuk kegiatan Reklamasi dengan luasan di atas 10 (sepuluh) hektare harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
  2. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh gubernur kepada Menteri disertai dengan persyaratan:
    1. surat keterangan lokasi kegiatan Reklamasi dan lokasi sumber material dari gubernur;
    2. peta lokasi Reklamasi dengan skala 1 : 1.000 dan lokasi sumber material dengan skala 1 : 10.000 dengan sistem koordinat lintang (longitude) dan bujur (latitude) pada lembar peta; dan
    3. proposal perencanaan Reklamasi.
  3. Menteri memberikan rekomendasi dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak diterimanya permohonan rekomendasi secara lengkap.
  4. Ketentuan tentang penyusunan proposal perencanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 9

  1. Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diberikan apabila lokasi yang dimohonkan:
    1. sesuai dengan Rencana Zonasi;
    2. tidak berada di:
      1. zona inti di Kawasan Konservasi;
      2. alur laut;
      3. kawasan pelabuhan;
      4. pantai umum; dan
      5. wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat.
  2. Izin Lokasi Perairan di Kawasan Konservasi tidak diberikan di luar zona inti sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b angka 1, untuk kegiatan:
    1. pertambangan terbuka;
    2. dumping; dan
    3. Reklamasi.
  3. Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada Kawasan Konservasi, Izin Lokasi Perairan hanya dapat diberikan untuk:
    1. kegiatan yang bersifat strategis nasional yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau
    2. kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi.
  4. Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Kawasan Konservasi yang telah ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10

Pemberian Izin Lokasi Perairan wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.

Bagian Kedua
Pemberian Izin Lokasi Perairan

Pasal 11

  1. Izin Lokasi Perairan diberikan kepada Pelaku Usaha.
  2. Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
    1. orang-perseorangan warga negara Indonesia;
    2. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
    3. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.

Pasal 12

Pemegang Izin Lokasi Perairan dapat:

  1. menggunakan dan/atau memanfaatkan ruang perairan sesuai lokasi, jenis kegiatan, luasan, dan jangka waktu sesuai dengan izin yang diberikan;
  2. menggunakan izin yang di berikan untuk menjadi dasar bagi persyaratan/pengurusan izin-izin terkait lainnya dan/atau melaksanakan kegiatan pemanfaatan ruang perairan.

Pasal 13

Pemegang Izin Lokasi Perairan dan/atau Izin Pengelolaan Perairan wajib:

  1. memberikan akses untuk nelayan kecil yang sudah secara rutin melintas; dan
  2. menyampaikan laporan tertulis secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya.

Pasal 14

  1. Izin Lokasi Perairan dapat diberikan paling luas sesuai dengan kebutuhan ruang yang dimohonkan oleh Pelaku Usaha.
  2. Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam titik koordinat geografis.
  3. Luasan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan:
    1. jenis kegiatan dan skala usaha;
    2. daya dukung dan daya tampung/ketersediaan ruang perairan;
    3. kebutuhan ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan;
    4. pemanfaatan perairan yang telah ada;
    5. teknologi yang digunakan; dan
    6. potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Pasal 15

  1. Izin Lokasi Perairan untuk orang perseorangan diberikan untuk kegiatan:
    1. biofarmakologi laut paling luas 1 (satu) hektare;
    2. bioteknologi laut paling luas 1 (satu) hektare;
    3. pemanfaatan air laut selain energi paling luas 1 (satu) hektare;
    4. Wisata Bahari paling luas 5 (lima) hektare;
    5. budidaya laut paling luas 5 (lima) hektare;
    6. bangunan laut selain untuk pertambangan paling luas 1 (satu) hektare;
    7. Reklamasi paling luas 25 (dua puluh lima) hektare;
    8. pengusahaan pariwisata alam perairan di Kawasan Konservasi nasional dengan luasan sesuai dengan rencana pengelolaan dan zonasi dan/atau rencana teknis pemanfaatan Kawasan Konservasi; dan
    9. pertambangan dengan luasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Izin Lokasi Perairan untuk Korporasi dan Koperasi diberikan untuk kegiatan:
    1. biofarmakologi dan bioteknologi laut paling luas 100 (seratus) hektare untuk di Perairan Pulau Jawa, dan paling luas 200 (dua ratus) hektare untuk di luar Perairan Pulau Jawa;
    2. pemanfaatan air laut selain energi dengan luasan sesuai kebutuhan;
    3. Wisata Bahari paling luas 100 (seratus) hektare untuk di Perairan Pulau Jawa, dan paling luas 200 (dua ratus) hektare untuk di luar Perairan Pulau Jawa;
    4. pemasangan pipa dan kabel bawah laut dengan batas koridor paling jauh 500 (lima ratus) meter dari garis sumbu yang berada di luar alur laut;
    5. Pengangkatan BMKT dengan radius paling jauh 500 (lima ratus) meter dari titik koordinat terluar lokasi BMKT;
    6. budidaya laut paling luas 200 (dua ratus) hektare untuk di Perairan Pulau Jawa, dan paling luas 500 (lima ratus) hektare untuk di luar Perairan Pulau Jawa;
    7. Reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektare;
    8. pengusahaan pariwisata alam perairan di Kawasan Konservasi nasional dengan luasan sesuai dengan rencana pengelolaan dan zonasi dan/atau rencana teknis pemanfaatan Kawasan Konservasi;
    9. bangunan dan instalasi di laut di luar pertambangan yang berada di luar alur laut dengan luasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    10. pertambangan dengan luasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    11. terminal khusus dan pelabuhan perikanan dengan luasan perairan sesuai dengan kebutuhan operasional pelabuhan dan keselamatan pelayaran.
  3. Izin Lokasi Perairan diberikan dengan batas luasan untuk:
    1. orang perseorangan dalam 1 (satu) provinsi paling luas 10 (sepuluh) kali dan seluruh Indonesia paling luas 20 (dua puluh) kali dari luasan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
    2. Korporasi dan Koperasi dalam 1 (satu) provinsi paling luas 10 (sepuluh) kali dan seluruh Indonesia paling luas 20 (dua puluh) kali dari luasan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
    3. Korporasi dan koperasi di:
      1. Perairan Pulau Jawa paling luas 10 (sepuluh) kali dari batas luasan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf f, dan huruf g; atau
      2. luar Perairan Pulau Jawa paling luas 20 (dua puluh) kali dari batas luasan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf f, dan huruf g.
  4. Batas luasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) telah termasuk luas kebutuhan ruang untuk bangunan dan instalasi di laut yang digunakan serta kepentingan ruang pendukung kegiatan tersebut.
  5. Batas luasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk kegiatan Reklamasi yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional dan/atau melaksanakan penugasan oleh Pemerintah.
  6. Izin Lokasi Perairan untuk kegiatan Pengangkatan BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Tata Cara Penerbitan Izin Lokasi Perairan

Pasal 16

  1. Pelaku Usaha untuk mendapatkan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Lembaga OSS.
  2. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Lembaga OSS menerbitkan Izin Lokasi Perairan.
  3. Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku efektif setelah Pelaku Usaha memenuhi Komitmen kepada Menteri melalui Lembaga OSS.
  4. Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan verifikasi pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
  5. Permohonan pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 17

  1. Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diterbitkan oleh Lembaga OSS tanpa Komitmen dalam hal:
    1. lokasi usaha dan/atau kegiatan terletak di lokasi kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, serta kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas;
    2. lokasi usaha dan/atau kegiatan berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;
    3. lokasi usaha dan/atau kegiatan yang dipergunakan oleh usaha mikro dan usaha kecil; dan/atau
    4. lokasi usaha dan/atau kegiatan yang akan dipergunakan untuk proyek strategis nasional.
  2. Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan kesesuaian kegiatan dengan Rencana Zonasi yang berlaku.
  3. Dalam hal Rencana Zonasi belum ditetapkan, Izin Lokasi Perairan di lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Komitmen.
  4. Izin Lokasi Perairan untuk kegiatan usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

  1. Pelaku Usaha menyampaikan permohonan pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) dengan menyertakan persyaratan berupa proposal yang memuat:
    1. pakta integritas;
    2. latar belakang;
    3. maksud dan tujuan;
    4. lokasi administrasi dan posisi geografis;
    5. luasan dan koordinat geografis lokasi dengan sistem koordinat lintang (latitude) dan bujur (longitude) pada lembar peta;
    6. peta lokasi dan denah/sketsa yang menggambarkan rencana tapak/site plan yang dimohonkan;
    7. kedalaman (layer) yang akan dimanfaatkan;
    8. data kondisi terkini lokasi dan sekitarnya yang mendeskripsikan:
      1. kondisi ekosistem pesisir;
      2. hidro-oseanografi berupa batimetri, arus, pasang surut, dan gelombang;
      3. pemanfaatan ruang;
      4. sosial ekonomi Masyarakat; dan
    9. rencana investasi usaha.
  2. Proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 19

  1. Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) untuk Izin Lokasi Perairan yang akan digunakan untuk kegiatan Reklamasi berupa proposal yang paling sedikit memuat:
    1. latar belakang;
    2. tujuan Reklamasi;
    3. pertimbangan penentuan lokasi yang memuat aspek teknis, aspek lingkungan, dan aspek sosial ekonomi;
    4. rencana pengambilan sumber material Reklamasi yang paling sedikit menjelaskan lokasi pengambilan, metode pengambilan, dan pengangkutan material, volume, serta jenis material;
    5. rencana pemanfaatan lahan Reklamasi;
    6. gambaran umum pelaksanaan Reklamasi;
    7. jadwal rencana pelaksanaan kerja;
    8. peta lokasi Reklamasi dengan skala 1:1.000 (satu berbanding seribu) dengan sistem koordinat lintang (latitude) dan bujur (longitude) pada lembar peta; dan
    9. peta lokasi sumber material Reklamasi dengan skala 1:10.000 (satu berbanding sepuluh ribu) dengan sistem koordinat lintang (latitude) dan bujur (longitude) pada lembar peta.
  2. Lokasi Pengambilan sumber material Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak dapat dilakukan di:
    1. PPKT;
    2. Kawasan Konservasi;
    3. pulau kecil dengan luas kurang dari 100 (seratus) hektare;
    4. kawasan terumbu karang, mangrove, dan padang lamun; dan
    5. pulau kecil lebih dari 10% (sepuluh persen) dari luas pulau.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 20

  1. Pelaku Usaha menyampaikan pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterbitkannya Izin Lokasi Perairan.
  2. Menteri menyetujui atau menolak pemenuhan Komitmen yang telah disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya pemenuhan Komitmen secara lengkap.
  3. Dalam hal Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
    1. menyetujui pemenuhan Komitmen, maka Menteri memerintahkan pembayaran penerimaan negara bukan pajak kepada Pelaku Usaha; atau
    2. menolak pemenuhan Komitmen, maka Izin Lokasi Perairan yang telah diterbitkan dinyatakan batal.
  4. Persetujuan dan penolakan pemenuhan Komitmen oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Lembaga OSS.
  5. Dalam hal Menteri tidak memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Izin Lokasi Perairan yang diterbitkan oleh Lembaga OSS berlaku efektif.
  6. Format persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 21

  1. Izin Lokasi Perairan berlaku efektif setelah Kementerian menyampaikan notifikasi pembayaran penerimaan negara bukan pajak ke dalam sistem OSS berdasarkan bukti pembayaran penerimaan negara bukan pajak yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Kementerian.
  2. Pelaku usaha yang tidak menyelesaikan kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak dalam jangka waktu 7 (tujuh) Hari sejak pemberitahuan perintah pembayaran, maka Izin Lokasi Perairan yang telah diterbitkan dinyatakan batal.

Bagian Keempat
Masa Berlaku

Pasal 22

  1. Izin Lokasi Perairan berlaku sampai dengan berakhirnya Izin Pengelolaan Perairan, izin pelaksanaan Reklamasi, atau Izin Usaha sektor lain.
  2. Dalam hal Izin Pengelolaan Perairan, izin pelaksanaan Reklamasi, atau Izin Usaha sektor lain yang menggunakan perairan secara menetap belum diterbitkan, maka Izin Lokasi Perairan berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diterbitkan.

Pasal 23

Izin Lokasi Perairan berakhir apabila:

  1. habis masa berlakunya;
  2. dikembalikan oleh Pelaku Usaha;
  3. dicabut izinnya;
  4. dibatalkan izinnya; atau
  5. perairannya menjadi daratan.

Pasal 24

  1. Pengembalian Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha dalam hal:
    1. lokasi yang tertera dalam izin diperlukan untuk pelaksanaan kepentingan yang bersifat strategis nasional dan objek vital nasional; dan/atau
    2. terjadi bencana alam (force majeure) yang menyebabkan pemegang izin tidak mampu meneruskan kembali kegiatannya.
  2. Pengembalian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam surat pernyataan pengembalian Izin Lokasi Perairan yang ditandatangani oleh Pelaku Usaha dan ditujukan kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 25

Ketentuan mengenai batasan luasan, persyaratan, tata cara penerbitan, pemenuhan Komitmen, masa berlaku, dan berakhirnya Izin Lokasi Perairan yang menjadi kewenangan gubernur berlaku mutatis mutandis ketentuan Izin Lokasi Perairan dalam Peraturan Menteri ini.

BAB III
IZIN PENGELOLAAN PERAIRAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 26

  1. Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b diberikan berdasarkan Izin Lokasi Perairan.
  2. Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
    1. produksi garam;
    2. Wisata Bahari;
    3. pemanfaatan air laut selain energi;
    4. pengusahaan pariwisata alam perairan di Kawasan Konservasi;
    5. Pengangkatan BMKT;
    6. biofarmakologi; dan
    7. bioteknologi.
    wajib memiliki Izin Pengelolaan Perairan.
  3. Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan Wisata Bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menjadi Komitmen dalam penerbitan TDUP oleh menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang kepariwisataan.
  4. Kegiatan pengusahaan pariwisata alam perairan di Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi:
    1. penyediaan infrastruktur pariwisata alam perairan;
    2. penyediaan peralatan kegiatan pariwisata alam perairan;
    3. penyediaan jasa transportasi; dan/atau
    4. jasa pramuwisata.
  5. Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah Pelaku Usaha memiliki Izin Lokasi Perairan dan izin lingkungan.
  6. Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada Pelaku Usaha yang melaksanakan usaha Wisata Bahari dengan mendirikan dan/atau menempatkan bangunan dan instalasi di laut.
  7. Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterbitkan sektor lain yang menggunakan perairan secara menetap diberikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Ketentuan mengenai Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan Pengangkatan BMKT, biofarmakologi, dan bioteknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, f, dan g diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 27

  1. Izin Pengelolaan Perairan diberikan kepada Pelaku Usaha yang terdiri dari:
    1. orang perseorangan warga negara Indonesia;
    2. Korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
    3. Koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.
  2. Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib:
    1. menghormati kepentingan pihak lain yang melakukan kegiatan/pemanfaatan ruang perairan di sekitarnya;
    2. melakukan kegiatannya secara ramah lingkungan;
    3. menjaga kelestarian ekosistem Perairan Pesisir;
    4. menjaga kehidupan dan alur migrasi biota laut;
    5. memberikan akses/tempat berlindung kepada siapapun dalam kondisi darurat; dan
    6. menyampaikan laporan secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali.
  3. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan keberadaan kondisi setempat, meliputi persyaratan untuk tidak menimbulkan:
    1. konflik sosial; dan
    2. gangguan bagi pelaksanaan kepentingan keselamatan, pertahanan keamanan, dan kepentingan lain yang bersifat strategis nasional.

Bagian Kedua
Tata Cara Penerbitan Izin Pengelolaan Perairan

Pasal 28

  1. Pelaku Usaha untuk mendapatkan Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Lembaga OSS.
  2. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Lembaga OSS menerbitkan Izin Pengelolaan Perairan.
  3. Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku secara efektif setelah Pelaku Usaha memenuhi Komitmen kepada Menteri melalui Lembaga OSS.
  4. Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan verifikasi pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 29

  1. Pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan produksi garam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a meliputi:
    1. izin lokasi yang diterbitkan oleh bupati/wali kota;
    2. izin lingkungan yang disertai dokumen lingkungan;
    3. dokumen rencana yang memuat rencana rinci (detail engineering design) berupa desain dan tata letak tambak garam paling sedikit memuat saluran pengairan, jalan produksi, dan tempat penyimpanan garam; dan
    4. standar operasional prosedur pengambilan air laut.
  2. Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pada Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan produksi garam yang telah mendapatkan izin lokasi dengan luasan paling sedikit 15 (lima belas) hektare.
  3. Permohonan pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan produksi garam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 30

  1. Pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan Wisata Bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b, meliputi:
    1. Izin Lokasi Perairan;
    2. izin lokasi untuk usaha yang memanfaatkan tanah;
    3. izin lingkungan yang disertai dokumen lingkungan;
    4. analisis kesesuaian dan daya dukung kawasan;
    5. detail engineering design;
    6. dokumen kelayakan usaha yang paling sedikit memuat:
      1. analisa keuangan;
      2. analisa operasional; dan
      3. analisa sumber daya manusia.
    7. kesanggupan untuk:
      1. melibatkan Masyarakat lokal; dan
      2. membongkar bangunan dan instalasi apabila masa berlaku Izin Pengelolaan Perairan telah habis dan kegiatan usaha tidak dilanjutkan lagi.
  2. Permohonan pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan Wisata Bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 31

  1. Pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan pemanfaatan air laut selain energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c, meliputi:
    1. Izin Lokasi Perairan;
    2. izin lokasi, dalam hal instalasi, sarana, dan/atau prasarana juga berada di darat;
    3. izin lingkungan yang disertai dokumen lingkungan;
    4. dokumen studi kelayakan teknis yang paling sedikit memuat:
      1. jumlah dan kualifikasi tenaga kerja;
      2. metode pengambilan/pemanfaatan air laut selain energi;
      3. metode pengoperasian meliputi waktu operasional dan intensitas pemanfaatan; dan
      4. metode perawatan dan perbaikan instalasi, sarana, dan prasarana;
    5. dokumen rencana yang memuat:
      1. rencana rinci (detail engineering design) yang terdiri dari jenis pemanfaatan air laut, desain, tata letak, dan kapasitas pengambilan/pemanfaatan air dalam bentuk titik koordinat;
      2. daftar sarana yang akan digunakan; dan
      3. rencana aktivitas pasca berakhirnya Izin Pengelolaan Perairan.
  2. Permohonan pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan pemanfaatan air laut selain energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 32

  1. Pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam perairan di Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d, meliputi:
    1. Izin Lokasi Perairan;
    2. izin lokasi untuk usaha yang memanfaatkan tanah;
    3. izin lingkungan yang disertai dokumen lingkungan;
    4. dokumen rencana usaha, meliputi:
      1. jenis kegiatan;
      2. rencana investasi;
      3. rencana pengelolaan limbah;
      4. daftar jumlah, spesifikasi unit, dan status sarana dan prasarana yang dimiliki;
      5. rencana operasional; dan
      6. gambar tata letak dan detail desain (detail engineering design);
    5. kesanggupan untuk:
      1. memperhatikan bahan bangunan, desain, dan penempatan infrastruktur pariwisata alam perairan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
      2. melakukan kemitraan pengelolaan Kawasan Konservasi perairan; dan
      3. melibatkan Masyarakat Lokal.
  2. Permohonan pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam perairan di Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 33

  1. Pelaku Usaha menyampaikan pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterbitkannya Izin Pengelolaan Perairan.
  2. Menteri menyetujui atau menolak pemenuhan Komitmen yang telah disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya pemenuhan Komitmen secara lengkap.
  3. Dalam hal Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
    1. menyetujui pemenuhan Komitmen, maka Menteri memerintahkan pembayaran penerimaan negara bukan pajak kepada Pelaku Usaha; atau
    2. menolak pemenuhan Komitmen, maka Izin Pengelolaan Perairan yang telah diterbitkan dinyatakan batal.
  4. Persetujuan dan penolakan pemenuhan Komitmen oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Lembaga OSS.
  5. Dalam hal Menteri tidak memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Izin Pengelolaan Perairan yang diterbitkan oleh Lembaga OSS berlaku efektif.
  6. Format persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 34

  1. Izin Pengelolaan Perairan berlaku efektif setelah Kementerian menyampaikan notifikasi pembayaran penerimaan negara bukan pajak ke dalam sistem OSS berdasarkan bukti pembayaran penerimaan negara bukan pajak yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Kementerian.
  2. Pelaku Usaha yang tidak menyelesaikan kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak dalam jangka waktu 7 (tujuh) Hari sejak pemberitahuan perintah pembayaran, maka Izin Pengelolaan Perairan yang telah diberikan dinyatakan batal.

Bagian Ketiga
Masa Berlaku

Pasal 35

  1. Izin Pengelolaan Perairan berlaku selama:
    1. 10 (sepuluh) tahun untuk kegiatan produksi garam;
    2. 20 (dua puluh) tahun untuk kegiatan Wisata Bahari;
    3. 10 (sepuluh) tahun untuk kegiatan pemanfaatan air laut selain energi;
    4. 20 (dua puluh) tahun untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam perairan di Kawasan Konservasi nasional.
  2. Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterbitkan sektor lain yang menggunakan perairan secara menetap masa berlakunya sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

Izin Pengelolaan Perairan berakhir apabila:

  1. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang;
  2. dikembalikan oleh Pelaku Usaha;
  3. dicabut izinnya;
  4. dibatalkan izinnya; atau
  5. perairannya menjadi daratan.

Pasal 37

  1. Perpanjangan Izin Pengelolaan Perairan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Izin Pengelolaan berakhir kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.
  2. Pengajuan perpanjangan Izin Pengelolaan Perairan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan Pasal 34.

Pasal 38

Pemenuhan Komitmen Izin Pengelolaan Perairan perpanjangan berupa:

  1. laporan pelaksanaan kegiatan dan rencana kegiatan lanjutan;
  2. bukti pembayaran penerimaan negara bukan pajak; dan
  3. laporan keuangan yang diaudit akuntan publik dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin.

Pasal 39

  1. Pengembalian Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha dalam hal:
    1. lokasi yang tertera dalam izin diperlukan untuk pelaksanaan kepentingan yang bersifat strategis nasional dan objek vital nasional; dan/atau
    2. terjadi bencana alam (force majeure) yang menyebabkan pemegang izin tidak mampu meneruskan kembali kegiatannya.
  2. Pengembalian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam surat pernyataan pengembalian Izin Pengelolaan Perairan yang ditandatangani oleh Pelaku Usaha dan ditujukan kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 40

Ketentuan mengenai tata cara penerbitan, pemenuhan Komitmen, masa berlaku, dan berakhirnya Izin Pengelolaan Perairan yang menjadi kewenangan gubernur berlaku mutatis mutandis ketentuan Izin Pengelolaan Perairan dalam Peraturan Menteri ini.

BAB IV
FASILITASI IZIN LOKASI PERAIRAN DAN IZIN PENGELOLAAN
PERAIRAN BAGI MASYARAKAT LOKAL DAN TRADISIONAL

Pasal 41

Fasilitasi perizinan untuk Masyarakat Lokal merupakan upaya pelindungan Pemerintah terhadap kegiatan Masyarakat.

Pasal 42

  1. Masyarakat Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang memperoleh fasilitasi perizinan memiliki kriteria sebagai berikut:
    1. bermata pencaharian pokok sebagai nelayan dengan alat penangkapan statis, pembudidaya ikan atau petambak garam; dan
    2. menghasilkan produksi atau memiliki penghasilan tidak lebih dari nilai rata-rata upah minimum provinsi.
  2. Selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pembudi daya ikan dan petambak garam, wajib berdomisili di pesisir dan pulau-pulau kecil paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.

Pasal 43

  1. Masyarakat Lokal yang memperoleh fasilitasi perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) ditetapkan oleh bupati/wali kota.
  2. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil identifikasi Masyarakat Lokal yang disampaikan oleh lurah/kepala desa melalui camat.

Pasal 44

  1. Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan untuk Masyarakat Lokal yang ditetapkan oleh bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1).
  2. Penyelenggaraan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri atau gubernur dapat dibantu oleh unit kerja teknis.

Pasal 45

  1. Fasilitasi pemberian Izin Lokasi Perairan untuk Masyarakat Lokal pada kegiatan:
    1. perikanan tangkap dengan alat penangkapan ikan statis;
    2. perikanan budidaya menetap;
    3. Wisata Bahari; danvpermukiman di atas air.
  2. Fasilitasi pemberian Izin Pengelolaan Perairan untuk Masyarakat Lokal pada kegiatan:
    1. produksi garam; dan
    2. Wisata Bahari.
  3. Ketentuan Izin Pengelolaan Perairan untuk kegiatan perikanan tangkap dengan alat penangkapan ikan statis dan perikanan budidaya secara menetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Fasilitasi untuk Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan yang dilakukan di dalam Kawasan Konservasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46

  1. Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), bupati/wali kota mengajukan permohonan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.
  2. Permohonan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan:
    1. administrasi, berupa:
      1. fotokopi kartu identitas diri; dan
      2. fotokopi kartu keluarga.
    2. teknis,berupa surat penetapan Masyarakat Lokal yang menunjukkan daftar nama orang, letak dan luasan lokasi, serta jenis kegiatan yang dilakukan/dimohonkan;
    3. operasional, berupa formulir kegiatan yang dilakukan yang disahkan oleh lurah/kepala desa yang memuat:
      1. metode atau cara yang digunakan dalam pengelolaan;
      2. daftar sarana dan prasarana yang digunakan; dan
      3. waktu dan intensitas operasional.

Pasal 47

  1. Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan kepada Masyarakat Lokal.
  2. Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan kepada Masyarakat Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses verifikasi.
  3. Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 48

  1. Proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dilakukan terhadap permohonan untuk mendapatkan:
    1. kesesuaian domisili Masyarakat; dan
    2. kesesuaian lokasi dan luasan ruang perairan.
  2. Usulan lokasi dan luasan ruang perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan:
    1. merupakan ruang penghidupan sehari-hari; dan
    2. berdasarkan peruntukan ruang dalam Rencana Zonasi.
  3. Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 49

  1. Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dalam Pasal 48 ayat (3) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan kepada Masyarakat Lokal.
  2. Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan kepada Masyarakat Lokal dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak permohonan diterima secara lengkap.

Pasal 50

  1. Menteri atau gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 menyusun program pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan kepada Masyarakat Lokal.
  2. Dalam hal terdapat pengajuan permohonan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan oleh anggota Masyarakat Lokal yang telah ditetapkan di luar pengajuan permohonan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, maka Menteri atau gubernur tidak memberikan fasilitasi Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan.

Pasal 51

Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan untuk Masyarakat Lokal berlaku selama:

  1. digunakan oleh pemegang izin sesuai dengan ketentuan dalam izin yang diberikan;
  2. lokasi izin tidak diperlukan untuk kepentingan penggunaan yang bersifat strategis oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.

Pasal 52

  1. Masyarakat Lokal wajib melaporkan dan melakukan registrasi Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan setiap 5 (lima) tahun sekali kepada Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya melalui lurah/kepala desa.
  2. Bupati/wali kota dapat melakukan pembaharuan penetapan Masyarakat Lokal kembali setelah 15 (lima belas) tahun sejak ditetapkan.
  3. Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  4. Penetapan Masyarakat Lokal kembali setelah 15 (lima belas) tahun sejak ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar Menteri atau gubernur dalam pemberian fasilitasi Izin Lokasi Perairan.
  5. Fasilitasi Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan apabila alokasi ruang yang dimaksud pada ayat (1) masih tersedia/belum dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.

Pasal 53

Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan Izin Lokasi Perairan kepada Masyarakat Lokal untuk kegiatan dan permukiman di atas air sekaligus berlaku sebagai Izin Pengelolaan Perairan.

Pasal 54

  1. Masyarakat Lokal yang memiliki lahan kurang dari 15 (lima belas) hektare untuk usaha produksi garam difasilitasi dalam memperoleh Izin Pengelolaan Perairan.
  2. Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa tanda daftar usaha produksi garam.

Pasal 55

Fasilitasi pemberian izin kepada masyarakat tradisional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENYAJIAN DAN PEMELIHARAAN DATA

Pasal 56

  1. Menteri melakukan pencatatan dan pengadministrasian Izin Lokasi Perairan dalam sistem kadaster laut.
  2. Penyajian dan pemeliharaan data untuk melakukan pengelolaan data dasar (basis data) Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan.
  3. Data dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
    1. data penerbitan Izin Lokasi Perairan;
    2. data penerbitan Izin Pengelolaan Perairan; dan
    3. data hasil pengawasan pelaksanaan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan.
  4. Data penerbitan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling sedikit memuat:
    1. identitas pemegang izin;
    2. koordinat geografis dan luas lokasi;
    3. detail situasi lokasi izin;
    4. jenis kegiatan; dan
    5. masa berlaku.
  5. Data penerbitan Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat:
    1. identitas pemegang izin;
    2. Izin Lokasi Perairan;
    3. masa berlaku; dan
    4. data teknis dan data operasional kegiatan.
  6. Data hasil pengawasan pelaksanaan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, memuat:
    1. laporan berkala pemegang izin;
    2. laporan hasil pemantauan pelaksanaan izin; dan
    3. data dari institusi penegak hukum terkait.
  7. Koordinat geografis dan luas lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, memuat:
    1. lintang; dan
    2. bujur;
    dengan kedetailan sampai satuan detik.
  8. Detail situasi lokasi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terdiri dari:
    1. gambar sketsa lokasi;
    2. batas lokasi;
    3. pemanfaatan di sekitar area; dan
    4. skala.

BAB VI
PENGAWASAN

Pasal 57

  1. Pengawasan dilakukan terhadap pelaksanaan Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan.
  2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
    1. kesesuaian lokasi;
    2. kesesuaian usaha dan/atau kegiatan;
    3. keabsahan dokumen; dan/atau
    4. kesesuaian standar, sertifikat, lisensi dan/atau pendaftaran.
  3. Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
SANKSI

Pasal 58

  1. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penghentian sementara kegiatan berusaha;
    3. pengenaan denda administratif;
    4. pembatalan Izin Lokasi Perairan dan/atau Izin Pengelolaan Perairan;
    5. pencabutan Izin Lokasi Perairan dan/atau Izin Pengelolaan Perairan; dan/atau
    6. pengurangan luasan Izin Lokasi Perairan.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui sistem OSS.

Pasal 59

  1. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a, untuk Izin Lokasi Perairan dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, masing-masing dalam jangka waktu 1 (satu) bulan oleh Menteri atau gubernur.
  2. Dalam hal peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan pencabutan Izin Lokasi Perairan.
  3. Pencabutan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf e dikenakan apabila pemegang izin melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan usahanya.
  4. Peringatan dan pencabutan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disampaikan kepada Pelaku Usaha oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melalui Lembaga OSS.

Pasal 60

  1. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a, untuk Izin Pengelolaan Perairan dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, masing- masing dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, apabila:
    1. melakukan kegiatan pemanfaatan perairan yang tidak sesuai dengan Izin Pengelolaan Perairan yang diberikan;
    2. tidak merealisasikan kegiatannya setelah mendapatkan Izin Pengelolaan Perairan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diberikan; atau
    3. tidak memenuhi rencana usaha sesuai dengan luasan dan jangka waktu pembangunan.
  2. Dalam hal peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan pembekuan sementara selama 1 (satu) bulan.
  3. Dalam hal peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan pengurangan luasan Izin Lokasi Perairan sesuai dengan luasan pembangunan yang telah dilakukan.
  4. Apabila pembekuan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan pencabutan Izin Pengelolaan Perairan.
  5. Pencabutan Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf e dikenakan apabila pemegang izin melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan usahanya.
  6. Peringatan, pembekuan, dan pencabutan Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disampaikan kepada Pelaku Usaha oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melalui Lembaga OSS.

Pasal 61

  1. Pembatalan Izin Lokasi Perairan dan/atau Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dikenakan apabila pemegang izin terbukti menyampaikan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang mengandung unsur cacat hukum, manipulasi, dan/atau penyalahgunaan data.
  2. Pembatalan Izin Lokasi Perairan dan/atau Izin Pengelolaan Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pelaku Usaha oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melalui Lembaga OSS.

BAB VIII
PENETAPAN LOKASI

Pasal 62

  1. Izin Lokasi Perairan untuk kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk penetapan lokasi.
  2. Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui tata cara:
    1. Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang berkepentingan menyampaikan permohonan penetapan lokasi kepada Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya;
    2. Permohonan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
      1. peta lokasi dengan titik koordinat geografis dengan skala sebagai berikut:
        1. untuk pemanfaatan ruang Perairan Pesisir sampai dengan luas 500 (lima ratus) hektare, skala minimal 1:10.000 (satu berbanding sepuluh ribu) disertai dengan koordinat titik ikat terdekat; dan
        2. untuk pemanfaatan ruang Perairan Pesisir dengan luas di atas 500 (lima ratus) hektare, skala minimal 1:50.000 (satu berbanding lima puluh ribu).
      2. luasan lokasi;
      3. maksud dan tujuan kepentingan pembangunan pada ruang Perairan Pesisir yang dimohonkan; dan
      4. data/peta pemanfaatan ruang laut yang telah ada.
    3. Permohonan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan Reklamasi dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa proposal yang paling sedikit memuat:
      1. latar belakang;
      2. tujuan Reklamasi;
      3. pertimbangan penentuan lokasi yang memuat aspek teknis, aspek lingkungan, dan aspek sosial ekonomi;
      4. rencana pengambilan sumber material Reklamasi yang paling sedikit menjelaskan metode pengambilan dan pengangkutan material, volume, dan jenis material;
      5. rencana pemanfaatan lahan Reklamasi;
      6. gambaran umum pelaksanaan Reklamasi;
      7. jadwal rencana pelaksanaan kerja;
      8. peta lokasi Reklamasi dengan skala 1:1.000 (satu berbanding seribu) dengan sistem koordinat lintang (latitude) dan bujur (longitude) pada lembar peta; dan
      9. peta lokasi sumber material Reklamasi dengan skala 1:10.000 (satu berbanding sepuluh ribu) dengan sistem koordinat lintang (latitude) dan bujur (longitude) pada lembar peta.
    4. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan verifikasi.
    5. Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf d disampaikan sebagai bahan pertimbangan persetujuan atau penolakan permohonan kepada Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya.
    6. Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya memberikan persetujuan atau penolakan permohonan penetapan lokasi.
    7. Persetujuan atau penolakan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf e disampaikan oleh Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya kepada pemohon.

Pasal 63

Dalam hal lokasi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) belum terdapat di dalam Rencana Zonasi, maka diakomodasi dalam revisi Rencana Zonasi.

Pasal 64

Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya memberikan persetujuan atau penolakan penetapan lokasi dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya dokumen permohonan secara lengkap.

Pasal 65

  1. Pemanfaatan ruang perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilakukan berdasarkan lokasi atas wilayah kerja minyak dan gas bumi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi.
  2. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi menyampaikan koordinat lokasi wilayah kerja minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri.
  3. Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar acuan Menteri untuk:
    1. diintegrasikan ke dalam dokumen final Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
    2. ditetapkan dalam Rencana Zonasi KSN dan/atau Rencana Zonasi KSNT.
  4. Dalam hal akan dilaksanakan eksploitasi di dalam lokasi wilayah kerja minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi menyampaikan usulan lokasi eksploitasi di sebagian perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai lokasi eksploitasi.
  5. Penetapan lokasi eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), juga berlaku sebagai rekomendasi dalam pengajuan permohonan penetapan lokasi terminal khusus yang berada pada lokasi eksploitasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  6. Menteri menerbitkan penetapan lokasi eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) Hari setelah diterimanya usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi.
  7. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Menteri belum menerbitkan penetapan lokasi, maka terhadap lokasi eksploitasi minyak dan gas bumi tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain selain kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Pasal 66

  1. Dalam hal terdapat lokasi wilayah kerja baru untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang tidak sesuai dengan Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, Rencana Zonasi KSN dan/atau Rencana Zonasi KSNT, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi menyampaikan usulan peta lokasi dengan titik koordinat geografis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) kepada Menteri.
  2. Usulan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar perubahan Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Rencana Zonasi KSN dan/atau Rencana Zonasi KSNT.
  3. Dalam hal lokasi wilayah kerja yang disampaikan menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi belum ditetapkan dalam Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Rencana Zonasi KSN dan/atau Rencana Zonasi KSNT, maka kegiatan penawaran wilayah kerja dan eksplorasi minyak dan gas bumi tetap dapat dilakukan sesuai dengan lokasi yang disampaikan menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi.

Pasal 67

  1. Kewajiban memiliki Izin Lokasi Perairan dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat.
  2. Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah ditetapkan oleh bupati/wali kota dapat mengusulkan ruang perairan sebagai wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat ke dalam Rencana Zonasi.
  3. Pemanfaatan ruang dan sumberdaya Perairan Pesisir dan pulau–pulau kecil oleh Masyarakat Hukum Adat wajib mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 68

  1. Dalam rangka penyelesaian Komitmen Izin Lokasi Perairan, Menteri atau Gubernur sesuai kewenangannya menggunakan data rencana tata ruang laut, Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Rencana Zonasi KSN, Rencana Zonasi KSNT, Rencana Zonasi kawasan antar wilayah, dan/atau data kebijakan satu peta.
  2. Penggunaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penggunaan data secara bersama (data sharing) dan terintegrasi secara elektronik (online).

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Izin Lokasi Perairan yang diterbitkan tanpa berdasarkan Rencana Zonasi dan masih berlaku pada saat Rencana Zonasi ditetapkan, maka Izin Lokasi Perairan tersebut harus disesuaikan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak Rencana Zonasi ditetapkan.

Pasal 70

Perizinan yang diterbitkan pada saat Lembaga OSS belum dapat melaksanakan pelayanan perizinan berusaha, pelaksanaannya dilakukan melalui Perizinan Terpadu Satu Pintu Kementerian.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2019
 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSI PUDJIASTUTI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2019
 
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 758

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 24/PERMEN-KP/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil