Lompat ke isi utama

Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu

Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu

Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu merupakan pedoman dalam pelaksanaan pelayanan reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah. PMK ini melaksanakan ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi,

Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu merupakan istilah pengganti dari Penyelenggaraan Reproduksi dengan Bantuan atau di Luar Cara Alamiah. Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu adalah upaya memperoleh kehamilan di luar cara alamiah tanpa melalui proses hubungan suami istri (sanggama) apabila cara alami tidak memperoleh hasil, dengan mempertemukan spermatozoa suami dengan sel telur istri di dalam tabung.

Syarat rumah sakit yang dapat menyelenggarakan layanan reproduksi non alamiah dalam Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu adalah pemenuhan syarat dalam hal ketenagaan; administrasi dan manajemen; dan sarana, prasarana, dan peralatan.

Persyaratan ketenagaan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu terdiri dari staf medis, tenaga kesehatan pelaksana, dan tenaga pelaksana lain.

Staf medis paling rendah memiliki latar belakang pendidikan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan subspesialisasi endokrinologi reproduksi dan fertilitas; dokter spesialis obstetri dan ginekologi kompetensi tambahan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dan endoskopi ginekologi (laparoskopi, hiteroskopi); dokter spesialis urologi dengan kompetensi tambahan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu, endokrinologi reproduksi pada pria; dokter spesialis andrologi dengan kompetensi tambahan teknologi reproduksi berbantu, endokrinologi reproduksi pada pria; dan dokter dengan kompetensi tambahan biakan jaringan, pematangan oosit, pembuahan dan pembelahan zigot.

Tenaga kesehatan pelaksana paling rendah memiliki latar belakang pendidikan Diploma Tiga Keperawatan kompetensi tambahan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu, dan Diploma Tiga analis kesehatan untuk lingkup pekerjaan membantu biakan jaringan dan pelayanan laboratorium andrologi.

Tenaga pelaksana lain paling rendah memiliki latar belakang pendidikan dokter hewan, atau sarjana biologi dengan kompetensi tambahan biakan jaringan, pematangan oosit, pembuahan dan pembelahan zigot.

Persyaratan administrasi dan manajemen Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu meliputi struktur organisasi, tatalaksana/tatakerja/uraian tugas dan standar prosedur operasional.

Struktur organisasi administrasi dan manajemen Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu paling sedikit terdiri atas kepala program, dan pelaksana program.

Kepala program administrasi dan manajemen Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu bertanggung jawab atas keseluruhan operasional dan manajemen secara umum serta berwenang menentukan standar prosedur operasional. Kepala program harus seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan subspesialisasi endokrinologi reproduksi dan fertilitas.

Kepala program administrasi dan manajemen Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dapat merangkap sebagai pelaksana program. Pelaksana program bertugas melakukan penanganan medis sehubungan dengan proses pelaksanaan program Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu; dan/atau melakukan pengawasan terhadap proses, fasilitas dan kualitas kontrol di laboratorium embriologi.

Persyaratan sarana Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu meliputi persyaratan bangunan yang paling sedikit terdiri atas ruang tunggu, ruang pendaftaran; ruang konsultasi, ruang periksa/ultrasonografi; ruang pengambilan darah dan kamar suntik; ruang khusus pengambilan sperma/masturbasi; ruang laboratorium andrologi; ruang laboratorium embriologi/kultur; ruang operasi khusus dengan kemampuan laparotomi dan laparoskopi; ruang simpan beku, ruang sterilisasi alat operasi; ruang ganti pakaian, kamar kecil/toilet; dan ruang diskusi.

Persyaratan prasarana Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu meliputi instalasi sanitasi, instalasi listrik, pencegahan dan penanggulangan kebakaran, sistem pencahayaan, sistem gas medis, dan prasarana lain sesuai kebutuhan. Prasarana Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu tersebut harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.

Setiap Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu wajib memiliki Izin. Izin tersebut merupakan Izin Penyelenggaraan yang diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri. Izin berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Perpanjangan Izin dilakukan dengan mengajukan permohonan perpanjangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum habis masa berlakunya Izin Penyelenggaraan.

Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dilakukan dengan cara konvensional, dan Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI).

Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara konvensional dilakukan dengan cara mempertemukan spermatozoa suami yang normal dan oosit istri di dalam tabung, kemudian embrio yang terbentuk ditransfer ke dalam rahim istri.

Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dilakukan dengan cara melakukan penyuntikan langsung spermatozoa suami ke dalam oosit istri. Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dilaksanakan apabila mutu spermatozoa sangat buruk untuk pembentukan embrio.

Permenkes 43 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reproduksi dengan Bantuan atau di Luar Cara Alamiah ditetapkan Menkes Nila Farid Moeloek di Jakarta pada tanggal 27 Mei 2015.

Permenkes 43 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reproduksi dengan Bantuan atau di Luar Cara Alamiah diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly di Jakarta pada tanggal 10 Juni 2015.

Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 868. Agar setiap orang mengetahuinya.

Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu

Latar Belakang

Pertimbangan terbitnya Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu adalah:

  1. bahwa dalam pelaksanaan pelayanan reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah membutuhkan pedoman yang jelas mengenai penyelenggaraan pelayanannya;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah;

Dasar Hukum

Dasar hukum terbitnya Permenkes 43 tahun 2015 tentang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5063);
  3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5072);
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657);
  5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559);
  9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);
  10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis;
  11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran;
  12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011 tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 671);

Isi Permenkes 43 tahun 2015

Berikut adalah isi Permenkes 43 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reproduksi dengan Bantuan atau di Luar Cara Alamiah, bukan format asli:

PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN REPRODUKSI DENGAN BANTUAN ATAU KEHAMILAN DI LUAR CARA ALAMIAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah yang selanjutnya disebut dengan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu adalah upaya memperoleh kehamilan di luar cara alamiah tanpa melalui proses hubungan suami istri (sanggama) apabila cara alami tidak memperoleh hasil, dengan mempertemukan spermatozoa suami dengan sel telur istri di dalam tabung.
  2. Izin Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu, yang selanjutnya disebut Izin adalah izin yang diberikan kepada penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.
  3. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab dalam bidang Pelayanan Kesehatan.
  4. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2

Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu hanya di lakukan di rumah sakit umum serta rumah sakit khusus ibu dan anak.

BAB II
PERSYARATAN

Pasal 3

Rumah sakit yang menyelenggarakan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu harus memenuhi persyaratan yang meliputi:

  1. ketenagaan;
  2. administrasi dan manajemen; dan
  3. sarana, prasarana, dan peralatan.

Pasal 4

  1. Persyaratan ketenagaan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas:
    1. staf medis;
    2. tenaga kesehatan pelaksana; dan
    3. tenaga pelaksana lain.
  2. Staf medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling rendah memiliki latar belakang pendidikan:
    1. dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan subspesialisasi endokrinologi reproduksi dan fertilitas;
    2. dokter spesialis obstetri dan ginekologi kompetensi tambahan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dan endoskopi ginekologi (laparoskopi, hiteroskopi);
    3. dokter spesialis urologi dengan kompetensi tambahan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu, endokrinologi reproduksi pada pria;
    4. dokter spesialis andrologi dengan kompetensi tambahan teknologi reproduksi berbantu, endokrinologi reproduksi pada pria; dan
    5. dokter dengan kompetensi tambahan biakan jaringan, pematangan oosit, pembuahan dan pembelahan zigot.
  3. Tenaga kesehatan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling rendah memiliki latar belakang pendidikan:
    1. Diploma Tiga Keperawatan kompetensi tambahan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu; dan
    2. Diploma Tiga analis kesehatan untuk lingkup pekerjaan membantu biakan jaringan dan pelayanan laboratorium andrologi.
  4. Tenaga pelaksana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling rendah memiliki latar belakang pendidikan:
    1. dokter hewan; atau
    2. sarjana biologi
    dengan kompetensi tambahan biakan jaringan, pematangan oosit, pembuahan dan pembelahan zigot.

Pasal 5

  1. Persyaratan administrasi dan manajemen Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi struktur organisasi, tatalaksana/tatakerja/uraian tugas dan standar prosedur operasional.
  2. Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
    1. kepala program; dan
    2. pelaksana program.
  3. Kepala program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bertanggung jawab atas keseluruhan operasional dan manajemen secara umum serta berwenang menentukan standar prosedur operasional.
  4. Kepala program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan subspesialisasi endokrinologi reproduksi dan fertilitas.
  5. Kepala program sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat merangkap sebagai pelaksana program.
  6. Pelaksana program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bertugas:
    1. melakukan penanganan medis sehubungan dengan proses pelaksanaan program Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu; dan/atau
    2. melakukan pengawasan terhadap proses, fasilitas dan kualitas kontrol di laboratorium embriologi.

Pasal 6

Persyaratan sarana Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi persyaratan bangunan yang paling sedikit terdiri atas:

  1. ruang tunggu, ruang pendaftaran;
  2. ruang konsultasi, ruang periksa/ultrasonografi;
  3. ruang pengambilan darah dan kamar suntik;
  4. ruang khusus pengambilan sperma/masturbasi;
  5. ruang laboratorium andrologi;
  6. ruang laboratorium embriologi/kultur;
  7. ruang operasi khusus dengan kemampuan laparotomi dan laparoskopi;
  8. ruang simpan beku, ruang sterilisasi alat operasi;
  9. ruang ganti pakaian, kamar kecil/toilet; dan
  10. ruang diskusi.

Pasal 7

  1. Persyaratan prasarana Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi instalasi sanitasi, instalasi listrik, pencegahan dan penanggulangan kebakaran, sistem pencahayaan, sistem gas medis, dan prasarana lain sesuai kebutuhan.
  2. Prasarana Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.

Pasal 8

  1. Peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c harus memiliki izin edar dan dikalibrasi secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB III
IZIN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9

  1. Setiap Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu wajib memiliki Izin.
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Izin Penyelenggaraan yang diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
  3. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
  4. Perpanjangan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mengajukan permohonan perpanjangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum habis masa berlakunya Izin Penyelenggaraan.

Pasal 10

  1. Untuk memperoleh Izin, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan kelengkapan persyaratan yang meliputi:
    1. izin operasional rumah sakit;
    2. rekomendasi dinas kesehatan provinsi;
    3. profil penyelenggara Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu yang berisi data ketenagaan, sarana prasarana, peralatan dan tata laksana/metoda yang digunakan; dan
    4. formulir self assessment yang telah diisi
  3. Pengisian formulir self assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tercantum dalam Formulir 2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 11

  1. Paling lama dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan berkas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Direktur Jenderal membentuk tim pelaksana penilaian.
  2. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wakil dari Kementerian Kesehatan dan wakil dari organisasi profesi.
  3. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara verifikasi dokumen dan melakukan visitasi.

Pasal 12

  1. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak penugasan tim pelaksana penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus memberikan hasil penilaian kepada Direktur Jenderal.
  2. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai kesimpulan dalam bentuk rekomendasi pemberian atau penolakan Izin.
  3. Paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal harus memberikan Izin atau menolak permohonan yang disertai alasan yang jelas.
  4. Dalam hal Direktur Jenderal menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon dapat mengajukan permohonan ulang setelah memenuhi persyaratan.
  5. Dalam hal permohonan Izin diterima, Direktur Jenderal menerbitkan surat keputusan dan sertifikat yang memuat jangka waktu berlakunya izin dan ditembuskan kepada Dinas Kesehatan Provinsi setempat.

BAB IV
PENYELENGGARAAN

Pasal 13

  1. Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dilakukan dengan cara:
    1. konvensional; dan
    2. Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI).
  2. Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara mempertemukan spermatozoa suami yang normal dan oosit istri di dalam tabung, kemudian embrio yang terbentuk ditransfer ke dalam rahim istri.
  3. Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara melakukan penyuntikan langsung spermatozoa suami ke dalam oosit istri.
  4. Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dalam hal mutu spermatozoa sangat buruk untuk pembentukan embrio.

Pasal 14

  1. Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu harus didahului dengan konseling dan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent).
  2. Konseling dan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengelolaan lebih lanjut terhadap kelebihan embrio.
  3. Kelebihan embrio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditransfer ke dalam rahim isteri paling lama dalam waktu 2 tahun.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan dalam hal pasangan suami istri meminta penyimpanan embrio untuk diperpanjang.

Pasal 15

Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dilakukan sesuai standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi yang membidangi Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.

Pasal 16

  1. Keberhasilan penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dinilai setelah 5 tahun, dengan take home baby paling sedikit sebesar 10% dari embrio yang ditransfer.
  2. Keberhasilan take home baby sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberitahukan kepada masyarakat.
  3. Dalam hal keberhasilan take home baby dalam penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu kurang dari 10% dari embrio yang ditransfer, Izin tidak dapat diperpanjang.

Pasal 17

  1. Setiap rumah sakit penyelenggara Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu wajib dilakukan pengendalian mutu penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.
  2. Pengendalian mutu penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pengendalian mutu internal dan pengendalian mutu eksternal.
  3. Pengendalian mutu internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh semua tenaga Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu melalui monitoring dan evaluasi berkesinambungan dan audit berkala.
  4. Pengendalian mutu eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh tim pengendali mutu Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian mutu Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB V
PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pasal 18

  1. Setiap rumah sakit yang menyelenggarakan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu harus memberikan laporan kegiatannya kepada:
    1. Menteri; dan
    2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala setiap tahun.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 19

  1. Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sesuai kewenangan masing-masing.
  2. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota dapat melibatkan organisasi profesi.
  3. Dalam hal ditemukan pelanggaran penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu, Menteri dapat melakukan pencabutan Izin.

BAB VII
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 20

  1. Penelitian dan pengembangan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dapat dilakukan dengan memperhatikan etika penelitian dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Penelitian dalam bidang Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan tujuan untuk pengembangan pelayanan yang bersifat terbarukan (translational research) hanya dilakukan pada rumah sakit pendidikan yang menyelenggarakan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21

  1. Semua unit Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu di rumah sakit yang telah memberikan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, harus menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan Menteri ini selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.
  2. Semua unit Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu di rumah sakit yang telah memiliki izin berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/Per/I/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu, tetap berlaku sampai habis masa berlakunya Izin.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/Per/I/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Demikianlah bunyi Permenkes 43 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reproduksi dengan Bantuan atau di Luar Cara Alamiah.