Lompat ke isi utama

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek adalah Lampiran dari Permenkes 73 tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Apotek. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan pelayanan farmasi klinik.

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi perencanaan; pengadaan; penerimaan; penyimpanan; pemusnahan; pengendalian; dan pencatatan dan pelaporan. Pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian Resep; dispensing; Pelayanan Informasi Obat (PIO); konseling; Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacycare); Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO). Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Permenkes 73 tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Apotek.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Apotek ditetapkan Menkes Nila Farid Moeloek di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016. Diundangkan oleh Ditjen PP Kemenkumham Widodo Ekatjahjana di Jakarta pada tanggal 9 Januari 2017. Permenkes 73 tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Apotek ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 50. Agar setiap orang mengetahuinya

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan Obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran Obat, pengelolaan Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi Obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan.

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (socio-pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan Obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola Obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.

B. Ruang Lingkup

Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana.

BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN BAHAN MEDIS HABIS PAKAI

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.

A. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

B. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

D. Penyimpanan

  1. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang- kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
  2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
  3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
  4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
  5. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First In First Out)

E. Pemusnahan dan penarikan

  1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
    Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan Formulir 1 sebagaimana terlampir.
  2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
  3. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
  5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.

F. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang- kurangnya memuat nama Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

G. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.

Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan pelaporan akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK

Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:

  1. pengkajian dan pelayanan Resep;
  2. dispensing;
  3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
  4. konseling;
  5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
  6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
  7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

A. Pengkajian dan Pelayanan Resep

Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

Kajian administratif meliputi:

  1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
  2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan
  3. tanggal penulisan Resep.

Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

  1. bentuk dan kekuatan sediaan;
  2. stabilitas; dan
  3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).

Pertimbangan klinis meliputi:

  1. ketepatan indikasi dan dosis Obat;
  2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
  3. duplikasi dan/atau polifarmasi;
  4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain);
  5. kontra indikasi; dan
  6. interaksi.

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.

Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).

Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan Resep akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

B. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat.

Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:

  1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
    1. menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
    2. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.
  2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
  3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
    1. warna putih untuk Obat dalam/oral;
    2. warna biru untuk Obat luar dan suntik;
    3. menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
  4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah.

Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:

  1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
  2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
  3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
  4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
  5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain;
  6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;
  7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya;
  8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan);
  9. Menyimpan Resep pada tempatnya;
  10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

C. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.

Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:

  1. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
  2. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);
  3. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
  4. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;
  5. melakukan penelitian penggunaan Obat;
  6. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
  7. melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat

  1. Topik Pertanyaan;
  2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
  3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
  4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
  5. Uraian pertanyaan;
  6. Jawaban pertanyaan;
  7. Referensi;
  8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

D. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.

Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

  1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
  2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
  3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).
  4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).
  5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
  6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

Tahap kegiatan konseling:

  1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
  2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions, yaitu:
    1. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
    2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
    3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
  3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
  4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan Obat
  5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir.

E. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :

  1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan
  2. Identifikasi kepatuhan pasien
  3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
  4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
  5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
  6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.

F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.

Kriteria pasien:

  1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
  2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
  3. Adanya multidiagnosis.
  4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
  5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
  6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang merugikan.

Kegiatan:

  1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
  2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain
  3. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi Obat
  4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi
  5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
  6. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
  7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.

G. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Kegiatan:

  1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping Obat.
  2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
  3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.

Faktor yang perlu diperhatikan:

  1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
  2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN

A. Sumber Daya Manusia

Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik

Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi kriteria:

  1. Persyaratan administrasi
    1. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi
    2. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
    3. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
    4. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
  2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
  3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang berkesinambungan.
  4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
  5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.

Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan peran yaitu:

  1. Pemberi layanan
    Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.
  2. Pengambil keputusan
    Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
  3. Komunikator
    Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.
  4. Pemimpin
    Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
  5. Pengelola
    Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat.
  6. Pembelajar seumur hidup
    Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD)
  7. Peneliti
    Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.

B. Sarana dan Prasarana

Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian.

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:

  1. Ruang penerimaan Resep
    Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
  2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
    Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).
  3. Ruang penyerahan Obat
    Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.
  4. Ruang konseling
    Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.
  5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
    Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.
  6. Ruang arsip
    Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

BAB V
EVALUASI MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN

Evaluasi mutu di Apotek dilakukan terhadap:

A. Mutu Manajerial

  1. Metode Evaluasi
    1. Audit
      Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh karena itu, audit merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan Pelayanan Kefarmasian secara sistematis.
      Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses dan hasil pengelolaan.
      Contoh:
      1. audit Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai lainnya (stock opname)
      2. audit kesesuaian SPO
      3. audit keuangan (cash flow, neraca, laporan rugi laba)
    2. Review
      Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar.
      Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi dan seluruh sumber daya yang digunakan.
      Contoh:
      1. pengkajian terhadap Obat fast/slow moving
      2. perbandingan harga Obat
    3. Observasi
      Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan Farmasi.
      Contoh:
      1. observasi terhadap penyimpanan Obat
      2. proses transaksi dengan distributor
      3. ketertiban dokumentasi
  2. Indikator Evaluasi Mutu
    1. kesesuaian proses terhadap standar
    2. efektifitas dan efisiensi

B. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik

  1. Metode Evaluasi Mutu
    1. Audit
      Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses dan hasil pelayanan farmasi klinik.
      Contoh:
      1. audit penyerahan Obat kepada pasien oleh Apoteker
      2. audit waktu pelayanan
    2. Review
      Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pelayanan farmasi klinik dan seluruh sumber daya yang digunakan.
      Contoh: review terhadap kejadian medication error
    3. Survei
      Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Survei dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap mutu pelayanan dengan menggunakan angket/kuesioner atau wawancara langsung
      Contoh: tingkat kepuasan pasien
    4. Observasi
      Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan menggunakan cek list atau perekaman. Observasi dilakukan oleh berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh proses pelayanan farmasi klinik.
      Contoh : observasi pelaksanaan SPO pelayanan
  2. Indikator Evaluasi Mutu
    Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah:
    1. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication error;
    2. Standar Prosedur Operasional (SPO): untuk menjamin mutu pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan;
    3. Lama waktu pelayanan Resep antara 15-30 menit;
    4. Keluaran Pelayanan Kefarmasian secara klinik berupa kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala, memperlambat perkembangan penyakit.

BAB VI
PENUTUP

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ditetapkan sebagai acuan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Untuk keberhasilan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek diperlukan komitmen dan kerjasama semua pemangku kepentingan. Hal tersebut akan menjadikan Pelayanan Kefarmasian di Apotek semakin optimal dan dapat dirasakan manfaatnya oleh pasien dan masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Demikian isi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang merupakan Lampiran dari Permenkes 73 tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Apotek.

Category