Lompat ke isi utama

Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH

Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH

Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH merupakan terobosan penyediaan Ruang Herbuka Hijau karena Pemerintah Daerah mengalami kendala dalam pemenuhan 20% (dua puluh persen) Ruang Terbuka Hijau Publik dari luas Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan. Berdasarkan mitigasi perubahan iklim dan pencapaian misi nol emisi karbon (nett zero emission) maka Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan Ruang Terbuka Hijau yang berkualitas.

Apakah RTH itu?

RTH adalah singkatan dari Ruang Terbuka Hijau. RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika.

Apakah RTH Publik itu?

RTH Publik adalah kependekan dari Ruang Terbuka Hijau Publik. RTH Publik adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki, dikelola, dan/atau diperoleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota melalui kerja sama dengan pemerintah dan/atau masyarakat serta digunakan untuk kepentingan umum.

Apakah RTH Privat itu?

Ruang Terbuka Hijau Privat (RTH Privat) adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas.

Apakah RTNH itu?

RTNH adalah singkatan dari Ruang Terbuka Non Hijau. RTNH adalah area berupa lahan yang diperkeras yang menggunakan material ramah lingkungan maupun kondisi permukaan tertentu yang dapat ditanami tumbuhan.

Apakah RTB itu?

RTB adalah singkatan dari Ruang Terbuka Biru, RTB adalah lanskap badan air yang memiliki potensi sebagai penyedia jasa lingkungan (ecosystem services).

Penyediaan dan pemanfaatan RTH

Penyediaan dan pemanfaatan RTH mempertimbangkan aspek fungsi ekologis; resapan air; ekonomi; sosial budaya; estetika; dan penanggulangan bencana. Fungsi ekologis meliputi penghasil oksigen; bagian paru-paru kota; pengatur iklim mikro; peneduh; penyerap air hujan; penyedia habitat vegetasi dan satwa; penyerap dan penjerap polusi udara, polusi air, dan polusi tanah; penahan angin; dan/atau peredam kebisingan.

Fungsi resapan air meliputi area penyedia resapan air; area penyedia pengisian air tanah; dan/atau pengendali banjir. Fungsi ekonomi meliputi pemberi jaminan peningkatan nilai tanah; pemberi nilai tambah lingkungan kota; dan/atau penyedia ruang produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan/atau wisata alam.

Fungsi sosial budaya meliputi pemertahanan aspek historis; penyedia ruang interaksi masyarakat; penyedia ruang kegiatan rekreasi dan olahraga; penyedia ruang ekspresi budaya; penyedia ruang kreativitas dan produktivitas; penyedia ruang dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan; dan/atau penyedia ruang pendukung kesehatan.

Fungsi estetika meliputi peningkat kenyamanan lingkungan; peningkat keindahan lingkungan dan lanskap kota secara keseluruhan; pembentuk identitas elemen kota; dan/atau pencipta suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Fungsi penanggulangan bencana meliputi pengurangan risiko bencana; penyedia ruang evakuasi bencana; dan/atau penyedia ruang pemulihan pascabencana.

Tipologi RTH?

RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat. RTH paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan. RTH terdiri atas RTH Publik paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan RTH Privat paling sedikit 10% (sepuluh persen). Penyediaan RTH dapat dilakukan melalui pemanfaatan RTNH dan RTB.

Tipologi RTH dikelompokkan menjadi kawasan/zona RTH; kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH; dan objek ruang berfungsi RTH. Tipologi RTH ditentukan berdasarkan aspek fungsi.

Apa itu RTH Kawasan?

RTH berupa kawasan/zona RTH terdiri atas rimba kota; taman kota; taman kecamatan; taman kelurahan; taman rukun warga (RW); taman rukun tetangga (RT); pemakaman; dan/atau jalur hijau.

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau ditetapkan Menteri ATR/KBPN Hadi Tjahjanto di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2022.

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly di Jakarta pada tanggal 20 Juli 2022.

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 679. Agar setiap orang mengetahuinya.

Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH

Latar Belakang

Pertimbangan terbitnya Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH adalah:

  1. bahwa saat ini Pemerintah Daerah mengalami kendala dalam pemenuhan 20% (dua puluh persen) Ruang Terbuka Hijau Publik dari luas Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan, maka diperlukan terobosan penyediaan Ruang Terbuka Hijau;
  2. bahwa dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan pencapaian misi nol emisi karbon (nett zero emission), Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan Ruang Terbuka Hijau yang berkualitas;
  3. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau;

Dasar Hukum

Dasar hukum terbitnya Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH adalah:

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6633);
  5. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 83);
  6. Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 84);
  7. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 985);

Isi Permen ATRKBPN 14 tahun 2022

Berikut adalah salinan isi Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. Bukan format asli:

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.
  2. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil perencanaan tata ruang.
  3. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
  4. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif.
  5. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
  6. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat RTBL adalah panduan rancang bangun suatu lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/kawasan.
  7. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
  8. Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik spesifik.
  9. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
  10. Wilayah Kota adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan batas administratif kota.
  11. Koefisien Dasar Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai rencana tata ruang dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan.
  12. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
  13. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
  14. Insentif adalah perangkat untuk memotivasi, mendorong, memberikan daya tarik, dan/atau memberikan percepatan terhadap kegiatan Pemanfaatan Ruang yang memiliki nilai tambah pada zona yang perlu didorong pengembangannya.
  15. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika.
  16. Ruang Terbuka Hijau Publik yang selanjutnya disebut RTH Publik adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki, dikelola, dan/atau diperoleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota melalui kerja sama dengan pemerintah dan/atau masyarakat serta digunakan untuk kepentingan umum.
  17. Ruang Terbuka Hijau Privat yang selanjutnya disebut RTH Privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas.
  18. Ruang Terbuka Non Hijau yang selanjutnya disingkat RTNH adalah area berupa lahan yang diperkeras yang menggunakan material ramah lingkungan maupun kondisi permukaan tertentu yang dapat ditanami tumbuhan.
  19. Ruang Terbuka Biru yang selanjutnya disingkat RTB adalah lanskap badan air yang memiliki potensi sebagai penyedia jasa lingkungan (ecosystem services).
  20. Indeks Hijau Biru Indonesia yang selanjutnya disingkat IHBI adalah metode perhitungan RTH dengan menilai kualitas ruang berdasarkan fungsi ekologis dan sosial.
  21. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  22. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  23. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.
  24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang.

Pasal 2

  1. Penyediaan dan pemanfaatan RTH mempertimbangkan aspek fungsi:
    1. ekologis;
    2. resapan air;
    3. ekonomi;
    4. sosial budaya;
    5. estetika; dan
    6. penanggulangan bencana.
  2. Fungsi ekologis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
    1. penghasil oksigen;
    2. bagian paru-paru kota;
    3. pengatur iklim mikro;
    4. peneduh;
    5. penyerap air hujan;
    6. penyedia habitat vegetasi dan satwa;
    7. penyerap dan penjerap polusi udara, polusi air, dan polusi tanah;
    8. penahan angin; dan/atau
    9. peredam kebisingan.
  3. Fungsi resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
    1. area penyedia resapan air;
    2. area penyedia pengisian air tanah; dan/atau
    3. pengendali banjir.
  4. Fungsi ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
    1. pemberi jaminan peningkatan nilai tanah;
    2. pemberi nilai tambah lingkungan kota; dan/atau
    3. penyedia ruang produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan/atau wisata alam.
  5. Fungsi sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
    1. pemertahanan aspek historis;
    2. penyedia ruang interaksi masyarakat;
    3. penyedia ruang kegiatan rekreasi dan olahraga;
    4. penyedia ruang ekspresi budaya;
    5. penyedia ruang kreativitas dan produktivitas;
    6. penyedia ruang dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan; dan/atau
    7. penyedia ruang pendukung kesehatan.
  6. Fungsi estetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
    1. peningkat kenyamanan lingkungan;
    2. peningkat keindahan lingkungan dan lanskap kota secara keseluruhan;
    3. pembentuk identitas elemen kota; dan/atau
    4. pencipta suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.
  7. Fungsi penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi:
    1. pengurangan risiko bencana;
    2. penyedia ruang evakuasi bencana; dan/atau
    3. penyedia ruang pemulihan pascabencana.

BAB II
TIPOLOGI RUANG TERBUKA HIJAU

Pasal 3

  1. RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat.
  2. RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan.
  3. RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
    1. RTH Publik paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
    2. RTH Privat paling sedikit 10% (sepuluh persen).
  4. Penyediaan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui pemanfaatan RTNH dan RTB.

Pasal 4

  1. Tipologi RTH dikelompokkan menjadi:
    1. kawasan/zona RTH;
    2. kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH; dan
    3. objek ruang berfungsi RTH.
  2. Tipologi RTH ditentukan berdasarkan aspek fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Pasal 5

  1. RTH berupa kawasan/zona RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a terdiri atas:
    1. rimba kota;
    2. taman kota;
    3. taman kecamatan;
    4. taman kelurahan;
    5. taman rukun warga (RW);
    6. taman rukun tetangga (RT);
    7. pemakaman; dan/atau
    8. jalur hijau.
  2. Rimba kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memiliki kriteria:
    1. hamparan lahan berbentuk memanjang/jalur dan/atau mengelompok sebagai tempat tumbuh vegetasi dengan stratifikasi lengkap, rapat, dan beragam di dalam Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan;
    2. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati;
    3. berfungsi utama sebagai ruang penyangga ekosistem alami dan membentuk kesatuan ekologis;
    4. sebagai daerah resapan air;
    5. sebagai pengendali iklim mikro;
    6. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat secara terbatas;
    7. membatasi perkembangan Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan;
    8. memiliki radius pelayanan 5.000 m (lima ribu meter);
    9. memiliki luas paling kecil 100.000 m2 (seratus ribu meter persegi); dan
    10. proporsi rimba kota terdiri atas:
      1. paling sedikit 95% (sembilan puluh lima persen) tutupan hijau; dan
      2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
  3. Taman kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memiliki kriteria:
    1. lahan terbuka yang berfungsi sosial budaya dan estetika sebagai sarana kegiatan rekreasi, edukasi, atau kegiatan lain yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu) kota atau Kawasan Perkotaan;
    2. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati;
    3. sebagai daerah resapan air;
    4. sebagai pengendali iklim mikro;
    5. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat;
    6. memiliki radius pelayanan 5.000 m (lima ribu meter);
    7. memiliki luas paling kecil 50.000 m2 (lima puluh ribu meter persegi); dan
    8. proporsi RTH taman kota terdiri atas:
      1. paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) tutupan hijau; dan
      2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
  4. Taman kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memiliki kriteria:
    1. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu) kecamatan;
    2. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati;
    3. sebagai daerah resapan air;
    4. sebagai pengendali iklim mikro;
    5. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat;
    6. memiliki radius pelayanan 2.500 m (dua ribu lima ratus meter);
    7. memiliki luas paling kecil 15.000 m2 (lima belas ribu meter persegi); dan
    8. proporsi RTH taman kecamatan terdiri atas:
      1. paling sedikit 80% (delapan puluh persen) tutupan hijau; dan
      2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
  5. Taman kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit memiliki kriteria:
    1. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu) kelurahan;
    2. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati;
    3. sebagai daerah resapan air;
    4. sebagai pengendali iklim mikro;
    5. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat;
    6. memiliki radius pelayanan 700 m (tujuh ratus meter);
    7. memiliki luas paling kecil 5.000 m2 (lima ribu meter persegi); dan
    8. proporsi RTH taman kelurahan terdiri atas:
      1. paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau; dan
      2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
  6. Taman RW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e paling sedikit memiliki kriteria:
    1. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkungan 1 (satu) RW;
    2. sebagai daerah resapan air;
    3. sebagai pengendali iklim mikro;
    4. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat;
    5. memiliki radius pelayanan 350 m (tiga ratus lima puluh meter);
    6. memiliki luas paling kecil 1.000 m2 (seribu meter persegi); dan
    7. proporsi RTH taman RW terdiri atas:
      1. paling sedikit 60% (enam puluh persen) tutupan hijau; dan
      2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
  7. Taman RT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit memiliki kriteria:
    1. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkungan 1 (satu) RT;
    2. sebagai daerah resapan air;
    3. sebagai pengendali iklim mikro;
    4. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat;
    5. memiliki radius pelayanan 100 m (seratus meter);
    6. memiliki luas paling kecil 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi); dan
    7. proporsi RTH taman RT terdiri atas:
      1. paling sedikit 50% (lima puluh persen) tutupan hijau; dan
      2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
  8. Pemakaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g paling sedikit memiliki kriteria:
    1. sebagai tempat penguburan jenazah;
    2. sebagai daerah resapan air;
    3. sebagai pengendali iklim mikro;
    4. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat secara terbatas;
    5. memiliki radius pelayanan 2.500 m (dua ribu lima ratus meter);
    6. memiliki luas perpetakan paling kecil 1,2 m2 (satu koma dua meter persegi) per kapita; dan
    7. proporsi pemakaman terdiri atas:
      1. paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau; dan
      2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
  9. Jalur hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h paling sedikit memiliki kriteria:
    1. jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya terletak pada ruang milik jalan maupun pada ruang pengawasan jalan;
    2. lebar jalur hijau sempadan jalan, sempadan jalur kereta api dan sempadan jaringan transmisi dan gardu listrik sesuai peraturan perundang-undangan;
    3. proporsi jalur hijau terdiri atas paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau dan sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan;
    4. sebagai daerah resapan air;
    5. sebagai pengendali iklim mikro; dan
    6. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat secara terbatas.

Pasal 6

  1. RTH berupa kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b terdiri atas:
    1. kawasan/zona yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
    2. kawasan/zona perlindungan setempat;
    3. kawasan/zona konservasi;
    4. kawasan/zona hutan adat;
    5. kawasan/zona lindung geologi;
    6. kawasan/zona cagar budaya;
    7. kawasan/zona ekosistem mangrove;
    8. kawasan/zona hutan produksi;
    9. kawasan/zona perkebunan rakyat; dan/atau
    10. kawasan/zona pertanian.
  2. Kawasan/zona yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki kriteria:
    1. sebagai perlindungan dan keseimbangan tata air;
    2. kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi, mewakili ekosistem yang masih alami;
    3. terdapat spesies yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    4. tutupan hijau didominasi pepohonan dengan stratifikasi beragam.
  3. Kawasan/zona perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memiliki kriteria:
    1. sebagai perlindungan badan air dan ekosistem perairan;
    2. memiliki lebar dan proporsi sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    3. didominasi ekosistem perairan, ekosistem riparian, dan/atau ekosistem pesisir;
    4. tutupan hijau didominasi pepohonan dengan stratifikasi beragam; dan/atau
    5. kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi.
  4. Kawasan/zona konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memiliki kriteria:
    1. memiliki daya tarik sumber daya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati;
    2. memiliki ekosistem khas dan merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa;
    3. kondisi alam, baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; dan/atau
    4. memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan/atau kearifan lokal, hak tradisional dan lembaga adat yang masih berlaku.
  5. Kawasan/zona hutan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memiliki kriteria:
    1. hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi;
    2. dalam kawasan hutan negara atau di luar kawasan hutan negara;
    3. terdapat wilayah adat berupa hutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat dengan batas yang jelas secara turun-temurun;
    4. masih ada kegiatan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat di wilayah hutan di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; dan/atau
    5. memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan/atau kearifan lokal, hak tradisional dan lembaga adat yang masih berlaku.
  6. Kawasan/zona lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e memiliki kriteria:
    1. memiliki ciri geologi unik atau khas dan langka;
    2. memiliki nilai ilmiah tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati; dan/atau
    3. memiliki jenis fisik batuan yang mampu meluluskan air dengan lapisan penutup tanah dari pasir sampai lanau.
  7. Kawasan/zona cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f memiliki kriteria:
    1. mengandung situs cagar budaya terletak di daratan dan/atau di lautan;
    2. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia dengan kriteria sesuai peraturan perundang-undangan;
    3. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas dan bukti pembentukan lanskap budaya;
    4. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil; dan/atau
    5. memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan pelestarian dan pemanfaatan guna memajukan kebudayaan nasional.
  8. Kawasan/zona ekosistem mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g memiliki kriteria:
    1. koridor menerus/kontinu di sepanjang pantai dengan lebar sempadan sesuai peraturan perundang-undangan;
    2. berada pada pantai lumpur atau lumpur berpasir dan mengalami pasang surut air laut;
    3. berada pada kemiringan lereng sesuai peraturan perundang-undangan; dan/atau
    4. tutupan hijau didominasi pepohonan hutan mangrove dengan stratifikasi beragam.
  9. Kawasan/zona hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memiliki kriteria:
    1. kawasan/zona hutan yang memproduksi hasil hutan;
    2. memiliki keragaman vegetasi tinggi;
    3. dilakukan dengan pendekatan agroforestri; dan/atau
    4. hutan di luar kawasan/zona lindung, kawasan/zona hutan suaka alam, kawasan/zona hutan pelestarian alam dan taman buru.
  10. Kawasan/zona perkebunan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i memiliki kriteria:
    1. tutupan hijau didominasi tanaman berkayu atau jenis lainnya;
    2. bukan merupakan perkebunan monokultur dan memiliki keragaman vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap;
    3. dilakukan dengan pendekatan agroforestri; dan/atau
    4. mempertimbangkan perlindungan badan air, baik air permukaan yang berupa air kolam, air selokan, air sungai, air danau, dan air bendungan, maupun air tanah serta air sumur, yang kemungkinan mempengaruhi kegiatan usaha perkebunan rakyat.
  11. Kawasan/zona pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j memiliki kriteria:
    1. memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian;
    2. memiliki keragaman vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap dan bukan merupakan pertanian monokultur;
    3. dilakukan dengan pendekatan agroforestri; dan/atau
    4. mempertimbangkan perlindungan badan air, baik air permukaan yang berupa air kolam, air selokan, air sungai, air danau, dan air bendungan, maupun air tanah serta air sumur, yang kemungkinan mempengaruhi kegiatan usaha pertanian.

Pasal 7

  1. Objek ruang berfungsi RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c terdiri atas:
    1. objek ruang pada bangunan;
    2. objek ruang pada kaveling; dan
    3. RTB.
  2. Objek ruang pada bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memiliki kriteria:
    1. berupa permukaan bangunan yang ditanami vegetasi;
    2. memiliki luasan sesuai perhitungan IHBI, sebagai upaya memenuhi ketentuan KDH yang ditetapkan dalam RTR;
    3. menggunakan instalasi, sistem utilitas, dan/atau media khusus sesuai kriteria teknis bangunan; dan/atau
    4. menanam vegetasi lokal yang memenuhi kriteria teknis lanskap RTH pada bangunan yang berfungsi sebagai peneduh, peredam suara, penyaring bau, penyaring debu, dan/atau pertanian perkotaan.
  3. Objek ruang pada bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
    1. taman atap atau roof garden;
    2. taman podium atau podium garden;
    3. taman balkon atau balcony garden;
    4. taman koridor atau corridor garden;
    5. taman vertikal atau vertical garden;
    6. taman dalam pot atau planter box garden; dan/atau
    7. taman dalam kontainer atau container garden.
  4. Objek ruang pada kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memiliki kriteria:
    1. berupa penutup lahan/perkerasan berpori yang dapat menangkap dan/atau meresapkan air;
    2. memiliki luasan sesuai dengan KDH yang ditetapkan dalam ketentuan umum zonasi/peraturan zonasi dalam RTR;
    3. menyediakan daerah tangkapan air berupa kolam, bidang, sumur, embung, atau situ sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
    4. menyediakan sistem pemanenan air hujan sebagai sumber air alternatif yang memenuhi kriteria teknis pemeliharaan lanskap RTH pada kaveling sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    5. ditanami vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap yang memenuhi kriteria tanaman dan kriteria teknis lanskap untuk RTH pada kaveling yang berfungsi sebagai peneduh, peredam suara, penyaring bau, dan/atau penyaring debu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  5. Objek ruang pada kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
    1. persil pada kawasan/zona perumahan;
    2. persil pada kawasan/zona perdagangan dan jasa;
    3. persil pada kawasan/zona perkantoran;
    4. persil pada kawasan/zona kawasan industri; dan/atau
    5. pekarangan rumah.
  6. RTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memiliki kriteria:
    1. berupa badan air atau ruang perairan;
    2. penyedia ketersediaan air;
    3. memiliki fungsi retensi berupa penampungan dan penyerapan air hujan pada suatu wilayah;
    4. memiliki fungsi detensi berupa penampungan sementara air hujan pada suatu wilayah; dan/atau
    5. penyedia ruang tampungan air tanah dan pengendali air banjir.
  7. RTB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas:
    1. danau;
    2. waduk;
    3. sungai;
    4. embung;
    5. situ;
    6. mata air;
    7. rawa;
    8. biopori;
    9. sumur resapan;
    10. bioswale;
    11. kebun hujan atau rain garden;
    12. kolam retensi dan detensi;
    13. rawa buatan atau constructed wetland; dan/atau
    14. RTB lainnya yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Pasal 8

Ketentuan mengenai tipologi RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB III
PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU

Pasal 9

  1. Penyediaan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dilakukan oleh:
    1. Pemerintah Daerah untuk RTH Publik; dan
    2. Masyarakat untuk RTH Privat.
  2. Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
    1. Pemerintah Daerah kabupaten/kota; dan
    2. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota.
  3. Masyarakat dapat berperan serta dalam penyediaan RTH Publik untuk sebagian tanah yang dimilikinya melalui perjanjian atau kerja sama dengan Pemerintah Daerah.
  4. Penyediaan RTH Publik dapat berasal dari aset yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi.
  5. Penyediaan RTH Publik dilaksanakan melalui konsultasi publik pada penyusunan RTR.

Pasal 10

  1. Penyediaan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 mencakup kegiatan:
    1. perencanaan;
    2. penyediaan lahan; dan
    3. perancangan.
  2. Penyediaan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan insentif dalam upaya untuk mewujudkan RTH yang berkualitas.
  3. Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan oleh:
    1. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota;
    2. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    3. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    4. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota;
    5. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya; dan
    6. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat.
  4. Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
    1. pemanfaatan tanah telantar yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. kerja sama pemanfaatan tanah yang bersumber dari bank tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
    3. pemberian kompensasi kepada petani yang dapat mempertahankan luasan lahan sawahnya dan/atau perkebunannya; dan/atau
    4. bentuk insentif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

  1. Perencanaan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a menjadi bagian dalam proses penyusunan RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, dan RTR Daerah Khusus Ibu Kota.
  2. Perencanaan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
    1. identifikasi RTH existing;
    2. identifikasi RTH potensial;
    3. identifikasi kategori;
    4. identifikasi sumber pendanaan;
    5. identifikasi pemangku kepentingan; dan
    6. perumusan rencana penyediaan RTH berdasarkan IHBI.

Pasal 12

Identifikasi RTH existing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dilakukan melalui inventarisasi data primer dan data sekunder.

Pasal 13

Identifikasi RTH potensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dilakukan dengan mengidentifikasi ketersediaan lahan yang dapat dijadikan RTH dengan mempertimbangkan:

  1. status kepemilikan dan/atau penguasaan tanah;
  2. muatan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, dan RTR Daerah Khusus Ibu Kota;
  3. tipologi RTH;
  4. survei lapangan sebagai verifikasi terhadap hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
  5. keterjangkauan, keterlayanan, dan ketersebaran RTH.

Pasal 14

  1. Identifikasi kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c meliputi:
    1. identifikasi kategori Wilayah Kota; atau
    2. identifikasi kategori Kawasan Perkotaan di wilayah kabupaten.
  2. Kategori Wilayah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
    1. Wilayah Kota tipe I (WK-I) dengan presentase luas RTH existing < 30% (kurang dari tiga puluh persen) dari wilayah administrasi kota; dan
    2. Wilayah Kota tipe II (WK-II) dengan persentase luas RTH existing ≥ 30% (lebih dari atau sama dengan tiga puluh persen) dari wilayah administrasi kota.
  3. Kategori Kawasan Perkotaan di wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
    1. Kawasan Perkotaan tipe I (KP-I) dengan persentase luas RTH existing < 30% (kurang dari tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan di wilayah kabupaten; dan
    2. Kawasan Perkotaan tipe II (KP-II) dengan persentase luas RTH existing ≥ 30% (lebih dari atau sama dengan tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan di wilayah kabupaten.
  4. Pemenuhan RTH di Wilayah Kota tipe I (WK-I) atau Kawasan Perkotaan tipe I (KP-I) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dilakukan dengan mekanisme:
    1. pembelian dan/atau pembebasan lahan;
    2. pengelolaan;
    3. sewa lahan;
    4. kerja sama dengan masyarakat; dan/atau
    5. peningkatan kuantitas dan kualitas RTH berdasarkan IHBI.
  5. Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi:
    1. pemeliharaan RTH;
    2. pembiayaan pemeliharaan RTH; dan
    3. pemantauan dan evaluasi.
  6. Dalam hal mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dilakukan, namun RTH di Wilayah Kota tipe I (WK-I) atau Kawasan Perkotaan tipe I (KP-I) belum terpenuhi, dapat dilakukan kerjasama penyediaan RTH.
  7. RTH di Wilayah Kota tipe II (WK-II) atau Kawasan Perkotaan tipe II (KP-II) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b harus tetap dipertahankan keberadaannya serta ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya berdasarkan IHBI.

Pasal 15

  1. Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH berdasarkan IHBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf e dilakukan dengan metode perhitungan RTH berdasarkan pembobotan, faktor hijau-biru Indonesia, dan bonus elemen.
  2. Metode perhitungan berdasarkan pembobotan dan faktor hijau-biru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria penilaian pada aspek ekologis, sosial budaya, resapan air, ekonomi, estetika, dan penanggulangan bencana.
  3. Metode perhitungan berdasarkan bonus elemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria penilaian pada aspek evapotranspirasi, penyerapan/penjerapan polutan, porositas, permeabilitas, dan biodiversitas.

Pasal 16

Identifikasi sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d berdasarkan sumber pendanaan pemerintah dan/atau sumber pendanaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

  1. Identifikasi pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e dilakukan oleh perangkat daerah sesuai kewenangannya.
  2. Pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. perangkat daerah; dan/atau
    2. Masyarakat.

Pasal 18

Perumusan rencana penyediaan RTH berdasarkan IHBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f menghasilkan kajian yang memuat skenario penyediaan dan pemanfaatan RTH yang tercantum dalam materi teknis RTR.

Pasal 19

Ketentuan mengenai perencanaan RTH tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 20

Penyediaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi pengadaan tanah untuk penyediaan RTH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Perancangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c paling sedikit meliputi konsep rancangan, pengembangan rancangan, dan pembuatan gambar kerja untuk penyediaan RTH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PEMANFAATAN RTH

Pasal 22

  1. Pemanfaatan RTH mencakup:
    1. RTH Publik;
    2. RTH Privat; dan
    3. RTH Privat yang dimanfaatkan publik.
  2. Pemanfaatan RTH Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dikenakan biaya.
  3. RTH Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dimanfaatkan sesuai kepemilikannya.
  4. RTH Privat yang dimanfaatkan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dimanfaatkan sesuai dengan perjanjiaan atau kerja sama.

Pasal 23

  1. Pemanfaatan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan berdasarkan tipologi RTH berupa:
    1. Pemanfaatan kawasan/zona RTH;
    2. Pemanfaatan kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH; dan
    3. Pemanfaatan objek ruang berfungsi RTH.
  2. Ketentuan mengenai pemanfaatan RTH berdasarkan tipologi RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 24

  1. Pemanfaatan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan huruf c dapat diberikan insentif dalam upaya untuk mewujudkan RTH yang berkualitas.
  2. Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh:
    1. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota;
    2. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    3. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    4. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota;
    5. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya; dan
    6. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat.

BAB V
KERJA SAMA

Pasal 25

  1. Kerja sama dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH dapat berupa:
    1. kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota;
    2. kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    3. kerja sama antara Pemerintah Daerah Khusus Ibukota dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    4. kerja sama antara Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya; dan
    5. kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan Masyarakat.
  2. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan selesainya pemanfaatan ruang dalam RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, atau RTR Daerah Khusus Ibu Kota dan dapat ditinjau kembali saat revisi.
  3. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e dapat berupa pengakuan RTH bersama yang paling sedikit dilakukan melalui mekanisme:
    1. sewa lahan;
    2. pengelolaan lahan RTH; atau
    3. pembelian/pembebasan lahan.
  4. Pengakuan RTH bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui persetujuan dari Menteri berdasarkan hasil penilaian ahli.
  5. Kerja sama dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Pengakuan RTH bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimiliki dan dikelola oleh beberapa Pemerintah Daerah yang berada dalam satu kesatuan ekologis dan digunakan untuk kepentingan Masyarakat.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, peraturan terkait RTH dan RTNH yang bertentangan dengan Peraturan Menteri ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 27

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Demikianlah bunyi salinan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau.

LampiranUkuran
Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH (4.08 MB)4.08 MB