Lompat ke isi utama

Permen LHK 7/2018, Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim

Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, ​​​​​​​dan Dampak Perubahan Iklim

Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim diatur dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018. Permen LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim ini ditandatangani oleh Menteri LHK Siti Nurbaya pada tanggal 22 Februari 2018, diberlakukan dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 342 oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham RI Widodo Ekatjahjana pada tanggal 6 Maret 2018 di Jakarta.

Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Adaptasi adalah suatu proses untuk memperkuat dan membangun strategi antisipasi Dampak Perubahan Iklim serta melaksanakannya sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya.

Bahaya Perubahan Iklim adalah sifat Perubahan Iklim yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi fungsi lingkungan hidup yang dapat dinyatakan dalam besaran, laju, frekuensi, dan peluang kejadian. Dampak Perubahan Iklim adalah kerugian atau manfaat akibat adanya Perubahan Iklim dalam bentuk yang dapat diukur atau dihitung secara langsung, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi. Risiko Iklim adalah potensi dampak negatif Perubahan Iklim yang merupakan interaksi antara Kerentanan, keterpaparan dan bahaya.

Peraturan Menteri LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam:

  1. menentukan lingkup analisis, pemilihan metode, indikator, data indikator, dan sumber data dalam penyusunan kajian Kerentanan, risiko dan Dampak Perubahan Iklim; atau

  2. menentukan kriteria Verifikasi hasil kajian Kerentanan, risiko, dan Dampak Perubahan Iklim.

Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim, Penentuan lingkup analisis berdasarkan tujuan pemanfaatan hasil kajian untuk kepentingan pengambilan keputusan adalah:

  1. pemanfaatan analisis tingkat makro untuk kepentingan nasional;

  2. pemanfaatan analisis tingkat meso untuk kepentingan daerah provinsi;

  3. pemanfaatan analisis tingkat mikro untuk kepentingan daerah kabupaten/kota; dan

  4. pemanfaatan analisis tingkat tapak untuk kepentingan kecamatan dan desa.

Peraturan Menteri LHK
Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018
tentang
Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko,
dan Dampak Perubahan Iklim

Latar Belakang

Peraturan Menteri LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim memiliki latar belakang pertimbangan sebagai berikut:

  1. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf j dan huruf w, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian dampak perubahan iklim;

  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 huruf e Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang diwajibkan bagi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah terdiri atas di antaranya kajian kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;

  3. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk penyusunan dan evaluasi dokumen perencanaan (Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW, Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP Nasional dan Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJM Nasional dan Daerah) dan penyusunan kebijakan, rencana, program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup;

  4. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, analisis dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis paling sedikit memuat kajian: (a) kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; (b) perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; (c) kinerja layanan atau jasa ekosistem; (d) efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; (e) tingkat Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; (f) tingkat ketahanan dan potensi kenaekaragaman hayati;

  5. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a dan huruf b Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim, dalam rangka penyusunan aksi adaptasi diperlukan informasi dampak perubahan iklim, kajian kerentanan, dan risiko perubahan iklim;

  6. bahwa kajian kerentanan, risiko, dan dampak perubahan iklim diperlukan sebagai salah satu dasar penyusunan kebijakan, rencana, dan program pemerintah;

  7. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim;

Landasan Hukum

Keterkaitan antar regulasi pemerintah yang menjadi dasar hukum Peraturan Menteri LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

  3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa- Bangsa mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indinesia Tahun 2016 Nomor 204);

  4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228);

  5. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17);

  6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713);

  7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 521);

Isi Kebijakan Menteri LHK tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim

Kebijakan Peraturan Menteri LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim isinya adalah sebagai berikut:

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN KAJIAN KERENTANAN, RISIKO, DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.

  2. Adaptasi adalah suatu proses untuk memperkuat dan membangun strategi antisipasi Dampak Perubahan Iklim serta melaksanakannya sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya.

  3. Bahaya Perubahan Iklim adalah sifat Perubahan Iklim yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi fungsi lingkungan hidup yang dapat dinyatakan dalam besaran, laju, frekuensi, dan peluang kejadian.

  4. Dampak Perubahan Iklim adalah kerugian atau manfaat akibat adanya Perubahan Iklim dalam bentuk yang dapat diukur atau dihitung secara langsung, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi.

  5. Risiko Iklim adalah potensi dampak negatif Perubahan Iklim yang merupakan interaksi antara Kerentanan, keterpaparan dan bahaya.

  6. Kerentanan adalah kecenderungan suatu sistem untuk mengalami dampak negatif yang meliputi sensitivitas terhadap dampak negatif dan kurangnya kapasitas Adaptasi untuk mengatasi dampak negatif.

  7. Keterpaparan adalah keberadaan manusia, mata pencaharian, spesies/ekosistem, fungsi lingkungan hidup, jasa dan sumber daya, infrastruktur, atau aset ekonomi, sosial, dan budaya di wilayah atau lokasi yang dapat mengalami dampak negatif.

  8. Sensitivitas adalah tingkat dimana suatu sistem akan terpengaruh atau responsif terhadap rangsangan iklim, tetapi dapat diubah melalui perubahan sosial ekonomi.

  9. Kapasitas Adaptasi adalah potensi atau kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dengan Perubahan Iklim, termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrim, sehingga potensi kerusakannya dapat dikurangi/dicegah.

  10. Kejadian Iklim Ekstrim adalah kondisi iklim pada suatu wilayah dan periode tertentu diluar kondisi normalnya dan sangat jarang terjadi.

     

  11. Skenario Iklim adalah representasi kondisi iklim di masa depan yang disusun berdasarkan luaran model-model iklim yang dibangun untuk mempelajari konsekuensi pengaruh antropogenik Perubahan Iklim dan seringkali digunakan sebagai masukan untuk model-model Dampak Perubahan Iklim.

  12. Resiliensi suatu wilayah dan/atau sektor terhadap Dampak Perubahan Iklim, yang selanjutnya disebut resiliensi adalah kemampuan dalam mengatasi Dampak Perubahan Iklim untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi esensial, identitas, struktur, dan kapasitasnya.

  13. Kajian adalah suatu kegiatan telaah dan evaluasi dengan fokus wilayah dan/atau sektor spesifik mengenai topik terpilih yang hasilnya dapat dipergunakan untuk merumuskan strategi dan rencana tindak lanjut.

  14. Wilayah adalah ruang kesatuan geografis tempat berlangsungnya interaksi antara komponen biotik dan abiotik pendukung fungsi ekologis yang batas dan sistem tempat tersebut didasarkan kedaulatan administrasi dan/atau batasan kondisi fisik alam.

  15. Sektor adalah bidang usaha yang dilakukan atau diarahkan untuk memenuhi kebutuhan atas barang dan/atau jasa penopang keberlanjutan kehidupan manusia.

  16. Indikator adalah suatu jenis ukuran sebagai petunjuk atau keterangan yang dipergunakan untuk menyusun perencanaan dan melakukan penilaian capaian atas suatu target yang telah ditetapkan, yang terdiri dari satu atau lebih data penyusun.

  17. Data adalah suatu bentuk representasi atas fakta atau kejadian nyata yang diamati dan dikoleksi secara sistematis dan dapat ditelusuri sumbernya, sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan dasar kajian.

  18. Informasi adalah interpretasi atau pemaknaan atas kumpulan data dan/atau hasil kajian.

  19. Verifikasi adalah pemeriksaan mengenai kesesuaian hasil kajian dengan fakta empiris atas fokus wilayah dan/atau sektor spesifik.

  20. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

  21. Ketelitian Grid adalah skala spasial yang dipergunakan untuk menggambarkan tingkat ketelitian fenomena atau obyek di dalam sistem iklim bumi.

  22. Nilai Relatif Kerentanan adalah tingkat Kerentanan suatu wilayah relatif terhadap tingkat Kerentanan wilayah lainnya.

  23. Zona Iklim adalah pembagian kondisi geografis berdasarkan karakteristik iklim suatu wilayah yang dicirikan oleh variabilitas iklim antara lain curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan penerimaan radiasi matahari dalam periode klimatologi 30 (tiga puluh) Tahun.

  24. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam:

  1. menentukan lingkup analisis, pemilihan metode, indikator, data indikator, dan sumber data dalam penyusunan kajian Kerentanan, risiko dan Dampak Perubahan Iklim; atau

  2. menentukan kriteria Verifikasi hasil kajian Kerentanan, risiko, dan Dampak Perubahan Iklim.

BAB II
LINGKUP, METODOLOGI, INDIKATOR, DAN DATA INDIKATOR

Bagian Kesatu
Lingkup Analisis dan Skala Spasial

Pasal 3

Lingkup analisis untuk pelaksanaan kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2, terbagi atas:

  1. tingkat makro;

  2. tingkat meso;

  3. tingkat mikro; dan

  4. tingkat tapak.

Pasal 4

Penentuan lingkup analisis berdasarkan tujuan pemanfaatan hasil kajian untuk kepentingan pengambilan keputusan sebagai berikut:

  1. pemanfaatan analisis tingkat makro untuk kepentingan nasional;

  2. pemanfaatan analisis tingkat meso untuk kepentingan daerah provinsi;

  3. pemanfaatan analisis tingkat mikro untuk kepentingan daerah kabupaten/kota; dan

  4. pemanfaatan analisis tingkat tapak untuk kepentingan kecamatan dan desa.

Pasal 5

Analisis tingkat makro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi kajian pada:

  1. lingkup nasional;

  2. lingkup lintas daerah provinsi; atau

  3. satu kesatuan lanskap paling sedikit 3 (tiga) ekosistem dan/atau 3 (tiga) zona iklim.

Pasal 6

Analisis tingkat meso sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi kajian pada:

  1. lingkup satu daerah provinsi;

  2. lingkup lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau

  3. satu kesatuan lanskap paling sedikit 2 (dua) ekosistem dan/atau 2 (dua) zona iklim.

Pasal 7

Analisis tingkat mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c meliputi kajian pada:

  1. lingkup daerah kabupaten/kota;

  2. lingkup lintas kecamatan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota; atau

  3. satu kesatuan lanskap paling sedikit 1 (satu) ekosistem dan/atau 1 (satu) zona iklim.

Pasal 8

Analisis tingkat tapak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d meliputi kajian pada:

  1. lingkup desa dan/atau kelurahan;

  2. wilayah administrasi Rukun Warga (RW) dan/atau dusun dalam satu desa dan/atau kelurahan; atau

  3. satu kesatuan lanskap dalam 1 (satu) ekosistem.

Pasal 9

Skala spasial yang dipergunakan untuk setiap lingkup analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan sebagai berikut:

  1. tingkat makro menggunakan skala spasial paling sedikit sebesar 1:1.000.000 (satu banding satu juta) atau ketelitian grid paling sedikit sebesar 25 x 25 (dua puluh lima kali dua puluh lima) km;

  2. tingkat meso menggunakan skala spasial paling sedikit sebesar 1:250.000 (satu banding dua ratus lima puluh ribu) atau ketelitian grid paling sedikit sebesar 5 x 5 (lima kali lima) km;

  3. tingkat mikro menggunakan skala spasial paling sedikit sebesar 1:50.000 (satu banding lima puluh ribu) atau ketelitian grid paling sedikit sebesar 2.5 x 2.5 (dua koma lima kali dua koma lima) km; dan

  4. tingkat tapak menggunakan model skala spasial paling sedikit sebesar 1:5.000 (satu banding lima ribu) atau ketelitian grid paling sedikit sebesar 1 x 1 (satu kali satu) km.

Bagian Kedua
Metode Analisis

Pasal 10

  1. Metode analisis untuk setiap lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dapat ditelusuri dan berbasis pada kaidah ilmiah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  2. Pemilihan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

    1. pada tingkat makro metode yang digunakan paling sedikit mampu menghitung nilai relatif tingkat Kerentanan dan risiko Perubahan Iklim pada suatu wilayah dan/atau sektor;

    2. pada tingkat meso metode yang digunakan paling sedikit mampu menghitung tingkat Kerentanan dan risiko Perubahan Iklim pada suatu wilayah dan/atau sektor;

    3. pada tingkat mikro menggunakan metode tingkat meso sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan mampu mengukur Dampak Perubahan Iklim pada fokus wilayah dan sektor; dan

    4. pada tingkat tapak menggunakan metode tingkat mikro sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf c dilengkapi dengan pendekatan partisipatif untuk menilai kondisi sosial budaya kemasyarakatan.

  3. Pendekatan partisipatif yang dipergunakan dalam analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d memasukkan informasi mengenai kapasitas dan sumberdaya lokal, dengan memuat informasi paling sedikit mengenai:

    1. sumber daya alam;

    2. kearifan lokal; dan

    3. adat istiadat.

Bagian Ketiga
Komponen Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim

Pasal 11

Komponen Kerentanan, risiko, dan Dampak Perubahan Iklim yang dipergunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 2 huruf a dan huruf b terdiri atas:

  1. komponen bahaya terkait iklim;

  2. komponen keterpaparan;

  3. komponen sensitivitas; dan

  4. komponen kapasitas adaptasi.

Pasal 12

Analisis dampak yang dipergunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dan huruf d harus mampu mengevaluasi Dampak Perubahan Iklim untuk sektor dan wilayah terpilih, dengan memuat informasi paling sedikit:

  1. lokasi;

  2. frekuensi;

  3. durasi; dan

  4. besaran.

Bagian Keempat
Indikator, Data Penyusun Indikator, dan Sumber Data
Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim

Pasal 13

Penyusun Indikator untuk setiap komponen Kerentanan, risiko, dan Dampak Perubahan Iklim sebagai berikut:

  1. Indikator komponen bahaya terkait iklim untuk wilayah daratan, paling sedikit meliputi:

    1. suhu udara;

    2. curah hujan;

    3. aspek biofisik; dan

    4. tutupan lahan;

  2. Indikator komponen bahaya terkait iklim untuk wilayah lautan, paling sedikit meliputi:

    1. suhu permukaan laut;

    2. gelombang laut;

    3. salinitas; dan

    4. tinggi muka laut;

  3. Indikator komponen Keterpaparan, Sensitivitas, dan kapasitas Adaptasi paling sedikit meliputi:

    1. demografi;

    2. tata guna lahan atau laut;

    3. mata pencaharian;

    4. kesejahteraan;

    5. infrastruktur;

    6. sumberdaya air;

    7. pendidikan;

    8. kesehatan; dan

    9. kelembagaan masyarakat.

Pasal 14

Penyusunan Indikator untuk mengukur Dampak Perubahan Iklim harus dapat mengukur potensi kerugian dan/atau manfaat paling sedikit sebagai berikut:

  1. indikator fisik terdiri atas:

    1. perubahan produksi;

    2. perubahan lokasi atau luas wilayah terdampak; dan

    3. perubahan frekuensi atau durasi;

  2. indikator sosial terdiri atas:

    1. perubahan perilaku; dan

    2. perubahan mata pencaharian;

  3. indikator ekonomi terdiri atas:

    1. perubahan harga komoditas; dan

    2. perubahan jumlah penghasilan.

Pasal 15

Setiap Indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disusun menggunakan data sesuai dengan kebutuhan analisis sebagai berikut:

  1. tingkat makro menggunakan paling sedikit 1 (satu) sub-indikator;

  2. tingkat meso menggunakan paling sedikit 2 (dua) sub-indikator;

  3. tingkat mikro menggunakan paling sedikit 3 (tiga) sub-indikator; dan

  4. tingkat tapak menggunakan paling sedikit 3 (tiga) sub-indikator; dilengkapi dengan data dan informasi pendukung terkait partisipasi publik.

Pasal 16

  1. Data yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling sedikit meliputi:

    1. data iklim historis;

    2. hasil proyeksi iklim;

    3. data biofisik historis; dan

    4. data sosial-ekonomi historis.

  2. Data iklim historis dan hasil proyeksi iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b paling sedikit memiliki rentang waktu 30 (tiga puluh) tahun, atau mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 17

Format data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dapat berbentuk vektor, grid, atau titik yang berbasis koordinat bumi.

Pasal 18

Ketersediaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disesuaikan untuk kebutuhan sebagai berikut:

  1. analisis Kerentanan dan risiko Perubahan Iklim menggunakan periode data paling sedikit 3 (tiga) tahunan; dan

  2. analisis Dampak Perubahan Iklim menggunakan data sesuai fokus dampak.

Pasal 19

Data yang dipergunakan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 harus bersumber dari institusi nasional yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

Dalam hal data yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 tidak tersedia, data diperoleh melalui:

  1. institusi lain yang datanya telah dipublikasikan, diperbaharui secara periodik, dan dapat diakses secara luas;

  2. hasil survei pihak lain yang sudah dipublikasikan oleh institusi berbadan hukum dan tersedia dalam sistem diseminasi yang diperbaharui secara periodik; atau

  3. hasil survei terstruktur yang dilakukan secara mandiri.

BAB III
VERIFIKASI HASIL KAJIAN

Pasal 21

Verifikasi hasil kajian mencakup:

  1. Verifikasi terhadap dokumen hasil kajian; dan

  2. Verifikasi terhadap kesesuaian hasil kajian dengan observasi/pengamatan di lokasi.

Pasal 22

  1. Verifikasi terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) meliputi kesesuaian terhadap:

    1. lingkup analisis;

    2. skala spasial;

    3. metode analisis;

    4. Indikator;

    5. Data; dan

    6. sumber data.

  2. Verifikasi terhadap kesesuaian hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) paling sedikit meliputi:

    1. kesesuaian kondisi geografis wilayah kajian;

    2. kesesuaian lokasi terdampak berdasarkan riwayat kejadian;

    3. kesesuaian kondisi sosial wilayah kajian; dan

    4. kesesuaian kondisi ekonomi wilayah kajian.

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Februari 2018

 

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SITI NURBAYA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2018
 

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

 

Demikian bunyi Peraturan Menteri LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 342

Peraturan Menteri LHK
Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018
tentang
Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko,
dan Dampak Perubahan Iklim