Lompat ke isi utama

Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

Kita mengenal Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati atau Perkada dan sebagainya. Hal tersebut adalah Produk Hukum dari Daerah yang berbentuk peraturan dan penetapan. Aturan-aturan tersebut diatur dengan Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Produk hukum daerah adalah produk hukum berbentuk peraturan meliputi perda atau nama lainnya, perkada, PB KDH, peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD.

Sebelum menjadi rancangan produk hukum diperlukan naskah akademik. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam rancangan perda provinsi atau perda kabupaten/kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Setelah menjadi rancangan, kemudian disetujui, disahkan dan terus diundangkan. Pengundangan adalah penempatan produk hukum daerah dalam lembaran daerah, tambahan lembaran daerah, atau berita daerah.

Peraturan Hukum Daerah dapat berbentuk Perda, Perkada, dan Peraturan DPRD. Perkada terdiri atas peraturan gubernur dan peraturan bupati/walikota. PB KDH terdiri dari peraturan bersama gubernur dan peraturan bersama bupati/walikota. Peraturan DPRD terdiri dari peraturan DPRD provinsi dan peraturan DPRD kabupaten/kota.

Produk hukum perturan daerah berbentuk penetapan terdiri atas keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD, dan keputusan badan kehormatan DPRD. Peraturan Menteri tentang Produk Hukum Daerah tentu akan sangat dinamis dan mengalami perubahan bahkan diganti, karena perkembangan masyarakat, kondisi hukum dan kebutuhan-kebutuhan hukum yang baru.

Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana halnya Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dalam perjalanannya diubah dengan Permendagri 120 tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Halaman ini menyajikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 sebelum diubah dengan Permendagri tahun 2018.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 oleh Mendagri Tjahjo Kumolo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah diundangkan pada tanggal 31 Desember 2015 di Jakarta oleh Dirjen PP Kemenkumham Widodo Ekatjahjana.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 20136. Agar setiap orang mengetahuinya.

Permendagri 80 tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah

Latar Belakang

Pertimbangan Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah:

  1. bahwa untuk menjamin kepastian hukum atas pembentukan produk hukum daerah diperlukan pedoman berdasarkan cara dan metode yang pasti, baku dan standar sehingga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan;
  2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 243 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai tata cara pemberian nomor register peraturan daerah yang merupakan bagian dari pembentukan produk hukum daerah dan dinamika perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai produk hukum daerah, sehingga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah perlu diganti;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;

Dasar Hukum

Dasar hukum Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah:

  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
  3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
  4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
  6. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
  7. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 dan Nomor 77 Tahun 2012 tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1254);
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 564) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1667).

Isi Permen Produk Hukum Daerah

Berikut adalah isi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah, bukan format asli:

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

  1. Daerah adalah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
  2. Kepala Daerah adalah Gubernur dan Bupati/Walikota.
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  4. Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.
  5. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut perkada adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota.
  6. Peraturan Bersama Kepala Daerah yang selanjutnya disingkat PB KDH adalah peraturan yang ditetapkan oleh dua atau lebih kepala daerah.
  7. Pimpinan DPRD adalah ketua DPRD dan wakil ketua DPRD.
  8. Peraturan DPRD adalah peraturan yang ditetapkan oleh pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  9. Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD adalah penetapan yang bersifat konkrit, individual, dan final.
  10. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
  11. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
  12. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
  13. Program Pembentukan Perda yang selanjutnya disebut Propemperda adalah instrumen perencanaan program pembentukan perda provinsi dan perda kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
  14. Badan Pembentukan Perda, yang selanjutnya disebut Bapemperda adalah alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap, dibentuk dalam rapat paripurna DPRD.
  15. Perangkat daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
  16. Pimpinan Perangkat Daerah adalah Pejabat Eselon I, Eselon II dan/atau Eselon III di lingkungan pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
  17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan yang ditetapkan dengan Perda.
  18. Pembentukan perda adalah pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pengundangan, dan penyebarluasan.
  19. Produk hukum daerah adalah produk hukum berbentuk peraturan meliputi perda atau nama lainnya, perkada, PB KDH, peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD.
  20. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam rancangan perda provinsi atau perda kabupaten/kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
  21. Pengundangan adalah penempatan produk hukum daerah dalam lembaran daerah, tambahan lembaran daerah, atau berita daerah.
  22. Autentifikasi adalah salinan produk hukum daerah sesuai aslinya.
  23. Konsultasi adalah tindakan secara langsung ataupun tidak langsung yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi kepada Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah kabupaten/kota kepada pemerintah daerah provinsi dan/atau Pemerintah Pusat terhadap masukan atas rancangan produk hukum daerah.
  24. Fasilitasi adalah tindakan pembinaan berupa pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri kepada provinsi serta Menteri Dalam Negeri dan/atau gubernur kepada kabupaten/kota terhadap materi muatan rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan sebelum ditetapkan guna menghindari dilakukannya pembatalan.
  25. Evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan perda yang diatur sesuai Undang-Undang di bidang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  26. Nomor register yang selanjutnya disingkat noreg adalah pemberian nomor dalam rangka pengawasan dan tertib administrasi untuk mengetahui jumlah rancangan perda yang dikeluarkan pemerintah daerah sebelum dilakukannya penetapan dan pengundangan.
  27. Pembatalan adalah tindakan yang menyatakan tidak berlakunya terhadap seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, dan/atau lampiran materi muatan perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, yang berdampak dilakukannya pencabutan atau perubahan.
  28. Bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang menyebabkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketentraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan, dan gender.
  29. Pelaksana harian adalah pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara yang diangkat dengan keputusan gubernur atau keputusan bupati/walikota dan berlaku paling lama 3 (tiga) bulan.
  30. Pelaksana tugas adalah pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap yang diangkat dengan keputusan gubernur atau keputusan bupati/walikota dan berlaku paling lama 1 (satu) tahun.
  31. Penjabat adalah pejabat sementara untuk jabatan gubernur, bupati/walikota yang melaksanakan tugas pemerintahan pada daerah tertentu sampai dengan pelantikan pejabat definitif. 32. Hari adalah hari kerja.

BAB II
PRODUK HUKUM DAERAH

Pasal 2

Produk hukum daerah berbentuk:

  1. peraturan; dan
  2. penetapan.

Pasal 3

Produk hukum daerah berbentuk peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri atas:

  1. perda;
  2. perkada;
  3. PB KDH; dan
  4. peraturan DPRD.

Pasal 4

  1. Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas:
    1. perda provinsi; dan
    2. perda kabupaten/kota.
  2. Perda memuat materi muatan:
    1. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
    2. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  3. Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki hierarki lebih tinggi dari pada Perda kabupaten/kota.
  5. Perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat materi muatan untuk mengatur:
    1. kewenangan provinsi;
    2. kewenangan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi;
    3. kewenangan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi;
    4. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan/atau
    5. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah provinsi.
  6. Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat materi muatan untuk mengatur:
    1. kewenangan kabupaten/kota;
    2. kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;
    3. kewenangan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota;
    4. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau
    5. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.

Pasal 5

  1. Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  3. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.
  5. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
    1. teguran lisan;
    2. teguran tertulis;
    3. penghentian sementara kegiatan;
    4. penghentian tetap kegiatan;
    5. pencabutan sementara izin;
    6. pencabutan tetap izin;
    7. denda administratif; dan/atau
    8. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6

Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas:

  1. peraturan gubernur; dan
  2. peraturan bupati/walikota.

Pasal 7

PB KDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri atas:

  1. peraturan bersama gubernur; dan
  2. peraturan bersama bupati/walikota.

Pasal 8

Peraturan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d terdiri atas:

  1. peraturan DPRD provinsi; dan
  2. peraturan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 9

Produk hukum daerah berbentuk penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b terdiri atas:

  1. keputusan kepala daerah;
  2. keputusan DPRD;
  3. keputusan pimpinan DPRD; dan
  4. keputusan badan kehormatan DPRD

BAB III
PERENCANAAN

Bagian Kesatu
Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi

Pasal 10

Perencanaan Rancangan Perda Provinsi meliputi kegiatan:

  1. penyusunan Propemperda;
  2. perencanaan penyusunan rancangan perda kumulatif terbuka; dan
  3. perencanaan penyusunan rancangan perda di luar Propemperda.

Paragraf 1
Tata Cara Penyusunan Propemperda di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi

Pasal 11

Gubernur menugaskan pimpinan perangkat daerah dalam penyusunan Propemperda di lingkungan pemerintah daerah provinsi.

Pasal 12

  1. Penyusunan Propemperda di lingkungan pemerintah daerah provinsi dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi.
  2. Penyusunan Propemperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait.
  3. Instansi vertikal terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
    1. instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan/atau
    2. instansi vertikal terkait sesuai dengan:
      1. kewenangan;
      2. materi muatan; atau
      3. Kebutuhan.
  4. Hasil penyusunan Propemperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi kepada gubernur melalui sekretaris daerah provinsi.

Pasal 13

Gubernur menyampaikan hasil penyusunan Propemperda di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi kepada Bapemperda melalui Pimpinan DPRD Provinsi.

Paragraf 2
Tata Cara Penyusunan Propemperda di Lingkungan DPRD Provinsi

Pasal 14

  1. Penyusunan Propemperda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh Bapemperda.
  2. Ketentuan mengenai penyusunan Propemperda di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.

Paragraf 3
Tata Cara Penyusunan Propemperda Provinsi

Pasal 15

  1. Penyusunan Propemperda provinsi dilaksanakan oleh DPRD provinsi dan gubernur.
  2. Penyusunan Propemperda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat daftar rancangan perda provinsi yang didasarkan atas:
    1. perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
    2. rencana pembangunan daerah;
    3. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
    4. aspirasi masyarakat daerah.
  3. Penyusunan Propemperda provinsi memuat daftar urutan yang ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan perda provinsi.
  4. Penyusunan dan penetapan Propemperda provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan rancangan perda tentang APBD provinsi.
  5. Penetapan skala prioritas pembentukan rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Bapemperda dan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi berdasarkan kriteria:
    1. perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
    2. rencana pembangunan daerah;
    3. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
    4. aspirasi masyarakat daerah.

Pasal 16

  1. Hasil penyusunan Propemperda Provinsi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) disepakati menjadi Propemperda provinsi dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD provinsi.
  2. Propemperda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan DPRD provinsi.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Propemperda provinsi diatur dengan perda provinsi.
  4. Dalam Propemperda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
    1. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
    2. APBD.
  5. Dalam keadaan tertentu, DPRD provinsi atau gubernur dapat mengajukan rancangan perda di luar Propemperda karena alasan:
    1. mengatasi keadaan luar biasa, keadaaan konflik, atau bencana alam;
    2. menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;
    3. mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu rancangan perda yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang pembentukan perda dan unit yang menangani bidang hukum pada pemerintah daerah;
    4. akibat pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri untuk perda provinsi dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk perda kabupaten/kota; dan
    5. perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah Propemperda ditetapkan.

Bagian Kedua
Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 17

Ketentuan mengenai tata cara perencanaan penyusunan Propemperda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 16 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Propemperda kabupaten/kota.

Pasal 18

Selain daftar kumulatif terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dalam Propemperda kabupaten/kota dapat memuat daftar kumulatif terbuka mengenai:

  1. penataan kecamatan; dan
  2. penataan desa.

Bagian Ketiga
Perencanaan Penyusunan Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan DPRD

Pasal 19

  1. Perencanaan penyusunan perkada dan peraturan DPRD merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing.
  2. Perencanaan penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan.
  3. Perencanaan penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan pimpinan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
  4. Perencanaan penyusunan peraturan yang telah ditetapkan dengan keputusan pimpinan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan penambahan atau pengurangan.

BAB IV
PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH BERBENTUK PERATURAN

Bagian Kesatu
Penyusunan Rancangan Perda

Pasal 20

Penyusunan produk hukum daerah berbentuk peraturan berupa perda atau nama lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan berdasarkan Propemperda.

Pasal 21

Penyusunan rancangan perda dapat berasal dari DPRD atau kepala Daerah.

Paragraf 1
Penyusunan Penjelasan atau Keterangan dan/atau Naskah Akademik

Pasal 22

  1. Pemrakarsa dalam mempersiapkan rancangan perda provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
  2. Penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk rancangan perda provinsi yang berasal dari pimpinan perangkat daerah mengikutsertakan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi.
  3. Penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk rancangan perda provinsi yang berasal dari anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Bapemperda, dikoordinasikan oleh Bapemperda.
  4. Pemrakarsa dalam melakukan penyusunan naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan pihak ketiga yang mempunyai keahlian sesuai materi yang akan diatur dalam rancangan perda provinsi.
  5. Penjelasan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pokok pikiran dan materi muatan yang akan diatur.
  6. Penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan rancangan perda provinsi.

Pasal 23

  1. Perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi melakukan penyelarasan naskah akademik rancangan perda provinsi yang diterima dari perangkat daerah provinsi.
  2. Penyelarasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap sistematika dan materi muatan naskah akademik rancangan perda provinsi.
  3. Penyelarasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rapat penyelarasan dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
  4. Perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi melalui sekretaris daerah provinsi menyampaikan kembali naskah akademik rancangan perda provinsi yang telah dilakukan penyelarasan kepada perangkat daerah provinsi disertai dengan penjelasan hasil penyelarasan.

Pasal 24

Ketentuan mengenai penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 serta penyelarasan naskah akademik rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik serta penyelarasan naskah akademik rancangan perda kabupaten/kota.

Paragraf 2
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi

Pasal 25

  1. Gubernur memerintahkan perangkat daerah pemrakarsa untuk menyusun rancangan perda provinsi berdasarkan Propemperda provinsi.
  2. Dalam menyusun rancangan perda provinsi, gubernur membentuk tim penyusun rancangan perda provinsi yang ditetapkan dengan keputusan gubernur.
  3. Keanggotaan tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
    1. gubernur;
    2. sekretaris daerah;
    3. perangkat daerah pemrakarsa;
    4. perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi;
    5. perangkat daerah terkait; dan
    6. perancang peraturan perundang-undangan.
  4. Gubernur dapat mengikutsertakan instansi vertikal yang terkait dan/atau akademisi dalam keanggotaan tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
  5. Tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh perangkat daerah pemrakarsa.
  6. Dalam hal ketua tim adalah pejabat lain yang ditunjuk, pimpinan perangkat daerah pemrakarsa tetap bertanggungjawab terhadap materi muatan rancangan perda yang disusun.

Pasal 26

Dalam penyusunan rancangan perda provinsi, tim penyusun dapat mengundang peneliti dan/atau tenaga ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 27

Ketua tim penyusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) melaporkan kepada sekretaris daerah provinsi mengenai perkembangan dan/atau permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan rancangan perda provinsi untuk mendapatkan arahan atau keputusan.

Pasal 28

Rancangan perda provinsi yang telah disusun diberi paraf koordinasi oleh ketua tim penyusun dan perangkat daerah pemrakarsa.

Pasal 29

Ketua tim penyusun menyampaikan hasil rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 kepada gubernur melalui sekretaris daerah provinsi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.

Pasal 30

  1. Sekretaris daerah provinsi menugaskan kepala perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi untuk mengoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
  2. Dalam mengoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Pasal 31

  1. Sekretaris daerah provinsi menyampaikan hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 kepada pemrakarsa dan pimpinan perangkat daerah provinsi terkait untuk mendapatkan paraf persetujuan pada setiap halaman rancangan perda provinsi.
  2. Sekretaris daerah provinsi menyampaikan rancangan perda provinsi yang telah dibubuhi paraf persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur.
  3. Setiap rancangan perda yang merupakan konsep akhir yang akan disampaikan kepada DPRD harus dipaparkan ketua tim kepada gubernur.

Paragraf 3
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 32

Ketentuan mengenai penyusunan perda di lingkungan pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 31 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan perda di lingkungan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Paragraf 4
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di Lingkungan DPRD Provinsi

Pasal 33

Rancangan perda provinsi yang berasal dari DPRD provinsi dapat diajukan oleh anggota DPRD provinsi, komisi, gabungan komisi, atau Bapemperda berdasarkan Propemperda provinsi.

Pasal 34

  1. Rancangan perda provinsi yang telah diajukan oleh anggota DPRD provinsi, komisi, gabungan komisi, atau Bapemperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD provinsi disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
  2. Penjelasan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
    1. pokok pikiran dan materi muatan yang diatur;
    2. daftar nama; dan
    3. tanda tangan pengusul
  3. Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan, memuat:
    1. latar belakang dan tujuan penyusunan;
    2. sasaran yang ingin diwujudkan;
    3. pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
    4. jangkauan dan arah pengaturan.
  4. Penyampaian rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD provinsi.

Pasal 35

Dalam hal rancangan perda provinsi mengatur mengenai:

  1. APBD provinsi;
  2. pencabutan perda provinsi; atau
  3. perubahan perda provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi,

penyampaian rancangan peraturan daerah provinsi tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.

Pasal 36

  1. Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) kepada Bapemperda untuk dilakukan pengkajian
  2. Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan perda provinsi.

Pasal 37

Bapemperda menyampaikan hasil pengkajian rancangan perda provinsi kepada pimpinan DPRD provinsi.

Pasal 38

  1. Pimpinan DPRD Provinsi menyampaikan hasil pengkajian Bapemperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dalam rapat paripurna DPRD Provinsi.
  2. Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada anggota DPRD provinsi dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna DPRD provinsi.
  3. Dalam rapat paripurna DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
    1. pengusul memberikan penjelasan;
    2. fraksi dan anggota DPRD provinsi lainnya memberikan pandangan; dan
    3. pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota DPRD provinsi lainnya.
  4. Rapat paripurna DPRD provinsi memutuskan usul rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berupa:
    1. persetujuan;
    2. persetujuan dengan pengubahan; atau
    3. penolakan.
  5. Dalam hal persetujuan dengan pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pimpinan DPRD provinsi menugaskan komisi, gabungan komisi, Bapemperda, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan perda provinsi tersebut.
  6. Penyempurnaan rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kembali kepada pimpinan DPRD provinsi.

Pasal 39

Rancangan perda provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD provinsi disampaikan oleh pimpinan DPRD provinsi kepada gubernur untuk dilakukan pembahasan.

Pasal 40

Apabila dalam satu masa sidang, DPRD provinsi dan gubernur menyampaikan rancangan perda provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah rancangan perda provinsi yang disampaikan oleh DPRD provinsi dan rancangan perda provinsi yang disampaikan oleh gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Paragraf 5
Penyusunan Peraturan Daerah
di Lingkungan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 41

Ketentuan mengenai penyusunan perda provinsi di lingkungan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 40 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan perda kabupaten/kota di lingkungan DPRD kabupaten/kota.

Bagian Kedua
Penyusunan Rancangan Peraturan Kepala Daerah dan Rancangan Peraturan Bersama Kepala Daerah

Pasal 42

  1. Untuk melaksanakan perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan perkada dan/atau PB KDH.
  2. Pimpinan perangkat daerah pemrakarsa menyusun rancangan perkada dan/atau PB KDH.
  3. Rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah disusun disampaikan kepada perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi dan bagian hukum kabupaten/kota untuk dilakukan pembahasan.

Bagian Ketiga
Penyusunan Rancangan Peraturan DPRD Provinsi

Pasal 43

  1. Pimpinan DPRD provinsi menyusun rancangan peraturan DPRD provinsi.
  2. Rancangan peraturan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh anggota DPRD provinsi, komisi, gabungan komisi, atau Bapemperda.
  3. Rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pembahasan oleh perangkat daerah pemrakarsa dengan Bapemperda untuk harmonisasi dan sinkronisasi.

Pasal 44

  1. Rancangan peraturan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) merupakan peraturan DPRD yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang serta hak dan kewajiban DPRD.
  2. Peraturan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. peraturan DPRD tentang tata tertib;
    2. peraturan DPRD tentang kode etik; dan/atau
    3. peraturan DPRD tentang tata beracara badan kehormatan.

Pasal 45

  1. Pimpinan DPRD provinsi membentuk tim penyusunan rancangan peraturan DPRD provinsi.
  2. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun berdasarkan kebutuhan.

Pasal 46

  1. Tim penyusunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) memberikan paraf koordinasi pada tiap halaman rancangan peraturan DPRD provinsi yang telah disusun.
  2. Ketua Tim mengajukan rancangan peraturan DPRD provinsi yang telah mendapat paraf koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pimpinan DPRD.

Paragraf 1
Peraturan DPRD tentang Tata Tertib dan Kode Etik

Pasal 47

  1. Peraturan DPRD tentang tata tertib DPRD ditetapkan oleh DPRD provinsi dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Peraturan DPRD tentang tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD provinsi.
  3. Peraturan DPRD tentang tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    1. pengucapan sumpah/janji;
    2. penetapan pimpinan;
    3. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
    4. jenis dan penyelenggaraan rapat;
    5. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
    6. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;
    7. penggantian antarwaktu anggota;
    8. pembuatan pengambilan keputusan;
    9. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi;
    10. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
    11. pengaturan protokoler; dan
    12. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

Paragraf 2
Peraturan DPRD tentang Kode Etik

Pasal 48

Peraturan DPRD tentang kode etik disusun oleh DPRD provinsi yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD provinsi.

Pasal 49

Materi muatan peraturan DPRD tentang kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 paling sedikit memuat:

  1. pengertian kode etik;
  2. tujuan kode etik;
  3. pengaturan mengenai:
    1. sikap dan perilaku anggota DPRD;
    2. tata kerja anggota DPRD;
    3. tata hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah;
    4. tata hubungan antar anggota DPRD;
    5. tata hubungan antara anggota DPRD dengan pihak lain;
    6. penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan;
    7. kewajiban anggota DPRD;
    8. larangan bagi anggota DPRD;
    9. hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh anggota DPRD;
    10. sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi;
    11. dan rehabilitasi.

Paragraf 3
Peraturan DPRD Tentang Tata Beracara Badan Kehormatan

Pasal 50

Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada badan kehormatan DPRD provinsi dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan dan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.

Pasal 52

Materi muatan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara di badan kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 paling sedikit memuat:

  1. ketentuan umum;
  2. materi dan tata cara pengaduan;
  3. penjadwalan rapat dan sidang;
  4. verifikasi, meliputi:
    1. sidang verifikasi;
    2. pembuktian;
    3. verifikasi terhadap pimpinan dan/atau anggota badan kehormatan;
    4. alat bukti; dan
    5. pembelaan;
  5. keputusan;
  6. pelaksanaan keputusan; dan
  7. ketentuan penutup.

Bagian Keempat
Penyusunan Rancangan
Peraturan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 53

Ketentuan mengenai penyusunan rancangan peraturan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 52 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan rancangan peraturan DPRD kabupaten/kota.

BAB V
PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH BERBENTUK PENETAPAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 54

Penyusunan produk hukum daerah yang berbentuk penetapan terdiri atas:

  1. keputusan kepala daerah;
  2. keputusan DPRD;
  3. keputusan pimpinan DPRD; dan
  4. keputusan badan kehormatan DPRD.

Bagian Kedua
Penyusunan Keputusan Kepala Daerah

Pasal 55

  1. Pimpinan perangkat daerah menyusun rancangan keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a sesuai dengan tugas dan fungsi.
  2. Rancangan keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada sekretaris daerah setelah mendapat paraf koordinasi pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau kepala bagian hukum kabupaten/kota.
  3. Sekretaris daerah mengajukan rancangan keputusan kepala daerah kepada kepala daerah untuk mendapat penetapan.

Bagian Ketiga
Penyusunan Keputusan DPRD

Pasal 56

  1. Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b yang berupa penetapan, untuk menetapkan hasil rapat paripurna.
  2. Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi materi muatan hasil dari rapat paripurna

Pasal 57

  1. Untuk menyusun keputusan DPRD dapat dibentuk melalui panitia khusus atau ditetapkan secara langsung dalam rapat paripurna DPRD.
  2. Ketentuan mengenai penyusunan peraturan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 46 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan rancangan keputusan DPRD.
  3. Dalam hal keputusan DPRD ditetapkan secara langsung dalam rapat paripurna, rancangan keputusan DPRD disusun dan dipersiapkan oleh sekretariat DPRD dan pengambilan keputusan dilakukan dengan:
    1. penjelasan tentang rancangan keputusan DPRD oleh pimpinan DPRD;
    2. pendapat fraksi terhadap rancangan keputusan DPRD; dan
    3. persetujuan atas rancangan keputusan DPRD menjadi keputusan DPRD.
  4. Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh pimpinan dalam rapat paripurna DPRD.

Bagian Keempat
Penyusunan Keputusan Pimpinan DPRD

Pasal 58

  1. Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf c yang berupa penetapan untuk menetapkan hasil rapat pimpinan DPRD.
  2. Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi materi muatan penetapan hasil rapat pimpinan DPRD dalam rangka menyelenggarakan tugas fungsi DPRD yang bersifat teknis operasional.

Pasal 59

  1. Rancangan keputusan pimpinan DPRD disusun dan dipersiapkan oleh sekretariat DPRD.
  2. Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditetapkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat pimpinan DPRD.

Bagian Kelima
Penyusunan Keputusan Badan Kehormatan DPRD

Pasal 60

  1. Keputusan badan kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf d dalam rangka penjatuhan sanksi kepada anggota DPRD.
  2. Keputusan badan kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.
  3. Keputusan badan kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi materi muatan penjatuhan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti melanggar peraturan DPRD tentang tata tertib dan/atau peraturan DPRD tentang kode etik.

Pasal 61

  1. Rancangan keputusan badan kehormatan DPRD disusun dan dipersiapkan oleh badan kehormatan DPRD.
  2. Keputusan badan kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan hasil penelitian, penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan DPRD tentang tata tertib dan/atau peraturan DPRD tentang kode etik.

Pasal 62

  1. Keputusan badan kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) mengenai penjatuhan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Keputusan badan kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada anggota DPRD yang bersangkutan, pimpinan fraksi, dan pimpinan partai politik yang bersangkutan.
  3. Keputusan badan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.

BAB VI
PEMBAHASAN PRODUK HUKUM DAERAH

Bagian Kesatu
Pembahasan Produk Hukum Daerah Berbentuk Peraturan

Paragraf 1
Pembahasan Rancangan Perda

Pasal 63

Pembahasan rancangan perda yang berasal dari gubernur disampaikan dengan surat pengantar gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.

Pasal 64

  1. Surat pengantar gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, paling sedikit memuat:
    1. latar belakang dan tujuan penyusunan;
    2. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
    3. materi pokok yang diatur,
    yang menggambarkan keseluruhan substansi rancangan perda provinsi.
  2. Dalam hal rancangan perda yang berasal dari gubernur disusun berdasarkan naskah akademik, naskah akademik disertakan dalam penyampaian rancangan perda provinsi.

Pasal 65

Dalam rangka pembahasan rancangan perda di DPRD provinsi, perangkat daerah pemrakarsa memperbanyak rancangan perda provinsi sesuai jumlah yang diperlukan.

Pasal 66

  1. Gubernur membentuk tim dalam pembahasan rancangan perda provinsi di DPRD provinsi.
  2. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk oleh gubernur.
  3. Ketua tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan perkembangan dan/atau permasalahan dalam pembahasan rancangan perda provinsi di DPRD provinsi kepada gubernur untuk mendapatkan arahan dan keputusan.

Pasal 67

Pembahasan rancangan perda yang berasal dari DPRD provinsi disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPRD provinsi kepada gubernur.

Pasal 68

  1. Surat pengantar pimpinan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 paling sedikit memuat:
    1. latar belakang dan tujuan penyusunan;
    2. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
    3. materi pokok yang diatur,
    yang menggambarkan keseluruhan substansi rancangan perda provinsi.
  2. Dalam hal rancangan perda provinsi yang berasal dari DPRD provinsi disusun berdasarkan naskah akademik, naskah akademik disertakan dalam penyampaian rancangan perda provinsi.

Pasal 69

Dalam rangka pembahasan rancangan perda di DPRD provinsi, sekretariat DPRD provinsi memperbanyak rancangan perda provinsi sesuai jumlah yang diperlukan.

Pasal 70

Ketentuan mengenai persiapan pembahasan rancangan perda provinsi yang berasal dari gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 66 berlaku secara mutatis mutandis terhadap persiapan pembahasan rancangan perda kabupaten/kota yang berasal dari bupati/walikota.

Pasal 71

Ketentuan mengenai persiapan pembahasan rancangan perda provinsi yang berasal dari DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 69 berlaku secara mutatis mutandis terhadap persiapan pembahasan rancangan perda kabupaten/kota yang berasal dari DPRD kabupaten/kota.

Pasal 72

  1. Rancangan perda yang berasal dari DPRD provinsi atau gubernur dibahas oleh DPRD provinsi dan gubernur untuk mendapatkan persetujuan bersama.
  2. Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.

Pasal 73

Pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) meliputi:

  1. dalam hal rancangan perda provinsi berasal dari gubernur dilakukan dengan:
    1. penjelasan gubernur dalam rapat paripurna mengenai rancangan perda;
    2. pemandangan umum fraksi terhadap rancangan perda; dan
    3. tanggapan dan/atau jawaban gubernur terhadap pemandangan umum fraksi.
  2. dalam hal rancangan perda provinsi berasal dari DPRD dilakukan dengan:
    1. penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Bapemperda, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai rancangan perda provinsi;
    2. pendapat gubernur terhadap rancangan perda provinsi; dan tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat gubernur.
    3. pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.
  3. pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.

Pasal 74

Pembicaraan tingkat II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) meliputi:

  1. pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan:
    1. penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan; dan
    2. permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna
  2. pendapat akhir gubernur.

Pasal 75

  1. Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a angka 2 tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  2. Dalam hal rancangan perda provinsi tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD provinsi dan gubernur, rancangan perda provinsi tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD provinsi masa sidang itu.

Pasal 76

  1. Rancangan perda provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur.
  2. Penarikan kembali rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh gubernur, disampaikan dengan surat gubernur disertai alasan penarikan.
  3. Penarikan kembali rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh DPRD provinsi, dilakukan dengan keputusan pimpinan DPRD provinsi dengan disertai alasan penarikan.

Pasal 77

  1. Rancangan perda provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD provinsi dan gubernur.
  2. Penarikan kembali rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri oleh gubernur.
  3. Rancangan perda provinsi yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama.

Pasal 78

Ketentuan mengenai pembahasan rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 sampai dengan Pasal 77 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan rancangan perda kabupaten/kota.

Paragraf 2
Pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bersama Gubernur

Pasal 79

  1. Pembahasan rancangan peraturan gubernur dan peraturan bersama gubernur dilakukan oleh gubernur bersama dengan perangkat daerah pemrakarsa.
  2. Gubernur membentuk tim pembahasan rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan bersama gubernur.
  3. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri dari:
    1. Ketua : pimpinan perangkat daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh pimpinan perangkat daerah pemrakarsa.
    2. Sekretaris : pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi; dan
    3. Anggota : Sesuai kebutuhan.
  4. Dalam hal ketua tim adalah pejabat lain yang ditunjuk, pimpinan perangkat daerah pemrakarsa tetap bertanggungjawab terhadap materi muatan rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan bersama gubernur.
  5. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan gubernur.
  6. Ketua tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaporkan perkembangan rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan bersama gubernur kepada sekretaris daerah.

Pasal 80

  1. Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) memberikan paraf koordinasi pada tiap halaman rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan bersama gubernur yang telah selesai dibahas.
  2. Ketua tim mengajukan rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan bersama gubernur yang telah mendapat paraf koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur melalui sekretaris daerah.

Pasal 81

  1. Sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan bersama gubernur yang telah diparaf koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1).
  2. Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pimpinan perangkat daerah pemrakarsa.
  3. Hasil penyempurnaan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan pimpinan perangkat daerah pemrakarsa kepada sekretaris daerah setelah dilakukan paraf koordinasi setiap halaman oleh tim.
  4. Sekretaris daerah memberikan paraf koordinasi pada tiap halaman rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan bersama gubernur yang telah disempurnakan.
  5. Sekretaris daerah menyampaikan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada gubernur untuk ditetapkan.

Pasal 82

Ketentuan mengenai pembahasan rancangan peraturan gubernur dan peraturan bersama gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 81 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan rancangan peraturan bupati/walikota dan peraturan bersama bupati/walikota.

Paragraf 3
Pembahasan Rancangan Peraturan DPRD Provinsi

Pasal 83

  1. Rancangan peraturan DPRD provinsi disusun dan dipersiapkan oleh Bapemperda.
  2. Rancangan peraturan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas oleh panitia khusus.
  3. Pembahasan rancangan peraturan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.

Pasal 84

  1. Pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) meliputi:
    1. penjelasan mengenai rancangan peraturan DPRD oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna;
    2. pembentukan dan penetapan pimpinan dan keanggotaan panitia khusus dalam rapat paripurna; dan
    3. pembahasan materi rancangan peraturan DPRD oleh panitia khusus.
  2. Pembicaraan tingkat II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) berupa pengambilan keputusan dalam rapat paripurna, meliputi:
    1. penyampaian laporan pimpinan panitia khusus yang berisi proses pembahasan, pendapat fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan
    2. permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna.
  3. Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Bagian Kedua
Pembahasan Produk Hukum Berbentuk Penetapan

Pasal 85

  1. Pembahasan keputusan kepala daerah dilakukan oleh perangkat daerah pemrakarsa dan dilakukan pengharmonisasian oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi dan oleh bagian hukum kabupaten/kota.
  2. Pembahasan keputusan DPRD dilakukan oleh pimpinan DPRD dan dipersiapkan oleh sekretariat DPRD.
  3. Pembahasan keputusan badan kehormatan DPRD dilakukan oleh badan kehormatan DPRD.

Pasal 86

Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PEMBINAAN TERHADAP RANCANGAN PRODUK HUKUM DAERAH BERBENTUK PERATURAN

Pasal 87

  1. Pembinaan terhadap rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan di provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
  2. Pembinaan terhadap rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan di kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.

Pasal 88

  1. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dilakukan fasilitasi terhadap rancangan perda sebelum mendapat persetujuan bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD.
  2. Fasilitasi terhadap rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan terhadap rancangan perda yang dilakukan evaluasi.
  3. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dilakukan fasilitasi terhadap rancangan perkada, rancangan PB KDH atau rancangan peraturan DPRD sebelum ditetapkan.
  4. Fasilitasi terhadap rancangan perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diberlakukan terhadap rancangan perkada yang dilakukan evaluasi.
  5. Rancangan perda, rancangan perkada, rancangan PB KDH atau rancangan peraturan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota.

Pasal 89

  1. Fasilitasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari setelah diterima rancangan perda, rancangan perkada, rancangan PB KDH atau rancangan peraturan DPRD.
  2. Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah bagi provinsi dan gubernur tidak memberikan fasilitasi, maka terhadap:
    1. rancangan perda dilanjutkan tahapan persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD; dan
    2. rancangan perkada, rancangan PB KDH dan rancangan peraturan DPRD dilanjutkan tahapan penetapan menjadi perkada, PB KDH atau Peraturan DPRD.

Pasal 90

  1. Fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) untuk provinsi dibuat dalam bentuk surat Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri tentang fasilitasi rancangan perda provinsi, rancangan Peraturan gubernur, rancangan Peraturan bersama gubernur atau rancangan Peraturan DPRD provinsi.
  2. Fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) untuk kabupaten/kota dibuat dalam bentuk surat sekretaris daerah atas nama gubernur tentang fasilitasi rancangan perda kabupaten/kota, rancangan peraturan bupati/walikota, rancangan peraturan bupati/walikota atau rancangan Peraturan DPRD kabupaten/kota.
  3. Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah untuk penyempurnaan rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan sebelum ditetapkan guna menghindari dilakukannya pembatalan.

BAB VIII
EVALUASI RANCANGAN PERDA

Pasal 91

  1. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi rancangan perda provinsi dan Gubernur melakukan evaluasi rancangan perda kabupaten/kota sesuai dengan:
    1. undang-undang di bidang pemerintahan daerah; dan
    2. peraturan perundang-undangan lainnya.
  2. Evaluasi rancangan perda sesuai dengan Undang-Undang di bidang pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
    1. RPJPD;
    2. RPJMD;
    3. APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
    4. pajak daerah;
    5. retribusi daerah; dan
    6. tata ruang daerah.
  3. Evaluasi rancangan perda sesuai peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain:
    1. rencana pembangunan industri; dan
    2. pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa.

Pasal 92

  1. Rancangan perda provinsi yang mengatur tentang APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal.
  2. Rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Sekretaris Jenderal paling lama 3 (tiga) hari kepada Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah untuk dievaluasi.
  3. Rancangan perda provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, tata ruang daerah dan rencana pembangunan industri provinsi yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal.
  4. Rancangan perda sebagaimana dimaksud ayat (3) disampaikan Sekretaris Jenderal paling lama 3 (tiga) hari kepada Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah untuk dievaluasi.

Pasal 93

  1. Rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 harus mendapat evaluasi Menteri Dalam Negeri sebelum ditetapkan oleh gubernur.
  2. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
    1. melalui Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah terhadap rancangan perda provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah dan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan;
    2. melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah terhadap rancangan perda provinsi tentang tata ruang daerah dan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang tata ruang;
    3. melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah terhadap rancangan perda provinsi tentang rencana pembangunan industri dan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang perindustrian.
  3. Evaluasi terhadap rancangan perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang evaluasi.

Pasal 94

  1. Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) diharmonisasikan dan dicetak pada kertas bertanda khusus oleh Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri.
  2. Permohonan pengharmonisasian evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan:
    1. surat permohonan harmonisasi;
    2. rancangan perda disertai softcopy dalam bentuk pdf; dan
    3. rancangan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang evaluasi disertai softcopy.
  3. Dalam rangka pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk tim harmonisasi evaluasi terhadap rancangan perda provinsi pada Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri.

Pasal 95

  1. Bupati/walikota menyampaikan rancangan perda kabupaten/kota kepada Gubernur paling lama 3 (tiga) hari sebelum ditetapkan oleh Bupati/walikota yang mengatur tentang:
    1. RPJPD;
    2. RPJMD;
    3. APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
    4. pajak daerah;
    5. retribusi daerah;
    6. tata ruang daerah;
    7. rencana pembangunan industri kabupaten/kota; dan
    8. pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa.
  2. Bupati/walikota menyampaikan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD kepada Gubernur paling lama 3 (tiga) hari sebelum ditetapkan oleh Bupati/walikota.

Pasal 96

  1. Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 harus mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota.
  2. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam melakukan evaluasi rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang:
    1. pajak daerah dan retribusi daerah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah dan selanjutnya Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan; dan
    2. tata ruang daerah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah dan selanjutnya Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang.
  3. Konsultasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk penyampaian keputusan gubernur tentang evaluasi rancangan perda kabupaten/kota untuk dilakukan pengkajian.
  4. Konsultasi rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke Kementerian Dalam Negeri dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi.

Pasal 97

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan perda provinsi dan/atau kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, tata ruang daerah dan rencana pembangunan industri diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi rancangan perda kabupaten/kota yang mengatur tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
NOMOR REGISTER

Bagian Kesatu
Nomor Register Terhadap Rancangan Perda Yang dievaluasi

Pasal 98

  1. Dalam hal Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, diikuti dengan pemberian noreg.
  2. Dalam hal Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima.

Pasal 99

  1. Dalam hal gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, diikuti dengan pemberian noreg.
  2. Dalam hal Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, bupati/walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima.

Bagian Kedua
Nomor Register Terhadap Rancangan Perda

Pasal 100

  1. Gubernur wajib menyampaikan rancangan perda provinsi kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak menerima rancangan perda provinsi dari pimpinan DPRD provinsi untuk mendapatkan noreg perda.
  2. Bupati/walikota wajib menyampaikan rancangan perda kabupaten/kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak menerima rancangan perda kabupaten/kota dari pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan noreg perda.

Pasal 101

  1. Gubernur mengajukan permohonan noreg kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah setelah gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan terhadap rancangan perda yang dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2).
  2. Bupati/walikota mengajukan permohonan noreg kepada gubernur setelah bupati/walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan terhadap rancangan perda yang dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2).

Pasal 102

  1. Menteri Dalam Negeri memberikan noreg rancangan perda provinsi dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat memberikan noreg rancangan perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 paling lama 7 (tujuh) hari sejak rancangan perda diterima.
  2. Rancangan perda yang telah mendapat noreg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan perda disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah.
  3. Rancangan perda yang telah mendapat noreg sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap rancangan perda yang dilakukan evaluasi ditetapkan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan dihitung sejak proses keputusan menteri untuk evaluasi provinsi dan keputusan gubernur untuk evaluasi kabupaten/kota dilaksanakan.
  4. Dalam hal kepala daerah tidak menandatangani rancangan perda yang telah mendapat noreg sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rancangan perda tersebut sah menjadi perda dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah.
  5. Rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan sah dengan kalimat pengesahannya berbunyi, “Perda ini dinyatakan sah”.
  6. Pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Perda sebelum pengundangan naskah Perda ke dalam lembaran daerah.

Pasal 103

  1. Rancangan perda yang belum mendapatkan noreg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) belum dapat ditetapkan kepala Daerah dan belum dapat diundangkan dalam lembaran daerah.
  2. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat secara berkala menyampaikan laporan perda kabupaten/kota yang telah mendapatkan noreg kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah.

Pasal 104

  1. Pemberian noreg perda provinsi dilaksanakan oleh Direktur Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
  2. Pemberian noreg perda kabupaten/kota dilaksanakan oleh pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi.

Pasal 105

  1. Pemberian noreg rancangan perda ditetapkan oleh Direktorat Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi.
  2. Penulisan pemberian noreg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III tentang Bentuk Produk Hukum Daerah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

PAsal 106

  1. Pemberian noreg rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 disampaikan dengan cara:
    1. secara langsung disertai dengan softcopy raperda dalam bentuk pdf, pengiriman melalui pos surat disertai dengan softcopy rancangan perda dan/atau Pengiriman melalui surat elektronik/email terhadap rancangan perda provinsi kepada Direktur Produk Hukum Daerah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ditujukan ke alamat [email protected].
    2. penyampaian keputusan DPRD tentang persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD; dan
    3. penyampaian surat permohonan register dari pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi dan kepala bagian hukum kabupaten/kota.
  2. Selain penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap:
    1. rancangan perda mengenai RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, tata ruang daerah dan rencana pembangunan industri provinsi dilengkapi dengan Keputusan Menteri dalam Negeri tentang evaluasi rancangan perda provinsi; atau
    2. rancangan perda mengenai RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, tata ruang daerah, rencana pembangunan industri kabupaten/kota dan pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa dilengkapi dengan Keputusan Gubernur tentang evaluasi rancangan perda kabupaten/kota.
  3. Rancangan perda provinsi yang telah diberikan noreg dikembalikan kepada gubernur dan untuk perda kabupaten/kota dikembalikan kepada bupati/walikota untuk dilakukan penetapan dan pengundangan.

BAB X
PENETAPAN, PENOMORAN, PENGUNDANGAN, DAN AUTENTIFIKASI

Bagian Kesatu
Penetapan

Paragraf 1
Perda

Pasal 107

Rancangan perda yang telah diberikan noreg disampaikan Menteri Dalam Negeri kepada gubernur dan untuk perda kabupaten/kota disampaikan gubernur kepada bupati/walikota untuk dilakukan penetapan dan pengundangan.

Pasal 108

  1. Penandatanganan rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dilakukan oleh kepala daerah.
  2. Dalam hal kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau berhalangan tetap penandatanganan rancangan perda dilakukan oleh pelaksana tugas, pelaksana harian atau penjabat kepala daerah.

Pasal 109

  1. Penandatanganan Perda atau nama lainnya dibuat dalam rangkap 4 (empat).
  2. Pendokumentasian naskah asli Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh:
    1. DPRD
    2. Sekretaris daerah;
    3. perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota berupa minute; dan
    4. perangkat daerah pemrakarsa.

Paragraf 2
Peraturan Kepala Daerah Dan Peraturan Bersama Kepala Daerah

Pasal 110

  1. Rancangan perkada dan rancangan PB KDH yang telah dilakukan pembahasan disampaikan kepada kepala daerah untuk dilakukan penetapan dan pengundangan.
  2. Penandatanganan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala daerah.
  3. Dalam hal kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhalangan sementara atau berhalangan tetap penandatanganan rancangan perkada dan rancangan PB KDH dilakukan oleh pelaksana tugas, pelaksana harian atau penjabat kepala daerah.

Pasal 111

  1. Penandatanganan perkada dibuat dalam rangkap 3 (tiga).
  2. Pendokumentasian naskah asli perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh:
    1. sekretaris daerah;
    2. perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota berupa minute; dan
    3. perangkat daerah pemrakarsa.

Pasal 112

  1. Penandatanganan PB KDH dibuat dalam rangkap 4 (empat).
  2. Dalam hal penandatanganan PB KDH melibatkan lebih dari 2 (dua) daerah, PB KDH dibuat dalam rangkap sesuai kebutuhan.
  3. Pendokumentasian naskah asli PB KDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) oleh:
    1. sekretaris daerah masing-masing daerah;
    2. perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota berupa minute; dan
    3. perangkat daerah masing-masing pemrakarsa.

Paragraf 3
Peraturan DPRD

Pasal 113

  1. Rancangan peraturan DPRD yang telah dilakukan pembahasan disampaikan kepada pimpinan DPRD untuk dilakukan penetapan dan pengundangan.
  2. Penandatangan peraturan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan DPRD.

Pasal 114

  1. Penandatangan peraturan DPRD paling sedikit dibuat dalam rangkap 4 (empat).
  2. Pendokumentasian naskah asli peraturan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
    1. sekretaris daerah;
    2. sekretaris DPRD;
    3. alat kelengkapan DPRD pemrakarsa; dan
    4. perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota

Paragraf 4
Keputusan Kepala Daerah

Pasal 115

  1. Rancangan keputusan kepala daerah yang telah dilakukan pembahasan disampaikan kepada kepala daerah untuk dilakukan penetapan.
  2. Penandatanganan rancangan keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala daerah.
  3. Penandatanganan keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat didelegasikan kepada:
    1. wakil kepala daerah;
    2. sekretaris daerah; atau
    3. pimpinan perangkat daerah.

Pasal 116

  1. Penandatanganan keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2) dibuat dalam rangkap 3 (tiga).
  2. Pendokumentasian naskah asli keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh:
    1. sekretaris daerah;
    2. perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota berupa minute; dan
    3. perangkat daerah Pemrakarsa

Paragraf 5
Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD

Pasal 117

Rancangan keputusan DPRD dan rancangan keputusan pimpinan DPRD yang telah dilakukan pembahasan disampaikan kepada pimpinan DPRD untuk dilakukan penetapan.

Pasal 118

Rancangan keputusan badan kehormatan DPRD yang telah dilakukan pembahasan disampaikan kepada badan kehormatan DPRD untuk dilakukan penetapan.

Pasal 119

  1. Penandatangan dalam bentuk keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dan Pasal 118 yang meliputi :
    1. keputusan DPRD dan keputusan pimpinan DPRD dilakukan oleh pimpinan DPRD; dan
    2. keputusan badan kehormatan DPRD dilakukan oleh ketua badan kehormatan DPRD.
  2. Penandatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dibuat rangkap 3 (tiga).
  3. Pendokumentasian naskah asli keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh:
    1. pimpinan DPRD;
    2. alat kelengkapan DPRD pemrakarsa; dan
    3. sekretaris DPRD.

Bagian Kedua
Penomoran

Pasal 120

  1. Penomoran produk hukum daerah terhadap:
    1. perda, perkada, PB KDH dan keputusan kepala daerah dilakukan oleh pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau kepala bagian hukum kabupaten/kota; dan
    2. peraturan DPRD, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD dilakukan oleh Sekretaris DPRD.
  2. Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa pengaturan menggunakan nomor bulat.
  3. Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa penetapan menggunakan nomor kode klasifikasi.

Bagian Ketiga
Pengundangan

Pasal 121

  1. Perda yang telah ditetapkan, diundangkan dalam lembaran daerah.
  2. Lembaran daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penerbitan resmi pemerintah daerah
  3. Pengundangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pemberitahuan secara formal suatu perda, sehingga mempunyai daya ikat pada masyarakat.

Pasal 122

  1. Tambahan lembaran daerah memuat penjelasan perda.
  2. Tambahan lembaran daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan nomor tambahan lembaran daerah.
  3. Tambahan lembaran daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda.
  4. Nomor tambahan lembaran daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelengkapan dan penjelasan dari lembaran daerah.

Pasal 123

  1. Perkada, PB KDH dan peraturan DPRD yang telah ditetapkan diundangkan dalam berita daerah.
  2. Perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
  3. Perda, perkada, PB KDH dan Peraturan DPRD provinsi yang telah diundangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri.
  4. Perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD kabupaten/kota yang telah diundangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada gubernur.

Pasal 124

  1. Sekretaris daerah mengundangkan perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD.
  2. Dalam hal sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau berhalangan tetap pengundangan perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD dilakukan oleh pelaksana tugas atau pelaksana harian sekretaris daerah.

Pasal 125

Perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD dimuat dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Bagian Keempat
Autentifikasi

Pasal 126

  1. Produk hukum daerah yang telah ditandatangani dan diberi penomoran selanjutnya dilakukan autentifikasi.
  2. Autentifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
    1. pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau kepala bagian hukum kabupaten/kota untuk perda, perkada, PB KDH dan keputusan kepala daerah; dan
    2. sekretaris DPRD untuk peraturan DPRD, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD.

Pasal 127

  1. Penggandaan dan pendistribusian produk hukum daerah di lingkungan pemerintah daerah dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota dengan perangkat daerah pemrakarsa.
  2. Penggandaan dan pendistribusian produk hukum daerah di lingkungan DPRD dilakukan oleh sekretaris DPRD.

BAB XI
PEMBATALAN PRODUK HUKUM DAERAH BERBENTUK PERATURAN

Bagian Kesatu
Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur

Pasal 128

Gubernur menyampaikan perda provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

Pasal 129

  1. Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri membentuk tim pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur yang anggotanya terdiri atas komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan.
  2. Tim pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 130

  1. Tim pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 mempunyai tugas melakukan kajian terhadap perda provinsi dan peraturan gubernur yang dituangkan dalam berita acara.
  2. Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima oleh Tim.
  3. Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, diterbitkan surat Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur perihal pernyataan sesuai.
  4. Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur kepada Gubernur.

Pasal 131

  1. Tim pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur dalam melakukan kajian dapat melibatkan ahli/pakar dan/atau Kementerian/Lembaga/instansi terkait sesuai dengan kebutuhan.
  2. Ahli/pakar dan/atau Kementerian/Lembaga/instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas :
    1. memberikan saran dan masukan paling lama 15 (lima belas) hari sejak perda provinsi dan peraturan Gubernur diterima;
    2. bertanggungjawab bersama tim pembatalan terhadap keberatan yang diajukan oleh gubernur; dan
    3. tugas lainnya yang diperlukan.

Pasal 132

  1. Pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur dilakukan berdasarkan:
    1. usulan dari setiap orang, kelompok orang, pemerintah daerah, badan hukum, dan/atau instansi lainnya; dan/atau
    2. temuan dari tim pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur.
  2. Usulan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditindaklanjuti oleh tim pembatalan dengan melakukan kajian sesuai tolok ukur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.
  3. Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima oleh Tim.
  4. Dalam hal tim pembatalan menemukan pertentangan dengan tolok ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Dalam Negeri menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur kepada Gubernur.
  5. Dalam hal tim pembatalan tidak menemukan pertentangan dengan tolok ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat perihal pernyataan sesuai kepada pengusul.

Pasal 133

  1. Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) dan Pasal 132 ayat (3) diharmonisasikan dan dicetak pada kertas bertanda khusus oleh Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri.
  2. Permohonan pengharmonisasian pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan:
    1. surat permohonan harmonisasi;
    2. perda disertai softcopy dalam bentuk pdf; dan
    3. rancangan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pembatalan disertai softcopy.
  3. Dalam rangka pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk tim harmonisasi pembatalan terhadap perda provinsi dan Peraturan Gubernur pada Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri.

Pasal 134

  1. Dalam hal yang dibatalkan keseluruhan materi muatan perda provinsi, maka paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) dan Pasal 132 ayat (3), gubernur harus menghentikan pelaksanaan perda provinsi yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya DPRD bersama gubernur mencabut perda provinsi dimaksud.
  2. Dalam hal yang dibatalkan sebagian materi muatan perda provinsi, maka paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) dan Pasal 132 ayat (3), gubernur harus menghentikan pelaksanaan perda provinsi yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya DPRD bersama gubernur merubah perda provinsi dimaksud.

Pasal 135

  1. Dalam hal yang dibatalkan keseluruhan materi muatan peraturan gubernur, paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) dan Pasal 132 ayat (3), gubernur harus menghentikan pelaksanaan peraturan gubernur yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya gubernur mencabut peraturan gubernur dimaksud.
  2. Dalam hal yang dibatalkan sebagian materi muatan peraturan gubernur, paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) dan Pasal 132 ayat (3), gubernur harus menghentikan pelaksanaan peraturan gubernur yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya gubernur merubah peraturan gubernur dimaksud.

Pasal 136

Dalam hal gubernur dan/atau DPRD provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan perda provinsi atau peraturan gubernur diterima.

Pasal 137

Mekanisme keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dilakukan dengan tata cara:

  1. gubernur dan/atau DPRD provinsi mengajukan keberatan atas Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur kepada Presiden disertai dengan alasan keberatan;
  2. alasan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kajian sesuai tolok ukur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Pasal 138

  1. Dalam hal alasan keberatan tidak dikabulkan seluruhnya, Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara menyatakan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur tetap berlaku.
  2. Dalam hal alasan keberatan dikabulkan seluruhnya, Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara membatalkan seluruh materi muatan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  3. Dalam hal alasan keberatan dikabulkan sebagian, maka sebagian materi muatan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pembatalan Perda Provinsi dan/atau Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dikabulkan tetap berlaku.

Pasal 139

  1. Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 yang dikabulkan atau tidak dikabulkan oleh Presiden ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
  2. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.

Pasal 140

  1. Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi yang masih memberlakukan perda dan perkada yang dibatalkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) dan Pasal 132 ayat (3), dikenai sanksi.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. sanksi administratif; dan/atau
    2. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda;
  3. Sanksi administratif terhadap perda dikenai kepada gubernur dan anggota DPRD dan terhadap perkada dikenai kepada gubernur berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan.
  4. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterapkan pada saat penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi masih mengajukan keberatan kepada Presiden untuk perda provinsi.
  5. Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri, dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi provinsi bersangkutan.
  6. Dalam hal terganggunya pelayanan publik akibat pembatalan perda dan perkada, penyelenggara pemerintahan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota

Pasal 141

Bupati/walikota menyampaikan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota kepada gubernur paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

Pasal 142

  1. Sekretaris daerah atas nama gubernur membentuk tim pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup perangkat daerah dan instansi terkait sesuai kebutuhan.
  2. Tim pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan gubernur.

Pasal 143

  1. Tim pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 mempunyai tugas melakukan kajian terhadap perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota yang dituangkan dalam berita acara.
  2. Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima oleh Tim.
  3. Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, diterbitkan surat sekretaris daerah atas nama gubernur perihal pernyataan sesuai.
  4. Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, ditetapkan Keputusan Gubernur tentang Pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota kepada bupati/walikota.

Pasal 144

  1. Tim pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota dalam melakukan kajian dapat melibatkan ahli/pakar dan/atau instansi terkait sesuai dengan kebutuhan.
  2. Tim Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengkonsultasikan materi muatan pembatalan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
  3. Ahli/pakar dan/atau instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas :
    1. memberikan saran dan masukan paling lama 15 (lima belas) hari sejak perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota diterima;
    2. bertanggungjawab bersama tim pembatalan terhadap keberatan yang diajukan oleh bupati/walikota; dan
    3. tugas lainnya yang diperlukan.

Pasal 145

  1. Pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota dilakukan berdasarkan:
    1. usulan dari setiap orang, kelompok orang, pemerintah daerah, badan hukum, dan/atau instansi lainnya; dan/atau
    2. temuan dari Tim pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota.
  2. Usulan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditindaklanjuti oleh tim pembatalan dengan melakukan kajian sesuai tolok ukur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.
  3. Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima oleh Tim.
  4. Dalam hal Tim pembatalan menemukan pertentangan dengan tolok ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menetapkan keputusan gubernur tentang Pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota kepada bupati/walikota.
  5. Dalam hal tim pembatalan tidak menemukan pertentangan dengan tolok ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris daerah atas nama gubernur menerbitkan surat perihal pernyataan sesuai kepada pengusul.

Pasal 146

Pengharmonisasian keputusan gubernur tentang pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) dan Pasal 145 ayat (3) dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi dan dicetak pada kertas bertanda khusus.

Pasal 147

Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) dan Pasal 145 ayat (3), Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah membatalkan perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/walikota.

Pasal 148

  1. Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah sebelum membatalkan perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/walikota memberikan surat peringatan pertama kepada gubernur untuk membatalkan perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/walikota.
  2. Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh gubernur, Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah memberikan surat peringatan kedua kepada gubernur untuk membatalkan perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/walikota.
  3. Surat peringatan pertama dan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditindaklanjuti oleh gubernur masing-masing paling lama 15 hari sejak ditandatangani.
  4. Tindaklanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan gubernur dengan memberikan jawaban kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
  5. Dalam hal surat peringatan pertama dan kedua tidak ditindaklanjuti oleh gubernur, Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah membatalkan perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/walikota.
  6. Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah melakukan proses pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terhadap ketidakmampuan gubernur membatalkan kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/wali kota. perda

Pasal 149

  1. Dalam hal Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah membatalkan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
  2. Mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur.
  3. Keputusan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.

Pasal 150

  1. Dalam hal yang dibatalkan keseluruhan materi muatan perda kabupaten/kota, paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3), Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 148 ayat (5), bupati/walikota harus menghentikan pelaksanaan perda kabupaten/kota yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya DPRD bersama bupati/walikota mencabut perda dimaksud.
  2. Dalam hal yang dibatalkan sebagian materi muatan perda kabupaten/kota, paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3), Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 148 ayat (5), bupati/walikota harus menghentikan pelaksanaan perda kabupaten/kota yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya DPRD bersama bupati/walikota merubah perda dimaksud.

Pasal 151

  1. Dalam hal yang dibatalkan keseluruhan materi muatan peraturan bupati/walikota, paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3), Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 148 ayat (5), bupati/walikota harus menghentikan pelaksanaan peraturan bupati/walikota yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya bupati/walikota mencabut peraturan bupati/walikota dimaksud.
  2. Dalam hal yang dibatalkan sebagian materi muatan peraturan bupati/walikota, paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3), Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 148 ayat (5), bupati/walikota harus menghentikan pelaksanaan peraturan bupati/walikota yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya bupati/walikota merubah peraturan bupati/walikota dimaksud.

Pasal 152

  1. Dalam hal bupati/walikota dan/atau DPRD kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda kabupaten/kota dan bupati/walikota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 dan Pasal 151 dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/walikota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan pembatalan perda kabupaten/kota atau peraturan bupati/walikota diterima.
  2. Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah menjawab keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima.

Pasal 153

Mekanisme keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 dilakukan dengan tata cara:

  1. bupati/walikota dan/atau DPRD kabupaten/kota mengajukan keberatan keputusan gubernur tentang pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah disertai dengan alasan keberatan;
  2. Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah membentuk Tim Pembatalan Atas Keberatan yang diajukan oleh bupati/walikota dan/atau DPRD kabupaten/kota; dan
  3. alasan keberatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan kajian sesuai tolok ukur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Pasal 154

  1. Dalam hal alasan keberatan tidak dikabulkan seluruhnya, Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah menyatakan Keputusan gubernur tentang Pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota tetap berlaku.
  2. Dalam hal alasan keberatan dikabulkan seluruhnya, Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah membatalkan seluruh materi muatan Keputusan gubernur tentang Pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  3. Dalam hal alasan keberatan dikabulkan sebagian, maka sebagian materi muatan Keputusan gubernur tentang pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dikabulkan tetap berlaku.

Pasal 155

  1. Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 yang dikabulkan atau tidak dikabulkan oleh Menteri Dalam Negeri ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
  2. Keputusan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
  3. Pengharmonisasian Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Keputusan Gubernur atas Pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota dilakukan oleh Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri dan dicetak pada kertas bertanda khusus.
  4. Permohonan pengharmonisasian pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menyampaikan:
    1. surat permohonan harmonisasi;
    2. perda disertai softcopy dalam bentuk pdf; dan
    3. rancangan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pembatalan disertai softcopy.
  5. Dalam rangka pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk tim harmonisasi pembatalan terhadap Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota pada Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri.

Pasal 156

  1. Penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang dibatalkan oleh gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3), Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 148 ayat (5), dikenai sanksi.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. sanksi administratif; dan/atau
    2. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda;
  3. Sanksi administratif terhadap perda dikenai kepada bupati/walikota dan anggota DPRD kabupaten/kota dan terhadap perkada dikenai kepada bupati/walikota, berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan.
  4. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterapkan pada saat penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota masih mengajukan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri untuk perda kabupaten/kota.
  5. Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh gubernur, dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi kabupaten/kota yang bersangkutan.
  6. Dalam hal terganggunya pelayanan publik akibat pembatalan perda dan perkada, penyelenggara pemerintahan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pembatalan Peraturan DPRD

Pasal 157

  1. Pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 sampai dengan Pasal 140 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembatalan peraturan DPRD provinsi.
  2. Pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 156 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembatalan peraturan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 158

  1. Anggota DPRD yang masih memberlakukan Peraturan DPRD yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah atau gubernur dikenai sanksi.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterapkan pada saat anggota DPRD masih mengajukan keberatan kepada Presiden untuk peraturan DPRD provinsi atau Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah untuk peraturan DPRD kabupaten/kota.

BAB XII
PEMANTAUAN DAN PELAPORAN

Pasal 159

  1. Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri melakukan pemantauan terhadap tindaklanjut hasil evaluasi dan pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur.
  2. Gubernur melakukan pemantauan terhadap tindaklanjut hasil evaluasi dan pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota.

Pasal 160

  1. Gubernur melaporkan pemantauan hasil evaluasi dan pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota serta laporan perda kabupaten/kota yang sudah mendapatkan noreg kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Produk Hukum Daerah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 3 (tiga) bulan dan/atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

BAB XIII
PENYEBARLUASAN

Pasal 161

  1. Penyebarluasan perda dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD sejak penyusunan Propemperda, penyusunan rancangan perda disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik dan pembahasan rancangan perda.
  2. Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.

Pasal 162

  1. Penyebarluasan Propemperda dilakukan bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD yang dikoordinasikan oleh Bapemperda.
  2. Penyebarluasan rancangan perda disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD.
  3. Penyebarluasan rancangan perda disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari kepala daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah bersama dengan perangkat daerah pemrakarsa.

Pasal 163

  1. Penyebarluasan perda yang telah diundangkan dilakukan bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD.
  2. Penyebarluasan perkada, PB KDH dan keputusan kepala daerah yang telah diundangkan dan/atau diautentifikasi dilakukan oleh sekretaris daerah bersama dengan perangkat daerah pemrakarsa.
  3. Penyebarluasan peraturan DPRD, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD yang telah diundangkan dan/atau diautentifikasi dilakukan oleh sekretaris DPRD bersama dengan alat kelengkapan DPRD pemrakarsa.

Pasal 164

Naskah produk hukum daerah yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diautentifikasi dan diundangkan dalam Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.

Pasal 165

  1. Kepala daerah wajib menyebarluaskan perda yang telah diundangkan dalam lembaran daerah dan perkada yang telah diundangkan dalam berita daerah.
  2. Kepala daerah yang tidak menyebarluaskan perda dan perkada yang telah diundangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri Dalam Negeri untuk gubernur dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati/walikota.
  3. Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah diwajibkan mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau oleh pejabat yang ditunjuk.
  4. Program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

BAB XIV
PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 166

  1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan perda, perkada, PB KDH dan/atau peraturan DPRD.
  2. Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
    1. rapat dengar pendapat umum;
    2. kunjungan kerja;
    3. sosialisasi; dan/atau
    4. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
  3. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang dapat berperan serta aktif memberikan masukan atas substansi rancangan perda, perkada, PB KDH dan/atau peraturan DPRD.
  4. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap rancangan perda, perkada, PB KDH dan/atau peraturan DPRD harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

BAB XV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 167

  1. Penulisan produk hukum daerah diketik dengan menggunakan jenis huruf Bookman Old Style/em> dengan huruf 12.
  2. Produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicetak dalam kertas yang bertanda khusus.
  3. Kertas bertanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. menggunakan nomor seri dan/atau huruf, yang diletakan pada halaman belakang samping kiri bagian bawah; dan
    2. menggunakan ukuran F4 berwarna putih
  4. Penetapan nomor seri dan/atau huruf sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. perda provinsi, perkada, PB KDH, keputusan gubernur oleh perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi;
    2. perda kabupaten/kota, perkada, PB KDH, keputusan bupati/walikota oleh bagian hukum; dan
    3. peraturan DPRD, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD oleh sekretaris DPRD.

Pasal 168

  1. Perda kabupaten/kota, peraturan bupati/walikota, peraturan bersama bupati/walikota, dan keputusan bupati/walikota, peraturan DPRD, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD, dan keputusan badan kehormatan kabupaten/kota menggunakan kop lambang Negara pada halaman pertama.
  2. Penulisan nama provinsi dicantumkan pada halaman pertama setelah penulisan nama pejabat pembentuk produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 169

  1. Setiap tahapan pembentukan perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan.
  2. Selain perancang peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tahapan pembentukan perda, perkada, PB KDH dan peraturan DPRD dapat mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.

Pasal 170

  1. Pemerintah daerah dan/atau DPRD dapat mengkonsultasikan materi muatan dan teknik penyusunan terhadap produk hukum daerah sebelum ditetapkan.
  2. Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemerintah daerah provinsi dan/atau DPRD provinsi kepada Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah kabupaten/kota dan/atau DPRD kabupaten/kota kepada pemerintah daerah provinsi.
  3. Dalam hal Pemerintah daerah kabupaten/kota dan/atau DPRD kabupaten/kota melakukan konsultasi pada Pemerintah Pusat, wajib membawa surat pengantar dari pemerintah provinsi.

Pasal 171

Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan.

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 172

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 32); dan
  2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintah Daerah, yang mengatur mengenai naskah dinas produk hukum daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 173

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  1. Ketentuan mengenai teknik penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  2. Ketentuan mengenai:
    1. Bentuk dan Tata Cara Pengisian Propemperda sebagaimana tercantum dalam Lampiran I;
    2. Teknik Penyusunan Naskah Akademik Perda sebagaimana tercantum dalam Lampiran II; dan
    3. Bentuk Produk Hukum Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III,

Pasal 174

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Demikianlah bunyi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah yang kemudian diubah dengan Permendagri 120 tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.