UU 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas UU 12 tahun 1985 tentang PBB
Pemerintah menerbitkan UU 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas UU 12 tahun 1985 tentang PBB. Perubahan UU Pajak Bumi dan Bangunan ini untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk setiap Wajib Pajak dan memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan disahkan di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 1994 oleh Presiden Soeharto. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan diundangkan Mensesneg Moerdiono pada tanggal 9 Nopember 1994 di Jakarta.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569. Agar setiap orang mengetahuinya.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994
tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985
tentang
Pajak Bumi dan Bangunan
Latar Belakang
Pertimbangan UU 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas UU 12 tahun 1985 tentang PBB adalah:
bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-undang perpajakan yang sekarang berlaku;
bahwa dalam usaha untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian sebagai tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan seiring dengan itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang memadai terhadap berbagai Undang-undang perpajakan yang telah ada;
bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
Dasar Hukum
Dasar hukum UU 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas UU 12 tahun 1985 tentang PBB adalah:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312);
Penjelasan Umum Perubahan UU 12 tahun 1994
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan Undang-undang. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku sejak tahun 1986 merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas bumi dan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, penguasaan dan/atau perolehan manfaat atas bangunan.
Pada hakekatnya, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak. Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, dengan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya jumlah Objek Pajak serta untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dirasakan sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.
Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam penyempurnaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 perlu diatur kembali ketentuan-ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan pokok-pokok antara lain sebagai berikut :
Untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk setiap Wajib Pajak;
Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak.
Isi UU 12 tahun 1994
Berikut adalah isi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, bukan format asli:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai berikut :
Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 3
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :
digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
Ketentuan Pasal 17 dihapus.
Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga Pasal 23 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 23
Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya."
Ketentuan Pasal 27 dihapus.
Pasal II
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal III
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan".
Pasal IV
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Demikianlah bunyi daripada Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang_Undang Pajak Bumi dan Bangunan
setelah diubah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985
tentang
Pajak Bumi dan Bangunan
Berikut adalah UU Pajak Bumi dan Bangunan setelah diubah oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SETELAH DIUBAH UU 12 TAHUN 1994
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;
Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi juai beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti;
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak.
BAB II
OBYEK PAJAK
Pasal 2
Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :
digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
BAB III
SUBYEK PAJAK
Pasal 4
Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini.
Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak.
Subyek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap obyek pajak dimaksud.
Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
BAB IV
TARIF PAJAK
Pasal 5
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 6
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak.
Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.
Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Obyek Pajak.
Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pasal 7
Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak.
BAB VI
TAHUN PAJAK, SAAT,
DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERHUTANG
Pasal 8
Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.
Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari.
Tempat pajak yang terhutang:
untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II;
yang meliputi letak obyek pajak.
BAB VI
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG, DAN SURAT KETETAPAN PAJAK
Pasal 9
Dalam rangka pendataan, subyek pajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan dengan mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak.
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak oleh subyek pajak.
Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 10
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah ditegor secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Tegoran;
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
BAB VIII
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal 11
Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak.
Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Tata Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 12
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak merupakan dasar penagihan pajak.
Pasal 13
Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Pasal 14
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
BAB IX
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 15
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas:
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
Surat Ketetapan Pajak.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan secara jelas.
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat sebagaina dimaksud dalam ayat (1) oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direk-torat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
Pasal 16
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidak benaran ketetapan pajak tersebut.
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
Pasal 17
dihapus
BAB X
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Pasal 18
Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan.
Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagian besar diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.
Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang:
karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan./atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 20
Atas permintaan wajib pajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu.
Pasal 21
Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaanya berkaitan langsung dengan obyek pajak, wajib :
menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan obyek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak;
memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
Kewajiban memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)huruf b, berlaku pula bagi pejabat lain yang ada hubungannya dengan obyek pajak.
Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terikat oleh kewajiban untuk memegang rahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan sepanjang menyangkut pelaksanaan Undang-undang ini.
Tata cara penyampaian laporan dan permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 22
Pejabat yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
Barang siapa karena kealpaannya :
tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak ;
menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam bulan) atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terhutang.
Pasal 25
Barang siapa dengan sengaja :
tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;
menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan. yang tidak benar;
memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang.
T erhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,-(dua juta rupiah).
Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
Pasal 26
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal 27
dihapus
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Terhadap Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), Pajak Kekayaan (PKk), Pajak Jalan, dan Pajak Rumah Tangga (PRT) yang terhutang untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990.
Pasal 29
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang luran Pembangunan Daerah (ipeda) berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1990 sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 30
Terhadap obyek pajak dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya, sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Demikianlah bunyi daripada Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan setelah diubah oleh UU 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas UU 12 tahun 1985 tentang PBB.
Lampiran | Ukuran |
---|---|
UU 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas UU 12 tahun 1985 tentang PBB (26.22 KB) | 26.22 KB |