Lompat ke isi utama

PermenPPPA No 7 Tahun 2019, Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

PermenPPPA No 7 Tahun 2019, Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme ditetapkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ditandatangani Menteri PPPA Yohana Yembise pada tanggal 16 Mei 2019, diberlakukan setelah diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Widodo Ekatjahjana, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 592 tanggal 22 Mei 2019 di Jakarta.

Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme dijelaskan tentang latar belakang perlunya Peraturan Menteri PPPA 7/2019 ini diterbikan yaitu bahwa Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup bangsa dan negara, karena Anak merupakan sumber daya manusia potensial yang diharapkan menjadi pemimpin bangsa untuk melanjutkan pembangunan nasional. Sekarang ini jumlah Anak menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2017 sebanyak 87 (delapan puluh tujuh) juta jiwa, yang di tahun 2045 nanti berada pada usia 28-45 tahun yang merupakan periode emas usia produktif yang akan menentukan eksistensi bangsa di masa depan.

Komitmen negara untuk menjamin upaya Perlindungan Anak dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28B ayat (2) yang menjelaskan bahwa setiap Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk menjamin pelaksanaan komitmen tersebut telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengamanatkan kepada:

  1. negara, pemerintah, dan pemerintah daerah untuk menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak;
  2. orang tua untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak; dan
  3. masyarakat untuk berpartisipasi dalam melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak Anak, berperan aktif dalam proses Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi Sosial bagi Anak, melakukan pemantauan dan pengawasan serta berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak yang terpengaruh Radikalisme dan terlibat dalam tindak pidana Terorisme.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengamanatkan Anak Korban jaringan Terorisme perlu mendapatkan perlindungan khusus yang dilakukan melalui upaya:

  1. edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme;
  2. Konseling tentang bahaya Terorisme;
  3. Rehabilitasi Sosial; dan
  4. Pendampingan sosial.

Perlindungan khusus diberikan mengingat Anak adalah kelompok rentan yang mudah dipengaruhi oleh lingkungannya seperti orang tua, masyarakat, teman, dan guru untuk kepentingan pribadi. Kegagalan untuk melindungi Anak, maka Anak akan masuk ke dalam kategori Perlindungan khusus yang berdampak negatif bagi masa depan Anak.

Walaupun Anak telah diberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan haknya oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak, namun di masyarakat masih ada yang memanfaatkan Anak melakukan perbuatan yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang Anak dan melanggar peraturan perundang-undangan, seperti mempengaruhi Anak dengan Radikalisme dan melibatkan Anak dalam tindak pidana Terorisme.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, pada tahun 2018 ada sekitar 500 orang tua yang telah diputus dan ditetapkan sebagai narapidana dan mereka mempunyai Anak sekitar 1.800 orang Anak yang belum ditangani pemerintah. Anak tersebut mengalami pelabelan, stigmatisasi, diskriminasi, bullying yang memerlukan penanganan, pembinaan, Pendampingan, dan pemulihan.

Sesuai dengan salah satu tujuan pembentukan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk Anak yang terpengaruh Radikalisme dan terlibat tindak pidana Terorisme, serta sesuai dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk memberikan perlindungan khusus bagi Anak Korban jaringan Terorisme maka perlu disusun Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme yang akan melindungi dan memenuhi hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Siapa yang perlu dilindungi dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme?

Dalam Pasal 3 PermenPPPA Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme ditujukan kepada:

  1. Anak Korban;
  2. Anak Pelaku;
  3. Anak dari Pelaku; dan
  4. Anak Saksi.

Maksud dan Tujuan Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

Maksud penyusunan pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme digunakan sebagai acuan bagi kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan lembaga yang dibentuk masyarakat dalam memberikan Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.

Tujuannya adalah agar adanya langkah-langkah yang diperlukan dalam melakukan:

  1. Pencegahan agar Anak tidak terpengaruh Radikalisme dan tidak terlibat dalam tindak pidana Terorisme; dan
  2. penanganan yang diberikan bagi Anak yang terpengaruh Radikalisme dan terlibat dalam tindak pidana Terorisme, Anak Korban, Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi.

Sasaran Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

Sasaran dari Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme dapat dilihat dari sisi pelaksana pedoman dan penerima manfaatnya yaitu:

  1. Pelaksana Pedoman
    1. Kementerian/Lembaga terkait, antara lain Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Himpunan Psikologi Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Lembaga Negara lainnya;
    2. Pemerintah Daerah; dan
    3. Lembaga yang menangani anak.
  2. Penerima Manfaat
    1. Anak Korban;
    2. Anak Pelaku;
    3. Anak dari Pelaku; dan
    4. Anak Saksi.

Dasar Hukum PermenPPPA Nomor 7 tahun 2019

Landasan Hukum penetapan PermenPPPA 7/2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946);
  2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6216);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
  5. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2015 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 103);
  6. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2022);

Langkah dan Ruang Lingkup dalam Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

  1. Pencegahan;
    1. mendeteksi dan memetakan lokasi Anak yang rentan terpengaruh Radikalisme dan terlibat Tindak Pidana Terorisme;
    2. menyusun materi komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme; dan
    3. menyebarluaskan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
  2. edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan Nilai-Nilai Nasionalisme;
    1. Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme dikaitkan dengan Perlindungan Anak;
    2. bahaya Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
    3. faktor penyebab Anak melakukan tindakan Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
    4. ciri dan modus pelaku Tindak Pidana Terorisme; dan
    5. upaya yang perlu dilakukan untuk menangani Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
  3. Konseling tentang bahaya Radikalisme dan Terorisme;
    1. agama;
    2. kepribadian;
    3. kehidupan bermasyarakat; dan
    4. keluarga.
  4. Rehabilitasi Sosial;
    1. pendekatan awal;
    2. pengungkapan dan pemahaman masalah atau asesmen;
    3. penyusunan rencana pemecahan masalah;
    4. pemecahan masalah atau intervensi;
    5. resosialisasi;
    6. terminasi; dan
    7. bimbingan lanjut.
  5. Rehabilitasi Psikososial dan/atau Rehabilitasi Psikologis;
    1. permohonan tertulis oleh wali dari Anak Korban, wali Anak Saksi, atau instansi terkait dilengkapi dengan surat keterangan korban yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
    2. penelaahan syarat formil dan materiil permohonan Rehabilitasi Psikososial;
    3. keputusan paripurna Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
    4. penyerahan surat pemberitahuan diterimanya layanan Rehabilitasi Psikososial;
    5. penandatanganan perjanjian Rehabilitasi Psikologis antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan wali dari Anak Korban, wali dari Anak Saksi;
    6. koordinasi dengan Anak Korban, Anak Saksi dan walinya terkait mekanisme Rehabilitasi Psikologis;
    7. koordinasi dengan kementerian/lembaga penyedia layanan psikososial sesuai dengan kebutuhan korban;
    8. pemberian Rehabilitasi Psikososial kepada korban; dan
    9. monitoring dan evaluasi pelaksanaan Rehabilitasi Psikososial.
  6. Pendampingan;
    1. penguatan kepada Anak Korban atau Anak Pelaku sebelum memasuki ruang sidang;
    2. memastikan kesiapan Anak Korban atau Anak Pelaku untuk bertemu dengan pelaku;
    3. menyampaikan kepada hakim dan jaksa apabila Anak Korban atau Anak Pelaku tidak dapat dipertemukan dengan pelaku dalam persidangan;
    4. memastikan kondisi Anak Korban atau Anak Pelaku siap memberikan keterangan kepada hakim; dan
    5. memberikan pertimbangan dalam proses persidangan jika diminta oleh hakim.
  7. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan
  8. layanan lainnya.

Rencana aksi Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme untuk pertama kali ditetapkan pada periode tahun 2019- 2024 sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Rencana Aksi Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme untuk periode selanjutnya dapat ditetapkan oleh Menteri setiap 5 (lima) tahun.

Radikalisme dan Terorisme

Radikalisme dapat menjadi ancaman terhadap diri Anak secara berkelanjutan dari sisi pemahaman agamanya, kehidupan bermasyarakat, tumbuh kembangnya, karakter serta Nilai-Nilai Nasionalisme, cinta tanah air, dan menjadi isu perlindungan Anak yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, orang tua, keluarga, dan sebagainya.

Pada dasarnya Radikalisme terjadi di Indonesia sejak zaman dahulu karena sudah ada di dalam diri manusia yang merupakan gejala umum yang ditandai oleh ungkapan, sikap, perilaku, serta tindakan ekstrim dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap kenyataan yang dihadapi.

Radikalisme menyebabkan ancaman terhadap Anak karena Anak diberikan edukasi yang salah tentang agama, diajarkan pemahaman yang ekstrim, tidak ada toleransi dan kasih sayang sesama umat manusia, padahal agama mengajarkan toleransi, kasih sayang, saling tolong-menolong.

Radikalisme merupakan suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan secara menyeluruh dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya nilai-nilai yang sedang berlaku pada saat itu secara positif, Radikalisme diartikan sebagai suatu paham liberalisme yang sangat maju, namun dari sisi negatif Radikalisme diinterpretasikan dengan ekstrim/fundamentalisme yang mengarah pada kekerasan fisik yang menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat.

Radikalisme muncul karena individu/kelompok radikal tidak dapat menerima perbedaan, bahkan menganggap kemajemukan yang terjadi di masyarakat sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompok radikal. Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensi kelompok radikal, harus mengeliminasi kelompok lain yang tidak sepaham.

Radikalisme merupakan embrio lahirnya Terorisme karena menginginkan adanya perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan mengangkat hal-hal negatif yang ada di masyarakat seperti adanya ketidakadilan, adanya kemiskinan, kesenjangan, globalisasi, dan diskriminasi.

Beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal yaitu intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), fanatik (selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah), eksklusif (membedakan diri dari orang lain), revolusioner, serta mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya (senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya), mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat.

Terorisme telah terjadi sejak zaman revolusi Perancis, ketika pemerintahan Robespierre terlibat di dalam eksekusi massal, terhadap orang-orang sipil yang merupakan lawan-lawan politiknya. Di abad ke-19, arti istilah teroris juga termasuk bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan oleh individual atau kelompok di luar negara yang bersifat mengancam, mengganggu, atau menghambat stabilitas kekuasaan lawannya. Contohnya adalah The Secret Society (Masyarakat Rahasia) yang berjuang untuk unifikasi negara Italia. Kelompok Carabinary yang berarti karaben (sejenis senjata api otomatis) ini berhasil mencapai cita-citanya pada tahun 1871. Mereka adalah kelompok bersenjata karaben yang tak mengenal belas kasihan dengan membunuh siapa saja tak terkecuali. Terorisme menjelang abad ke-20 dipenuhi oleh gerakan-gerakan politik revolusioner yang anarkis yang dalam bentuk dan taktiknya mirip dengan saat ini.

Tindak Pidana Terorisme merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena merupakan kejahatan atas pelanggaran kemanusiaan, dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menyebabkan ketakutan, ancaman, dan ketidaktentraman di masyarakat yang menimbulkan dampak yang luar biasa. Para pelaku teror biasa melakukan kegiatannya dengan menggunakan teknologi modern di bidang komunikasi, informatika, transportasi, dan persenjataan modern, yang biasanya bermotif ideologi atau motif politik atau tujuan tertentu serta tujuan lain yang bersifat pribadi dan ekonomi yang menimbulkan kerusakan baik bangunan, gedung, serta menimbulkan korban terhadap orang lain maupun Anak dalam bentuk luka berat, luka ringan, sampai meninggal dunia.

Terorisme di Indonesia masuk melalui jaringan atau kelompok yang berada di luar negeri yang ingin menyebarluaskan Radikalisme di Indonesia yang ingin membentuk negara di dalam negara karena sistem negara kita dianggap bertentangan dengan sistem kenegaraan yang dianut mereka seperti sistem demokrasi di Indonesia tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut pemahamannya.

Dahulu pelaku Terorisme dapat diketahui dari ciri-ciri fisiknya, misalnya cara berpakaian, ciri-ciri tersebut sudah tidak terlihat lagi, sekarang yang dapat diketahui adalah cara bicaranya umumnya tentang jihad, hijrah, mengkafirkan orang, surga, neraka, pahala, dosa, musuh Tuhan, tidak ada pintu taubat selain jihad.

Pelaku Terorisme pada umumnya berupa jaringan atau kelompok masyarakat yang terorganisir dan kemungkinan berafiliasi, baik di dalam maupun di luar negeri dan kemungkinan dibiayai oleh kelompok tersebut untuk mengajak Anak masuk ke dalam anggota kelompoknya. Pelaku Terorisme menganggap dirinya yang paling benar dan melakukan tindakan radikal kepada orang-orang yang dianggap tidak sepaham, mengajak untuk melakukan jihad, karena menurut mereka jihad itu adalah tindakan anarkis yang dianggap benar, dan dengan menjanjikan jaminan-jaminan kepada korbannya.

Pelaku tindak pidana Terorisme dapat dilakukan secara:

  1. Personal
    Aksi-aksi Terorisme dilakukan perorangan. Biasanya, dalam pengeboman dengan bus, pengeboman mal-mal dan pusat perbelanjaan yang dilakukan secara personal.
  2. Kolektif
    Aksi Terorisme secara kolektif biasanya dilakukan secara terencana dalam sebuah jaringan yang rapi. Sasaran Terorisme dalam kategori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian.

Aksi tindak pidana Terorisme biasanya dilakukan dengan:

  1. perencanaan yang matang dan terperinci, menguasai teknik persenjataan, dan bom;
  2. menteror dengan cara mengancam atau menakut-nakuti;
  3. penggunaan kekerasan antara lain dengan melakukan bom bunuh diri, menabrak orang lain dengan kendaraan;
  4. menggunakan kata sandi tertentu untuk menjaga kerahasiaan, namun berubah menjadi terbuka saat perlu publikasi demi hasil maksimal dari operasi teror yang dilaksanakan;
  5. sistem kekuasaan bersifat sentralisasi;
  6. berpindah-pindah untuk menghindari penangkapan polisi; dan
  7. memanfaatkan media sosial untuk menggerakkan masyarakat terlibat jaringan Terorisme.

Pemberantasan tindak pidana Terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum, melainkan juga merupakan masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Masalah ekonomi menjadi dasar faktor pendukung lahirnya Radikalisme dan Terorisme sebagai akibat dari rasa frustrasi dari kelompok orang miskin yang tidak bisa bertahan dalam kehidupannya, sehingga terpengaruh untuk melakukan perbuatan yang mengarah kepada Radikalisme dan Terorisme.

Masalah sosial juga menjadi penyebab karena mereka menganggap pemerintah belum bisa menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, karena ada ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin sehingga menimbulkan kecemburuan sosial yang menyebabkan mereka merasa mengalami ketidakadilan sosial dan melakukan tindakan yang mengarah kepada Terorisme. Budaya juga termasuk penyebab terjadinya Terorisme karena masyarakat yang tidak peduli, menerima tanpa menyaring paham-paham dari luar yang mengajarkan tindakan radikal dan Terorisme guna kepentingan mereka.

Terorisme juga berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah Pencegahan dan pemberantasannya pun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.

Kasus-Kasus Terorisme di Indonesia

Kasus-kasus Terorisme yang terjadi di Indonesia di antaranya:

  1. Pada tanggal 28 Maret 1981. Sebuah maskapai penerbangan Garuda Indonesia dibajak. Pesawat DC-9 berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, serta mengaku sebagai anggota Komando Jihad. Seorang kru pesawat tewas, seorang tentara komando tewas, dan tiga orang teroris tewas.
  2. Pada tanggal 21 Januari 1985, Bom Candi Borobudur, yang merupakan peristiwa Terorisme bermotif “jihad” kedua yang menimpa Indonesia.
  3. Pada tanggal 1 Agustus 2000, bom meledak di Kedubes Filipina. Bom meledak dari sebuah mobil yang di parkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. Dua orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T. Caday.
  4. Pada tanggal 27 Agustus 2000, granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta.
  5. Pada tanggal 13 September 2000, terjadi peledakan di Bursa Efek Jakarta. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. Sepuluh orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. Sekitar 104 mobil rusak berat dan 57 rusak ringan.
  6. Pada tanggal 24 Desember 2000, Bom malam Natal. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.
  7. Pada tanggal 22 Juli 2001, bom meledak di Gereja Santa Anna dan HKBP, di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas.
  8. Pada tanggal 23 September 2001, bom Plaza Atrium Senen Jakarta. Bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Enam orang cedera.
  9. Pada tanggal 12 Oktober 2001, bom restoran KFC, Makassar. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life Cabang Makassar tidak meledak.
  10. Pada tanggal 6 November 2001, bom sekolah Australia, Jakarta. Bom rakitan meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.
  11. Pada tanggal 1 Januari 2002, bom Tahun Baru. Granat manggis meledak di depan Rumah Makan Ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja.
  12. Pada tanggal 12 Oktober 2002, Bom Bali. Tiga ledakan mengguncang Bali. Sejumlah 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, namun tidak ada korban jiwa.
  13. Pada tanggal 5 Desember 2002, bom restoran McDonald’s, Makassar. Bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald’s Makassar, 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
  14. Pada tanggal 3 Februari 2003 di Jakarta, bom kompleks Mabes Polri. Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta.
  15. Pada tanggal 27 April 2003 di Jakarta, bom Bandara Soekarno-Hatta. Bom meledak di area publik di terminal 2F, Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Dua orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
  16. Pada tanggal 5 Agustus 2003, bom JW Marriott. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.
  17. Pada tanggal 10 Januari 2004, bom Palopo, menewaskan 4 orang.
  18. Pada tanggal 9 September 2004, bom Kedubes Australia. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. Lima orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI.
  19. Pada tanggal 12 Desember 2004, terjadi ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah.
  20. Pada tanggal 21 Maret 2005, dua bom meledak di Ambon. Juga, bom Tentena, 28 Mei 2005, mengaibatkan 22 orang tewas.
  21. Pada tanggal 8 Juni 2005, bom Pamulang, Tangerang. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat.
  22. Pada tanggal 1 Oktober 2005, Bom Bali. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di RAJA’s Bar & Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Cafe Jimbaran.
  23. Pada tanggal 31 Desember 2005, Bom Pasar Palu. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.
  24. Pada tanggal 17 Juli 2009, bom Jakarta. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB.
  25. Pada Januari 2010 terjadi penembakan warga sipil di Aceh, perampokan bank CIMB Niaga September 2010.
  26. Pada tanggal 15 April 2011, bom Cirebon. Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat Shalat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya.
  27. Pada tanggal 22 April 2011, bom Gading Serpong. Rencana bom yang menargetkan Gereja Christ Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas, namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI.
  28. Pada tanggal 25 September 2011, bom Solo. Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka.
  29. Pada tanggal 14 Januari 2016 terjadi kasus peledakan bom di Thamrin yang diduga melibatkan anak karena diduga menyembunyikan informasi tentang kelompok yang melakukan serangan Thamrin.
  30. Pada tanggal 28 Agustus 2016 terjadi kasus peledakan dan penusukan Pastor di Gereja Katolik STASI St. Yoseph Medan. Pelaku tunggal berusia 17 tahun.
  31. Pada tanggal 13 November 2016 terjadi kasus peledakan bom oleh JAD Kalimantan Timur, di Gereja Oikumene Samarinda. Ada 2 anak yang terlibat dalam kasus ini untuk meracik bom.
  32. Pada tanggal 9-10 Maret 2017 terjadi kasus perencanaan pengeboman di Toli-Toli oleh 2 orang anak.
  33. Pada tahun 2017 terdapat 87 Anak-anak bersama dengan 139 orang yang dideportasi dari Suriah melalui Turki yang diduga terkait jaringan Terorisme.
  34. Pada tanggal 6 Maret 2018 terjadi penangkapan kelompok JAD. Ada satu anak berusia 17 tahun yang ditangkap karena kasus perencanaan penyerangan Polsek Gadog.
  35. Pada tanggal 16 Mei 2018 terjadi penyerangan di Mapolda Riau yang mengakibatkan tewasnya seorang anggota Polda Riau.
  36. Kejadian tindak pidana Terorisme yang terakhir terjadi di tiga gereja di Surabaya tanggal 13-14 Mei 2018 yang menyebabkan:
    1. 7 Anak dirawat di RS Bhayangkara Polda Jawa Timur;
    2. 3 (tiga) Anak terduga teroris di rusun Wonocolo Sidoarjo;
    3. 3 (tiga) Anak terduga teroris yang ditangkap di jalan Sikatan; dan
    4. 1 (satu) Anak terkait dengan bom di depan kantor Polrestabes Surabaya.
  37. Kejadian tindak pidana Terorisme yang terakhir terjadi di Sibolga pada tanggal 13 Maret 2019 yang menyebabkan:
    1. 1 (satu) anak dari pelaku tewas; dan
    2. 296 (dua ratus sembilan puluh enam) anak yang harus mendapatkan program pemulihan psikologis.

Terorisme dan Anak

Anak terlibat dalam jaringan Terorisme disebabkan karena faktor internal dan/atau eksternal:

  1. Faktor Internal
    Faktor internal antara lain karena pengaruh kelemahan dari sisi agama, ketidaktahuan Wawasan Kebangsaan, jenis kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi Anak.
  2. Faktor Eksternal
    1. keluarga, yaitu orang tua yang memengaruhi Anak untuk terlibat dalam jaringan Terorisme;
    2. lingkungan, yaitu teman-teman di sekitarnya yang mengajak Anak untuk terlibat dalam jaringan Terorisme;
    3. media, khususnya melalui internet, yang menyediakan situs-situs Radikalisme, cara melakukan tindakan yang mengarah kepada Terorisme;
    4. kemiskinan, umumnya pelaku Terorisme dari keluarga tidak mampu, mereka dijanjikan dan diberikan gaji, jaminan seumur hidup sehingga menarik mereka untuk terlibat dalam jaringan Terorisme;
    5. pendidikan, umumnya pelaku Terorisme berpendidikan rendah atau dipengaruhi oleh gurunya yang memberikan pemahaman radikal, atau bersekolah di sekolah yang teridentifikasi memberikan paham radikal yang mengarah ke tindakan Terorisme.

Cara Teroris Mempengaruhi Anak

Teroris dalam memberikan pemahaman kepada Anak Pelaku dilakukan dengan cara:

  1. Memaksakan ideologi, Pelaku Terorisme menganggap pemerintah gagal untuk mensejahterakan rakyat, masih banyak kemiskinan, korupsi dan ketidakadilan masih banyak terjadi karena negara kita menganut sistem demokrasi yang tidak sesuai dengan ideologi mereka;
  2. Penafsiran yang salah tentang kepercayaan/agama, artinya ajaran agama disalahartikan sehingga membolehkan sesuatu yang dilarang oleh agama atau melarang sesuatu yang dibolehkan menurut agama yang dilakukan untuk kepentingan mereka.

Anak yang terlibat dalam tindak pidana Terorisme pada umumnya dilakukan melalui cara bujuk rayu, pendoktrinan, dicuci otak dengan memaparkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh penguasa, dibangkitkan amarahnya lalu dibungkus dengan agama yang mengajak Anak dalam kegiatan yang mengandung Radikalisme yang berdampak pada kerugian baik pada dirinya maupun orang lain.

Tindak pidana Terorisme dapat menyebabkan Anak menjadi korban, Anak Pelaku, dan Anak dari Pelaku. Anak menjadi korban dalam bentuk luka fisik, luka psikis, trauma, bahkan sampai meninggal dunia. Anak pelaku mengalami penderitaan dalam bentuk fisik, psikis, trauma, dan stigma. Anak dari pelaku mengalami penderitaan dalam bentuk psikis, trauma, dan mengalami stigma akibat dari orang tuanya yang telah melakukan tindak pidana Terorisme.

Pelibatan Anak dalam jaringan Terorisme ini menunjukkan masyarakat khususnya orang tua tidak memberikan bimbingan dan tidak mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak serta tidak memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti yang baik pada Anak, mengembangkan sikap dan perilaku kepada Anak dengan cara yang tidak baik.

Anak Pelaku Terorisme pada umumnya memiliki semangat beragama sangat tinggi, namun kurang membaca dan memahami agama sehingga tidak berimbang dan memiliki kekosongan pemikiran. Anak Pelaku Terorisme menganggap tindakannya benar, oleh karena itu perlu Pendampingan dengan melakukan pendekatan psikologi dengan bahasa ibu, humanistik, kekeluargaan, kasih sayang serta melakukan upaya Deradikalisasi dengan menghilangkan, mengurangi, dan membalikkan pemahaman radikal Terorisme dari Anak serta mencerdaskan Anak yang membuat mereka menyadari akan tindakannya yang membahayakan diri dan orang lain.

Terorisme merupakan tindakan yang membahayakan, mengancam kehidupan masyarakat, khususnya terhadap Anak, oleh karena itu pemerintah wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama dengan seluruh unsur masyarakat dengan melakukan upaya Pencegahan secara simultan, terencana, dan terpadu untuk meminimalisir keterlibatan anak dalam jaringan Terorisme dengan melakukan 3 (tiga) jenis counter yaitu counter narasi, counter propaganda, dan counter ideologi.

Pencegahan dan Penanganan Radikalisme dan Terorisme

Pencegahan Radikalisme dan Terorisme

Pencegahan dilakukan agar Anak tidak terpengaruh Radikalisme dan tidak terlibat dalam tindak pidana Terorisme, mengingat Radikalisme dan Terorisme menimbulkan dampak dan membahayakan bukan hanya kepada orang lain tapi juga kepada Anak.

Bentuk-bentuk pencegahan radikalisme dan terorisme:

  1. Primer, yaitu Pencegahan yang meliputi kegiatan yang mengubah sikap, perilaku, dan pemahaman Anak, orang tua serta masyarakat tentang dampak yang tidak diinginkan dari Radikalisme dan tindak pidana Terorisme terhadap Anak;
  2. Sekunder, yaitu difokuskan pada Anak yang berisiko terpengaruh Radikalisme dan tindak pidana Terorisme dengan mengubah keadaan sebelum menimbulkan dampak dari Terorisme secara nyata terhadap Anak; dan
  3. Tersier, yaitu menangani situasi setelah keadaan krisis sebagai akibat dari terpaparnya Radikalisme dan tindak pidana Terorisme untuk membebaskan Anak dari dampak buruk.

Tujuan Pencegahan Anak terpengaruh Radikalisme dan tindak pidana Terorisme adalah mewujudkan lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga yang menangani Anak untuk mencegah dan melindungi Anak agar tidak terpengaruh Radikalisme dan tidak terlibat tindak pidana Terorisme.

Untuk menjamin efektivitas upaya Pencegahan agar Anak tidak terpengaruh Radikalisme dan tidak terlibat tindak pidana Terorisme dilakukan dengan:

  1. Mendeteksi dan memetakan lokasi Anak yang rentan terpengaruh Radikalisme dan terlibat Tindak Pidana Terorisme;
  2. Menyusun materi komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme; dan
  3. Menyebarluaskan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.

Materi komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisasi dan tindak pidana Terorisme meliputi materi tentang:

  1. Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme dikaitkan dengan Perlindungan Anak;
  2. bahaya Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
  3. faktor penyebab Anak melakukan tindakan Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
  4. ciri dan modus pelaku Tindak Pidana Terorisme; dan
  5. upaya yang perlu dilakukan untuk menangani Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.

Indikator keberhasilan program Pencegahan diukur dengan meningkatnya peran serta masyarakat dalam upaya mencegah Radikalisme dan tindak pidana Terorisme pada Anak.

Penanganan Radikalisme dan Terorisme

Penanganan Anak yang terpengaruh Radikalisme dan terlibat tindak pidana Terorisme diberikan bukan hanya terhadap Anak yang menjadi korban, tapi juga Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi. Tujuan penanganan terhadap Anak yang terpengaruh Radikalisme dan tindak pidana Terorisme adalah agar Anak Korban, Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi Radikalisme dan tindak pidana Terorisme mendapatkan layanan yang dibutuhkan.

Terkait dengan penanganan Anak Korban tindak pidana Terorisme menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah, lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang dilakukan melalui upaya:

  1. Edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan Nilai-Nilai Nasionalisme;
    1. Edukasi tentang Pendidikan
      Edukasi tentang pendidikan dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang:
      1. penanaman nilai-nilai moral dan mental agar hidup rukun dan damai;
        Penanaman nilai moral diberikan kepada Anak untuk memberikan pemahaman tentang baik buruknya perilaku serta tidak melakukan tindakan yang merugikan dan membahayakan orang lain, seperti tindakan Terorisme.
        Penanaman nilai mental diberikan agar Anak berpegang teguh dengan prinsip-prinsip kebenaran, moral, dan etika serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan prinsip- prinsip kebenaran, moral, etika, seperti tindakan Terorisme, dengan harapan Anak memiliki kesadaran untuk menerima serta melakukan perbuatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bersikap sesuai dengan norma-norma yang dijunjung tinggi di lingkungannya.
      2. karakter dan budi pekerti;
        Anak diberikan pengajaran dan pemahaman tentang sikap, tingkah laku, perangai, akhlak yang baik seperti sopan santun, tidak mudah putus asa, rendah hati, penuh hormat, semangat, kreatif, tolong menolong, bantu membantu, saling bekerja sama, gotong royong, bahu membahu, disiplin yang tercermin dalam sifat, watak perbuatan sehari-hari serta kesadaran untuk melakukan tindakan yang baik di masyarakat dan tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain seperti Terorisme.
      3. saling menghargai dan menghormati;
        Anak diberikan pengajaran dan pemahaman tentang sikap saling menghargai, menghormati sesama manusia, yang bertujuan untuk memelihara hubungan baik sesama manusia sebagai makhluk hidup sehingga tercipta keserasian dan kerukunan hidup antarmanusia, adanya kehidupan yang saling menghargai dan menghormati keberadaan harkat dan martabat orang lain.
    2. Edukasi tentang Ideologi
      Edukasi tentang ideologi dilakukan untuk memberikan pengajaran dan pemahaman tentang Pancasila sebagai ideologi negara, menjelaskan tentang sejarah, makna dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, falsafah, pandangan hidup bangsa, pemersatu bangsa, kesaktian Pancasila, penerapan atau aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan diberikan pemahaman tentang Pancasila diharapkan Anak tidak terpengaruh Radikalisme dan tindak pidana Terorisme yang akan menghancurkan kesatuan bangsa Indonesia.
    3. Edukasi tentang Nilai-Nilai Nasionalisme
      Edukasi tentang Nilai-Nilai Nasionalisme dilakukan dengan memberikan pengajaran dan pemahaman untuk mendorong Anak menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, bangga berbangsa dan bertanah air Indonesia, rela berkorban demi bangsa, kesetiaan terhadap bangsa secara mendalam, menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, menghilangkan ekstremisme, menciptakan hubungan yang rukun dan harmonis dan mempererat tali persaudaraan yang utuh.
  2. Konseling tentang bahaya Terorisme;
    Konseling tentang bahaya Radikalisme dan Terorisme diberikan kepada Anak, materinya dikaitkan dengan agama, kepribadian, kehidupan bermasyarakat, dan keluarga.
    1. Konseling tentang Agama
      Konseling tentang agama diberikan guna membantu memahami dan mengatasi kesulitan akibat Tindak Pidana Terorisme dengan kemampuan yang ada pada diri Anak dengan meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga Anak mampu membentengi dirinya dan mampu mengatasi permasalahan dirinya.
      1. Mengajarkan kebaikan dan kearifan
        Agama mengajarkan untuk saling menyayangi, melindungi dan melarang untuk menyakiti diri maupun orang lain. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan untuk melakukan keburukan kepada sesama manusia.
      2. Melarang membunuh makhluk hidup
        Agama melarang untuk membunuh makhluk hidup, karena makhluk adalah ciptaan Tuhan, maka hanya Tuhan yang mempunyai kewenangan untuk mencabut atau membunuh makhluk Tuhan. Dengan kata lain, hidup dan matinya manusia ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Dengan demikian manusia dilarang untuk membunuh sesama manusia.
      3. Melarang berbuat kerusakan
        Agama juga melarang berbuat kerusakan di dunia ini karena Tuhan menciptakan bumi dan segala isinya untuk kesejahteraan manusia, oleh karena itu manusia tidak boleh melakukan kerusakan-kerusakan di muka bumi ini, contohnya tindakan Terorisme seperti pengeboman yang dapat merugikan dan berdampak pada orang lain.
      4. Mengajarkan manusia berbuat baik
        Agama juga mengajarkan agar manusia berbuat baik kepada sesama manusia karena menurut agama sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kemuliaan seseorang tidak hanya diukur dari ibadahnya kepada Tuhan, tetapi juga dilihat dari perbuatan baiknya kepada sesama manusia.
      5. Memerintahkan untuk saling menghargai
        Agama memerintahkan untuk saling menghargai pendapat orang lain yang mungkin berbeda dengan pendapat kita serta tidak menyalahkan orang lain. Manusia diciptakan Tuhan memiliki akal yang bisa berpikir secara luas yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat, agama, aliran. Setiap perbedaan jangan menyebabkan saling bermusuhan, menyakiti, terpecah belah karena perbedaan sebenarnya anugrah dari Tuhan sehingga setiap perbedaan harus dihargai dan dihormati.
      6. Memerintahkan untuk berpegang teguh pada ajaran Agama
        Tuhan memerintahkan untuk berpegang teguh pada ajaran Agama, jangan melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan perpecahan antar sesama manusia, karena perpecahan dapat menimbulkan perselisihan, ketidakberdayaan, permusuhan.
      7. Penyuluh Agama dari sifat Tuhan yang penyayang
        Tuhan mempunyai sifat pengasih, penyayang, pemberi, dan pengampun. Oleh karena itu setiap manusia harus menjadi penyuluh agama untuk mengajarkan sifat Tuhan tersebut kepada sesama manusia. Artinya dari segi agama, menjelaskan bahwa Radikalisme dan Terorisme merupakan tindakan yang negatif, salah, tidak baik, tidak bermoral, tidak beretika, menggambarkan budi pekerti yang buruk.
      8. Mengamalkan ajaran dan nilai-nilai agama
        Agama memerintahkan untuk memahami dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu, Anak harus didorong untuk melakukan suatu perbuatan yang sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai keagamaan, diberikan pemahaman tentang perlunya mengamalkan perintah-perintah agama yang baik dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang, termasuk Terorisme.
        Cara memotivasi untuk mengamalkan ajaran dan nilai-nilai keagamaan yaitu:
        1. Teknik Ajakan (Persuasi) yaitu:
          Suatu teknik motivasi yang dilakukan dengan cara menjelaskan atau mengajak Anak agar memahami dan menjadi manusia yang taat kepada perintah agama serta menjauhi larangan agama dan menjelaskan bahaya atau akibat bila tidak menjalankan perintah agama.
        2. Teknik Rangsangan (Stimulasi) yaitu:
          Teknik ini dilakukan untuk mendorong Anak agar selalu berbuat baik sesuai dengan tuntunan dan perintah agama. Bila kita berbuat baik maka akan mendapatkan pahala dan diberikan kemudahan-kemudahan bila mengalami kesulitan.
        3. Teknik sanksi atau paksaan sosial yaitu:
          Motivasi ini dilakukan agar Anak jangan melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan agama, seperti Terorisme, jika melanggar akan mendapat sanksi berupa pengucilan, dosa, kesulitan-kesulitan hidup, siksa, serta sanksi pidana.
    2. Konseling tentang Kepribadian
      Konseling kepribadian merupakan salah satu aspek dalam bimbingan Konseling, karena kepribadian Anak akan mempengaruhi segala hal dalam hidupnya, baik sosial, agama, dan perilaku lainnya. Dengan adanya Konseling kepribadian, diharapkan Anak mampu mengontrol dirinya untuk mengekspresikan minat dan bakat dalam segi positif.
      Konseling tentang kepribadian dilakukan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan untuk mengetahui dan memastikan kondisi Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi:
      1. tidak berpura-pura, tidak dibuat-buat, semu, atau mengandung kepalsuan;
      2. kepribadian sejati atau yang sesungguhnya; dan
      3. tidak atau mengalami trauma, dendam, stigma yang dapat mengganggu tumbuh kembang Anak.
    3. Konseling tentang Kehidupan Bermasyarakat
      Konseling tentang kehidupan bermasyarakat meliputi upaya untuk mendorong Anak agar dapat hidup di masyarakat dengan baik dengan menjelaskan tentang:
      1. cara berinteraksi dengan masyarakat sesuai dengan norma yang berlaku;
      2. dampak dari tindak pidana Terorisme yang menyebabkan masyarakat terancam, terganggu, tidak nyaman, takut, dan menimbulkan keresahan akibat dampak dari tindakan Terorisme tersebut;
      3. tindakan Terorisme menyebabkan aktivitas masyarakat terganggu, hilangnya atau rusaknya harta benda masyarakat, kerusakan anggota tubuh, luka, cacat fisik, trauma, sampai meninggal dunia.
    4. Konseling tentang Keluarga
      Konseling tentang keluarga diperlukan mengingat Anak yang terpapar Radikalisme menganggap keluarga sebagai musuh, tidak sepaham dengan mereka sehingga tidak perlu dituruti, ditaati, dihormati. Oleh karena itu, Konseling tentang keluarga ini dilakukan untuk menyadarkan anak bahwa:
      1. keluarga sangat penting karena anak tidak bisa hidup, tumbuh kembang secara baik tanpa kasih sayang, dukungan dari keluarga; dan
      2. keluarga yang mengasuh, membina, membimbing, mengawasi sehingga anak tersebut menjadi dewasa.
  3. Rehabilitasi Sosial
    Rehabilitasi Sosial terhadap Anak Pelaku dilakukan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dan Rehabilitasi Sosial terhadap Anak Korban dan Anak Saksi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum (LKSABH). Rehabilitasi Sosial dilakukan melalui tahapan:
    1. Pendekatan awal;
      Dilakukan dengan sosialisasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi, seleksi, dan penerimaan. Sosialisasi dan konsultasi dilakukan untuk menjalin kerja sama dalam bentuk penyampaian informasi mengenai lembaga Rehabilitasi Sosial, guna memperoleh dukungan data dan sumber yang mendukung pelayanan Rehabilitasi Sosial. Sosialisasi dan konsultasi dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai program layanan yang akan diterima oleh Anak Korban atau Anak Pelaku. Sosialiasi dan konsultasi dilakukan melalui media yang sesuai meliputi brosur, video, iklan, pusat layanan pengaduan, dan/atau seminar. Identifikasi dilakukan untuk mengenal dan memahami masalah Anak Korban atau Anak Pelaku dengan memeriksa kelengkapan berkas Anak Korban atau Anak Pelaku. Motivasi dilakukan untuk penumbuhan kesadaran dan minat Anak Korban atau Anak Pelaku serta dukungan keluarga/keluarga pengganti untuk mengikuti Rehabilitasi Sosial. Motivasi dilakukan dalam bentuk Konseling dan dukungan kelompok. Seleksi dilakukan untuk pemilihan dan penetapan Anak Korban atau Anak Pelaku sebagai penerima layanan Rehabilitasi Sosial. Penerimaan dilakukan dengan meregistrasi dan menempatkan Anak Korban atau Anak Pelaku.
    2. Pengungkapan dan pemahaman masalah atau asesmen;
      Dilakukan dengan mengumpulkan, menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi, dan sumber yang dapat dimanfaatkan dalam pelayanan Rehabilitasi Sosial. Pengungkapan dan pemahaman terdiri atas persiapan, pengumpulan data dan informasi, analisis, dan temu bahas kasus. Persiapan dilakukan dengan membangun hubungan dengan Anak Korban atau Anak Pelaku. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan mendapatkan data dan informasi Anak Korban atau Anak Pelaku. Analisis dilakukan dengan menginterpretasi data dan informasi guna menemukan masalah dan kebutuhan Anak Korban atau Anak Pelaku. Temu bahas kasus dilakukan untuk mengidentifikasi masalah dan mengetahui kebutuhan Anak Korban atau Anak Pelaku.
    3. Penyusunan rencana pemecahan masalah;
      Dilakukan untuk penetapan rencana pelayanan bagi Anak Korban atau Anak Pelaku. Penyusunan rencana pemecahan masalah dilakukan dengan membuat skala prioritas kebutuhan Anak Korban atau Anak Pelaku, menentukan jenis layanan dan rujukan sesuai dengan kebutuhan Anak Korban atau Anak Pelaku, serta membuat kesepakatan jadwal pelaksanaan pemecahan masalah.
    4. Pemecahan masalah atau intervensi;
      Dilakukan dengan mengintervensi pemenuhan kebutuhan dasar, terapi psikososial, terapi mental dan spiritual, dan kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan vokasional. Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi pengasuhan, makanan, sandang, tempat tinggal, fasilitasi pembuatan akta kelahiran, nomor induk kependudukan dan/atau kartu identitas anak, akses pelayanan pendidikan dan kesehatan dasar, dan perbekalan kesehatan. Terapi psikososial dilakukan dengan memberikan layanan Konseling individu maupun kelompok untuk pengembangan aspek kognitif, afektif, konatif, dan sosial yang bertujuan untuk terjadinya perubahan sikap dan perilaku Anak Korban atau Anak Pelaku ke arah yang adaptif. Terapi mental dan spiritual dilakukan dengan memberikan pemahaman pengetahuan dasar keagamaan, etika kepribadian, dan kedisiplinan yang ditujukan untuk memperkuat sikap/karakter dan nilai spiritual yang dianut Anak Korban atau Anak Pelaku. Terapi mental dan spiritual dilakukan dalam bentuk ceramah keagamaan, bimbingan keagamaan, pelaksanaan ibadah, pembentukan karakter, pemahaman nilai budaya, dan disiplin yang dilaksanakan secara individu atau kelompok. Pendidikan dan/atau pelatihan vokasional dilakukan untuk menyalurkan minat, bakat, dan menyiapkan kemandirian Anak Korban atau Anak Pelaku setelah mereka dewasa dalam bentuk keterampilan kerja atau magang kerja.
    5. Resosialisasi;
      Dilakukan untuk mengembalikan Anak Korban atau Anak Pelaku ke keluarga/keluarga pengganti dan masyarakat. Resosialisasi dilakukan sebelum Reintegrasi Sosial untuk mempersiapkan Anak Korban atau Anak Pelaku, keluarga/keluarga pengganti, dan masyarakat untuk menerima kembali anak di keluarga dan masyarakat.
    6. Terminasi;
      Dilakukan untuk pemutusan pemberian pelayanan Rehabilitasi Sosial pada Anak Korban atau Anak Pelaku. Kegiatan terminasi berakhir ketika Anak Korban atau Anak Pelaku telah selesai mengikuti Rehabilitasi Sosial, Anak Korban atau Anak Pelaku dirujuk untuk mendapatkan pelayanan di tempat lain, Anak Korban atau Anak Pelaku melarikan diri dan tidak ditemukan atau Anak Korban atau Anak Pelaku meninggal dunia. Terminasi terdiri atas identifikasi keberhasilan yang telah dicapai Anak Korban atau Anak Pelaku dari aspek biopsikososial dan spiritual, serta kunjungan kepada keluarga/keluarga pengganti dan pihak terkait dengan kehidupan Anak Korban atau Anak Pelaku.
    7. Bimbingan lanjut
      Dilakukan dengan memantau perkembangan Anak Korban atau Anak Pelaku setelah kembali ke keluarga/keluarga pengganti dan masyarakat. Bimbingan lanjut bertujuan untuk peningkatan, pengembangan, dan pemantapan sosialisasi, usaha kerja dan dukungan masyarakat sehingga Anak Korban atau Anak Pelaku memiliki kestabilan dalam keberfungsian sosial Anak Korban atau Anak Pelaku.
    Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dengan mempertimbangkan hasil asesmen Pekerja Sosial Profesional dibantu oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial yang tersertifikasi. Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dalam bentuk:
    1. Motivasi dan Diagnosis Psikososial
      Merupakan upaya yang diarahkan untuk memahami permasalahan psikososial dengan tujuan memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial Anak Korban atau Anak Pelaku. Motivasi dan diagnosis psikososial berbentuk dukungan, pujian, nasihat, dan penghargaan.
    2. Perawatan dan Pengasuhan
      Merupakan upaya untuk menjaga, melindungi, merawat, dan mengasuh agar dapat melaksanakan keberfungsian sosial Anak Korban atau Anak Pelaku. Perawatan dan pengasuhan dilakukan di keluarga, keluarga pengganti, panti sosial, pusat Rehabilitasi Sosial, rumah singgah, dan/atau rumah perlindungan sosial.
    3. Pelatihan Vokasional dan Pembinaan Kewirausahaan
      Merupakan usaha pemberian keterampilan kepada Anak Korban atau Anak Pelaku agar mampu hidup mandiri dan/atau produktif.
    4. Bimbingan Mental dan Spiritual
      Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan serta memperbaiki sikap dan perilaku Anak Korban atau Anak Pelaku berdasarkan ajaran agama atau keyakinan yang dianutnya. Bimbingan mental dan spiritual dilakukan dalam bentuk pengenalan norma agama, susila, kesopanan, dan hukum yang berlaku di masyarakat, pendidikan agama, internalisasi ketaatan pada norma dan etika, dan bimbingan kesehatan mental.
    5. Bimbingan Fisik
      Merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan jasmani Anak Korban atau Anak Pelaku. Bimbingan fisik dilakukan melalui kegiatan olahraga, aktivitas harian yang terjadwal, dan/atau bimbingan rekreasional.
    6. Bimbingan Sosial dan Konseling Psikososial
      Merupakan semua bentuk pelayanan bantuan psikologis yang ditujukan untuk mengatasi masalah psikososial Anak Korban atau Anak Pelaku agar dapat meningkatkan keberfungsian sosial. Bimbingan sosial dan Konseling psikososial dilakukan melalui bimbingan individual, kelompok, dan kemasyarakatan.
    7. Pelayanan Aksesibilitas
      Merupakan penyediaan kemudahan bagi Anak Korban atau Anak Pelaku guna mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Pelayanan aksesibilitas bertujuan untuk memudahkan Anak Korban atau Anak Pelaku dalam memenuhi hak dasarnya.
    8. Bantuan dan Asistensi Sosial
      Merupakan upaya yang dilakukan berupa pemberian bantuan kepada Anak Korban atau Anak Pelaku yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial agar dapat hidup secara wajar.
    9. Bimbingan Resosialisasi
      Merupakan kegiatan untuk mempersiapkan Anak Korban atau Anak Pelaku agar dapat diterima kembali ke dalam keluarga/keluarga pengganti dan masyarakat.
    10. Bimbingan lanjut merupakan kegiatan pemantapan kemandirian Anak Korban atau Anak Pelaku setelah memperoleh pelayanan Rehabilitasi Sosial.
    11. Rujukan merupakan pengalihan layanan kepada pihak lain agar Anak Korban atau Anak Pelaku memperoleh pelayanan lanjutan atau sesuai dengan kebutuhan.
    Rehabilitasi Psikososial dan/atau Rehabilitasi Psikologis
    1. Rehabilitasi Psikososial
      Rehabilitasi Psikososial dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban melalui tahapan:
      1. permohonan tertulis oleh wali dari anak korban, wali anak saksi, atau instansi terkait dilengkapi dengan Surat Keterangan Korban yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
      2. penelaahan syarat formil dan materiil permohonan Rehabilitasi Psikososial;
      3. keputusan paripurna Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
      4. penyerahan surat pemberitahuan diterimanya layanan Rehabilitasi Psikososial;
      5. penandatanganan perjanjian Rehabilitasi Psikologis antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan wali dari Anak Korban, wali dari Anak Saksi;
      6. koordinasi dengan Anak Korban, Anak Saksi dan walinya terkait mekanisme Rehabilitasi Psikologis;
      7. koordinasi dengan kementerian/lembaga penyedia layanan psikososial sesuai dengan kebutuhan korban;
      8. pemberian Rehabilitasi Psikososial kepadakorban; dan
      9. monitoring dan evaluasi pelaksanaan Rehabilitasi Psikososial.
    2. Rehabilitasi Psikologis
      Rehabilitasi Psikologis dilakukan melalui tahapan:
      1. permohonan tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban oleh wali dari Anak Korban, wali Anak Saksi, atau instansi terkait dilengkapi dengan surat keterangan korban yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
      2. penelaahan syarat formil dan materiil permohonan Rehabilitasi Psikologis;
      3. keputusan paripurna Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
      4. penyerahan surat pemberitahuan diterimanya layanan Rehabilitasi Psikologis;
      5. penandatanganan perjanjian Rehabilitasi Psikologis antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan wali dari Anak Korban, wali dari Anak Saksi;
      6. koordinasi dengan Anak Korban, Anak Saksi dan walinya terkait mekanisme Rehabilitasi Psikologis;
      7. koordinasi dengan rumah sakit, psikolog, pusat rehabilitasi atau instansi terkait;
      8. kerjasama dengan dengan rumah sakit, psikolog, pusat Rehabilitasi dan/atau instansi terkait dalam bentuk perjanjian kerjasama atau guarantee letter;
      9. pemberian Rehabilitasi Psikologis oleh psikolog kepada Anak Korban dan Anak Saksi; dan
      10. monitoring dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi monitoring dan evaluasi.
  4. Pendampingan sosial
    Pendampingan terhadap Anak Korban, Anak Saksi, dan Anak Pelaku dilakukan dalam bentuk Pendampingan hukum dilakukan mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan di pengadilan dengan memberikan:
    1. penguatan kepada Anak Korban atau Anak Pelaku sebelum memasuki ruang sidang;
    2. memastikan kesiapan Anak Korban atau Anak Pelaku untuk bertemu dengan pelaku;
    3. menyampaikan kepada hakim dan jaksa apabila Anak Korban atau Anak Pelaku tidak dapat dipertemukan dengan pelaku dalam persidangan;
    4. memastikan kondisi Anak Korban atau Anak Pelaku siap memberikan keterangan kepada hakim; dan
    5. memberikan pertimbangan dalam proses persidangan jika diminta oleh hakim.

    Pendampingan hukum dilaksanakan dengan ketentuan:

    1. terhadap Anak Korban dan Anak Saksi dilakukan oleh pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; dan
    2. terhadap Anak Pelaku dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

    Hal yang harus diperhatikan dalam Pendampingan adalah:

    1. memperkenalkan diri, artinya sebelum melakukan Pendampingan sosial, harus memperkenalkan dirinya agar Anak itu mengenal dan tidak merasa takut, serta mengetahui apa yang kita ingin lakukan;
    2. memperhatikan kondisi Anak baik dari sisi fisik dan psikisnya terlebih dahulu;
    3. pendekatan humanis, artinya dalam mendampingi harus bersikap lemah lembut, sopan, senyum manis, ramah, akrab, luwes;
    4. menjelaskan bahwa orang tua menanti, menunggu, dan mendoakan agar Anak dapat kembali dan menjadi orang yang baik;
    5. empati, artinya harus menghayati dan memahami apa yang dirasakan oleh Anak dan mengikuti semua yang diekspresikan oleh Anak;
    6. menciptakan kekeluargaan, artinya tidak terlalu formil, tidak kaku, hangat, menganggap sebagai keluarga, sehingga Anak dapat menumpahkan perasaan, kecemasan, dan ketakutan serta mendapat perlindungan;
    7. hubungan setara dan menghormati, artinya harus dapat menempatkan dirinya dalam bentuk “teman Anak” yang dapat dipercaya untuk menolong dan mengembalikan kepercayaan kepada Anak;
    8. tidak menghakimi, artinya tidak boleh menghakimi atau mengadili dan menyalahkan atas kejadian teror yang dialami;
    9. menjaga privasi dan kerahasiaan, artinya harus dilakukan di tempat tertutup, aman, dan terjamin kerahasiaannya, guna membangun kepercayaan dan rasa aman dengan menyediakan ruangan yang memadai untuk menjaga kerahasiaan;
    10. memberi rasa aman dan nyaman, artinya harus memastikan Anak dalam keadaan aman dan nyaman dalam menceritakan masalahnya;
    11. menggunakan bahasa sederhana dan dapat dimengerti, artinya menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa yang digunakan setiap hari oleh Anak tersebut;
    12. menanyakan apa yang dirasakan dan mengapa melakukan tindak pidana Terorisme;
    13. menanyakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah Anak tersebut; dan
    14. membimbing Anak sampai Anak dapat mengambil keputusannya sendiri untuk tindakan apa yang akan dilakukan.

    Dalam memberikan Pendampingan di tingkat penyidikan melakukan:

    1. memastikan bahwa Anak Korban atau Anak Pelaku tindak pidana Terorisme terpenuhi hak dan mendapat perlindungan;
    2. memastikan proses penyidikan mengutamakan kepentingan terbaik bagi Anak Korban atau Anak Pelaku tindak pidana Terorisme;
    3. memastikan Anak Korban atau Anak Pelaku tindak pidana Terorisme dan keluarga/keluarga pengganti telah siap untuk mengikuti proses penyidikan;
    4. memastikan Anak Korban atau Anak Pelaku tindak pidana Terorisme dan keluarga/keluarga pengganti tidak mendapatkan tekanan intimidasi dan cara lainnya yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan selama proses penyidikan; dan
    5. membuat laporan perkembangan kasus.

    Dalam mendampingi Anak di pengadilan melakukan:

    1. memberikan penguatan kepada Anak Korban atau Anak Pelaku sebelum memasuki ruang sidang;
    2. memastikan kesiapan Anak Korban atau Anak Pelaku untuk bertemu dengan pelaku;
    3. menyampaikan kepada hakim dan jaksa apabila Anak Korban atau Anak Pelaku tidak dapat dipertemukan dengan pelaku dalam persidangan;
    4. memastikan kondisi Anak Korban atau Anak Pelaku siap memberikan keterangan kepada hakim; dan
    5. memberikan pertimbangan dalam proses persidangan jika diminta oleh hakim.

    Pendamping dalam melakukan Pendampingan kepada Anak Korban atau Anak Pelaku di luar proses hukum melakukan:

    1. kunjungan rumah;
    2. melakukan asesmen;
    3. identifikasi kebutuhan;
    4. rencana intervensi;
    5. pelaksanaan intervensi;
    6. menghubungkan Anak Korban atau Anak Pelaku dengan pihak terkait sesuai kebutuhan Anak; dan
    7. memberikan penguatan Anak Korban atau Anak Pelaku.

Indikator keberhasilan penanganan Anak Korban, Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi adalah meningkatnya jumlah Anak Korban, Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi yang mendapatkan:

  1. perlindungan terhadap ancaman;
  2. layanan pengaduan;
  3. Konseling;
  4. Pendampingan sosial dan psikososial;
  5. bantuan hukum;
  6. rehabilitasi;
  7. edukasi tentang Wawasan Kebangsaan, sejarah Indonesia;
  8. Deradikalisasi;
  9. bimbingan mental spiritual;
  10. pendidikan Wawasan Kebangsaan;
  11. bimbingan keagamaan;
  12. penanaman nilai-nilai luhur;
  13. pemberian bantuan sosial;
  14. pemberian bantuan dana usaha;
  15. upaya mendapatkan restitusi;
  16. pendidikan formal dan nonformal;
  17. pemberian bantuan biaya pendidikan;
  18. pemberian pendidikan karakter bagi anak;
  19. kompensasi;
  20. Reintegrasi Sosial;
  21. pelatihan keterampilan;
  22. pelatihan usaha ekonomi produktif;
  23. pelatihan kewirausahaan;
  24. magang di Koperasi dan UKM; dan
  25. pelayanan informasi tentang peluang kerja.

PermenPPPA 7/2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

Latar Belakang

Latar belakang pertimbangan diterbitkannya PermenPPPA 7/2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme adalah:

  1. bahwa setiap anak dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
  2. bahwa masih ada orang tua dan masyarakat yang mengajarkan radikalisme serta mengajak anak melakukan tindak pidana terorisme yang menimbulkan suasana teror atau takut secara meluas serta menimbulkan korban yang bersifat massal sehingga dapat mengganggu tumbuh kembang anak;
  3. bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban jaringan terorisme;
  4. bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya dan peran serta masyarakat dalam memberikan perlindungan khusus pada anak dari Radikalisme dan tindak pidana terorisme diperlukan pedoman;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;

Dasar Hukum

Landasan Hukum penetapan PermenPPPA 7/2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946);
  2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6216);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
  5. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2015 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 103);
  6. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2022);

Isi PermenPPPA 7/2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  3. Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana Terorisme yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh Tindak Pidana Terorisme.
  4. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak Pelaku adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme.
  5. Anak dari Pelaku adalah Anak dari orang tuanya yang melakukan Tindak Pidana Terorisme.
  6. Anak Saksi adalah Anak yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan sidang pengadilan tentang Tindak Pidana Terorisme yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan/atau alami sendiri.
  7. Radikalisme adalah paham yang ingin melakukan perubahan sistem sosial dan politik secara total dan bersifat drastis dengan mengenyampingkan nilai dan norma yang ada, dengan mengajarkan intoleran, fanatik, eksklusif, atau anarkis.
  8. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
  9. Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
  10. Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan berbagai faktor agar Anak tidak terpengaruh Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
  11. Nilai-Nilai Nasionalisme adalah suatu sikap yang diberikan ke Anak Pelaku, Anak Korban dan Anak Saksi Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme agar merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri.
  12. Konseling adalah suatu proses yang dilakukan dalam bentuk wawancara untuk membantu Anak memahami dirinya secara lebih baik agar dapat mengatasi kesulitan dalam menyesuaikan dirinya terhadap berbagai peranan dan relasi serta menemukan pemecahan permasalahan yang tepat.
  13. Rehabilitasi Medis adalah pengobatan secara terpadu untuk memulihkan kondisi fisik Anak Korban, Anak Pelaku, dan Anak Saksi Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
  14. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan Anak Pelaku, Anak Korban, dan Anak Saksi Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
  15. Rehabilitasi Psikososial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
  16. Rehabilitasi Psikologis adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Anak Korban atau Anak Saksi yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Anak Korban atau Anak Saksi dari Tindak Pidana Terorisme.
  17. Reintegrasi Sosial adalah proses penyiapan Anak Pelaku, Anak Korban, dan Anak Saksi Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme untuk dapat kembali ke dalam lingkungan keluarga/keluarga pengganti dan masyarakat.
  18. Pendampingan adalah upaya atau proses yang dilakukan untuk mendampingi Anak dalam proses hukum mulai dari penyidikan sampai dengan pemeriksaan pengadilan serta pendampingan dalam proses rehabilitasi.
  19. Deradikalisasi adalah proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman yang radikal Terorisme yang telah terjadi.
  20. Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang tentang diri dan lingkungannya mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah yang dilandasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan anak.

Pasal 2

Maksud penyusunan pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme digunakan sebagai acuan bagi kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan lembaga yang dibentuk masyarakat dalam memberikan Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.

Pasal 3

Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme ditujukan kepada:

  1. Anak Korban;
  2. Anak Pelaku;
  3. Anak dari Pelaku; dan
  4. Anak Saksi.

Pasal 4

  1. Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme meliputi langkah-langkah yang diperlukan dalam melakukan:
    1. Pencegahan;
    2. edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan Nilai-Nilai Nasionalisme;
    3. Konseling tentang bahaya Radikalisme dan Terorisme;
    4. Rehabilitasi Sosial;
    5. Rehabilitasi Psikososial dan/atau Rehabilitasi Psikologis;
    6. Pendampingan;
    7. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan
    8. layanan lainnya.
  2. Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

  1. Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan dengan:
    1. mendeteksi dan memetakan lokasi Anak yang rentan terpengaruh Radikalisme dan terlibat Tindak Pidana Terorisme;
    2. menyusun materi komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme; dan
    3. menyebarluaskan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
  2. Materi komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit:
    1. Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme dikaitkan dengan Perlindungan Anak;
    2. bahaya Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
    3. faktor penyebab Anak melakukan tindakan Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
    4. ciri dan modus pelaku Tindak Pidana Terorisme; dan
    5. upaya yang perlu dilakukan untuk menangani Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
  3. Penyebarluasan komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan kepada Anak, keluarga, masyarakat, media massa, lembaga yang menangani Anak, dan lembaga pendidikan.

Pasal 6

Edukasi tentang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang:

  1. penanaman nilai-nilai moral, dan mental agar hidup rukun dan damai;
  2. karakter dan budi pekerti; dan
  3. saling menghargai dan menghormati.

Pasal 7

Edukasi tentang ideologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang Pancasila.

Pasal 8

Edukasi tentang Nilai-Nilai Nasionalisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan dengan memberikan pemahaman agar Anak:

  1. cinta terhadap tanah air;
  2. bangga berbangsa dan bertanah air Indonesia; dan
  3. rela berkorban, setia dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Pasal 9

Konseling tentang bahaya Radikalisme dan Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c diberikan kepada Anak Korban, Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi yang dikaitkan dengan:

  1. agama;
  2. kepribadian;
  3. kehidupan bermasyarakat; dan
  4. keluarga.

Pasal 10

  1. Rehabilitasi Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dilakukan melalui tahapan:
    1. pendekatan awal;
    2. pengungkapan dan pemahaman masalah atau asesmen;
    3. penyusunan rencana pemecahan masalah;
    4. pemecahan masalah atau intervensi;
    5. resosialisasi;
    6. terminasi; dan
    7. bimbingan lanjut.
  2. Rehabilitasi Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun lembaga sosial.

Pasal 11

  1. Rehabilitasi Psikososial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e dilakukan melalui tahapan:
    1. permohonan tertulis oleh wali dari Anak Korban, wali Anak Saksi, atau instansi terkait dilengkapi dengan surat keterangan korban yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
    2. penelaahan syarat formil dan materiil permohonan Rehabilitasi Psikososial;
    3. keputusan paripurna Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
    4. penyerahan surat pemberitahuan diterimanya layanan Rehabilitasi Psikososial;
    5. penandatanganan perjanjian Rehabilitasi Psikologis antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan wali dari Anak Korban, wali dari Anak Saksi;
    6. koordinasi dengan Anak Korban, Anak Saksi dan walinya terkait mekanisme Rehabilitasi Psikologis;
    7. koordinasi dengan kementerian/lembaga penyedia layanan psikososial sesuai dengan kebutuhan korban;
    8. pemberian Rehabilitasi Psikososial kepada korban; dan
    9. monitoring dan evaluasi pelaksanaan Rehabilitasi Psikososial.
  2. Rehabilitasi Psikologis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e dilakukan melalui tahapan:
    1. permohonan tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban oleh wali dari Anak Korban, wali Anak Saksi, atau instansi terkait dilengkapi dengan surat keterangan korban yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
    2. penelaahan syarat formil dan materiil permohonan Rehabilitasi Psikologis;
    3. keputusan paripurna Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
    4. penyerahan surat pemberitahuan diterimanya layanan Rehabilitasi Psikologis;
    5. penandatanganan perjanjian Rehabilitasi Psikologis antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan wali dari Anak Korban, wali dari Anak Saksi;
    6. koordinasi dengan Anak Korban, Anak Saksi dan walinya terkait mekanisme Rehabilitasi Psikologis;
    7. koordinasi dengan rumah sakit, psikolog, pusat rehabilitasi atau instansi terkait;
    8. kerjasama dengan dengan rumah sakit, psikolog, pusat Rehabilitasi dan/atau instansi terkait dalam bentuk perjanjian kerjasama atau guarantee letter;
    9. pemberian Rehabilitasi Psikologis oleh psikolog kepada Anak Korban dan Anak Saksi; dan
    10. monitoring dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi monitoring dan evaluasi.

Pasal 12

  1. Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e dilakukan dalam bentuk Pendampingan hukum.
  2. Pendampingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai dari penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan dengan memberikan:
    1. penguatan kepada Anak Korban atau Anak Pelaku sebelum memasuki ruang sidang;
    2. memastikan kesiapan Anak Korban atau Anak Pelaku untuk bertemu dengan pelaku;
    3. menyampaikan kepada hakim dan jaksa apabila Anak Korban atau Anak Pelaku tidak dapat dipertemukan dengan pelaku dalam persidangan;
    4. memastikan kondisi Anak Korban atau Anak Pelaku siap memberikan keterangan kepada hakim; dan
    5. memberikan pertimbangan dalam proses persidangan jika diminta oleh hakim.
  3. Pendampingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
    1. terhadap Anak Korban dan Anak Saksi dilakukan oleh pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; dan
    2. terhadap Anak Pelaku dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 13

Kriteria Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme ditentukan dengan indikator:

  1. meningkatnya jumlah Anak yang memahami bahaya Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
  2. jumlah Anak Korban, Anak Pelaku, Anak dari Pelaku, dan Anak Saksi yang mendapatkan layanan yang dibutuhkan; atau
  3. menurunnya jumlah Anak yang terpapar Radikalisme dan Terorisme.

Pasal 14

Dalam rangka melaksanakan Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme, Menteri melalui Deputi Bidang Perlindungan Anak:

  1. mengoordinasikan pelaksanaan kegiatan Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme dengan kementerian/lembaga terkait;
  2. menetapkan tim koordinasi pelaksanaan Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
  3. melakukan sosialisasi dan fasilitasi ke daerah tentang pelaksanaan Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;
  4. memantau kondisi dan layanan yang diberikan kepada Anak Korban, Anak Pelaku, dan Anak dari Pelaku Tindak Pidana Terorisme; dan
  5. memberikan laporan tentang pelaksanaan Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme kepada Menteri.

Pasal 15

  1. Rencana aksi Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme untuk pertama kali ditetapkan pada periode tahun 2019-2024 sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  2. Rencana Aksi Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme untuk periode selanjutnya dapat ditetapkan oleh Menteri setiap 5 (lima) tahun.

Pasal 16

Pendanaan pelaksanaan Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme bersumber dari:

  1. anggaran pendapatan dan belanja negara;
  2. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
  3. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Mei 2019

 

MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YOHANA YEMBISE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Mei 2019
 

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 592

PermenPPPA 7/2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme